Buku
ini berasal dari penelitian yang dimulai sejak 1989, kemudian diterbitkan
sebagai buku berjudul The Balinese People: A Reinvestigation of Character
(1992). Penelitian ini ingin memberi informasi seakurat mungkin mengenai orang
Bali setelah berbagai buku tentang Bali terbit ratusan kali. Selain karena
perubahan-perubahan sosial budaya sejak masuknya wisatawan yang semakin
meningkat dari tahun ke tahun menyebabkan perubahan signifikan pada pola hidup
orang Bali. Buku ini secara sederhana dapat dilacak terdiri dari beberapa
pembahasan utama. Pertama adalah latar belakang orang Bali, yang mengangkat pelbagai
kegiatan religi seperti upacara agama, dan sistem social yang mengikat. Tak
lupa pula termaktub perihal “saudara kandung” dan persoalan keseimbangan hidup
yang cukup memberi pengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, buku ini juga
berangkat dari penelitian Margaret Mead dan Bateson yang dibuat pada 1950-an.
Mereka bahkan menurut penulis buku ini membuat dan menyajikan gambaran yang
agak negatif tentang Bali. Diantara kesan negatif tersebut diantaranya tentang
ibu dan istri sebagai perempuan jahat, mereka pada umumnya memiliki kepribadian
gangguan penyesuaian diri. Ketiga mengungkap persoalan emosi, klimaks dalam
peristiwa dan seni. Mead menganggap bahwa Bali sebagai budaya tanpa klimak.
Meskipun ia tak mengungkap dengan jelas arti klimaks mereka berdua
menggamabrkan bahwa suatu seri rangkaian yang terputus-putus yang tidak
mencapai klimaks. Namun Geerzt pada 1966 mempelajari secara mendalam perilaku
orang Bali dan menyetujui kesimpulan mengenai tiadanya klimaks. Ia menyatakan
bahwa kegiatan social tidak membentuk atau tidak diizinkan untuk membentuk
klimaks, bahkan ketika Mc Pee sewaktu meneliti tari Bali menulis bahwa tari
Bali tanpa klimaks.
ReplyDeleteOrang Bali umumnya menekuni pekerjaan agraris, sebagaimana tampak melalui kebutuhan mereka terhadap penanggal Bali (pranatamangsa) untuk menggumuli iklim. Oleh karena itu mereka memiliki mentalitas budaya petani dengan sifat-sifatnya, antara lain homogen dalam pandangan; berorientasi pada masa lampau dengan sedikit variasi orientasi pada masa kini; rasa kekeluargaan dan solidaritas sosial menjadi nilai utama; pandangannya bahwa manusia tunduk pada alam dan mencoba hidup selaras dengan alam; dan mereka berada dalam kondisi ekonomi substantif. Di samping itu, juga mereka hidup dalam ikatan kesatuan sosial yang disebut banjar dan desa pakraman. Kedua lembaga ini berfungsi mengatur hal-hal yang berhubungan dengan aktivitas adat istiadat dan agama di lingkungan komunitas mereka. Sebaliknya, urusan administrasi pemerintahan diurus oleh desa dinas dan dusun atau lingkungan. Selain kategori ini, juga mereka menghimpun diri ke dalam sekaa yang beragam menurut tujuan dan fungsinya misalnya, sekaa teruna (Geriya, 2002; Triguna, 2004; Atmadja, 2005).
Akan tetapi perubahan, baik disadari maupun tidak pasti dialami oleh setiap individu dan masyarakat termasuk orang Bali. Kepastian perubahan ini, sebagaimana ditegaskan Triguna (1999:1) bahwa secara universal tidak ada satupun masyarakat dan kebudayaan di dunia yang hidup statis tanpa mengalami proses perubahan. Perubahan dapat berlangsung secara alamiah ataupun direncanakan, karena itu Atmadja (2005:5) menyatakan bahwa setiap masyarakat tidak dapat melepaskan diri dari perubahan sosial budaya, baik yang disebabkan oleh inovasi, difusi kebudayaan, maupun pembangunan. Fakta bahwa ketiga faktor ini mendorong terjadinya banyak perubahan dalam waktu singkat sehingga masyarakat mengalami ketegangan sosio-kultural. Dalam perspektif difusi kebudayaan misalnya, ketegangan ini merupakan akibat dari semakin terbukanya pergaulan antaretnis dan antarbangsa. Pada satu sisi melalui wacana Ajeg Bali mereka dihadapkan pada upaya pelestarian kebudayaan lokal karena menurut Atmadja (2005:3) Ajeg Bali merupakan gerakan mempertahankan identitas kultural sebagai respons orang Bali terhadap globalisasi, yakni upaya mengatasi pengaruh kebudayaan modern yang berlatar Barat. Pada sisi lain mereka dihadapkan pada konflik internal, yakni benturan antarsubkultur.
Demikian juga pembangunan sebagai suatu model dari proses modernisasi tidak seluruhnya berimplikasi positif terhadap kehidupan sosial karena proses pembangunan tidak seluruh dapat dikontrol dan diarahkan. Paradigma pembangunan di negara-negara sedang berkembang lebih bertumpu pada teori pertumbuhan ekonomi Rostow, yakni berorientasi pada pengembangan industri (Lubis, 2004; Fakih, 2005; dan Suhanadji-Waspodo, 2006). Akibatnya, pembangunan yang merupakan perubahan terencana yang lebih menekankan pada kesejahteraan, ternyata tidak seluruhnya dapat dikontrol dan diarahkan berdasarkan kebutuhan masyarakat. Kesejahteraan yang menjadi tujuannya, yakni terwujudnya masyarakat modern yang ditandai dengan pengadopsian kebudayaan Barat. Pada kenyataannya, modernisasi tidak terbatas hanya pada bentuk transformasi budaya ke arah kemajuan yang menyerupai budaya Barat, tetapi juga dengan dominasi pengetahuan dan teknologi Barat terhadap pengetahuan dan teknologi tradisional orang Bali. Oleh karena itu terjadi pelenyapan pengetahuan dan teknologi tradisional orang Bali (Triguna, 1999; Atmadja, 2005; Suhanadji-Waspodo, 2006). Padahal pengetahuan dan teknologi tradisional tersebut adalah komitmen dan validitas moral orang Bali. Dalam konteks ini perlu dilakukan reinterpretasi dan revitalisasi karena memang dalam modernisasi pengetahuan dan teknologi tradisional dipandang sebagai sesuatu yang disfungsi.
ReplyDeleteFenomena pelenyapan pengetahuan dan teknologi tradisional Bali tidak saja disebabkan karena pengetahuan dan teknologi Barat bersifat dominatif dan hegemonik, tetapi juga karena dalam modernisasi bahwa tradisi dipahami sebagai masalah yang harus ditransformasi. Pemahaman ini menampilkan fenomena detradisilisasi dalam masyarakat Hindu Bali yang secara intens mengarah kepada tergerusnya pengetahuan dan teknologi tradisional orang Bali. Detradisilisasi yang berlaku pada orang Bali, juga berkaitan erat dengan refleksivitas, yakni praktek sosial yang terus-menerus diuji dan diubah berdasarkan informasi yang terbaru dan yang paling praktis sebagai ciri dinamis dari modernitas (Giddens dalam Atmadja, 2005:15). Proses ini disebabkan karena asumsi dasar modernisasi bahwa tradisi adalah lawan dari modernitas, bahkan dianggap menghambat pembangunan. Pemahaman ini menyebabkan terjadinya penggusuran terhadap tradisi dalam rangka percepatan pembangunan menjadi sulit dihindari, bahkan dapat dianggap sebagai keharusan. Akibatnya, orang Bali kehilangan modal kultural dan modal sosial yang sangat berharga (Triguna, 2004; dan Atmadja, 2005). Padahal tidak semua modal kultural dan modal sosial orang Bali menghambat pembangunan, melainkan juga banyak yang relevan bagi pembangunan. Demikian juga tidak sedikit modal kultural dan modal sosial orang Bali yang mendukung, bahkan mepercepat proses pembangunan.
Sekaa teruna sebagai lembaga pendidikan sosial bagi generasi muda Hindu Bali memiliki akar-tradisi yang tertanam kuat pada struktur dan kultur banjar ataupun desa pakraman. Oleh karena itu sekaa teruna yang eksistensinya dijaga dan dijamin tradisi-banjar dan banjar adalah basis tradisi Bali sehingga sekaa teruna memiliki potensi penting dalam pelestarian pengetahuan dan teknologi tradisional Bali. Selain itu, perubahan sosial-budaya melalui modernisasi, industrialisasi, dan pertumbuhan ekonomi merupakan proses yang tidak dapat dihindari sehingga sekaa teruna sebagai ahli waris sekaligus pewaris Bali sekali lagi ditegaskan, memiliki peran penting dalam pelestarian pengetahuan dan teknologi tradisional Bali. Berkaitan dengan peran inilah perlu dilakukan reinterpretasi karena, selain sekaa teruna, juga lingkungan sosial-budaya terutama pengetahuan dan teknologi tradisional Bali yang hendak dilestarikan juga mengalami perubahan.
ReplyDeleteRASIONALITAS DAN KERANGKA PEMAHAMAN
Perubahan sosial menurut Rahardjo (2007:25) menyangkut transformasi bidang-bidang kehidupan masyarakat manusia, antara lain perubahan peradaban, perubahan budaya, dan perubahan sosial. Perubahan kebudayaan adalah perubahan yang terjadi dalam sistem ide suatu masyarakat, antara lain mencakup aturan-aturan atau norma-norma yang digunakan sebagai pegangan dalam kehidupan sosial, berupa nilai-nilai, teknologi, selera, dan rasa keindahan atau kesenian, dan bahasa (Vogt dalam Lahajir, 2001:379). Malahan Abdullah (2006:9) menyarankan bahwa ketika hendak memahami kebudayaan harus dimulai dari dengan mendefinisikan ulang kebudayaan itu sendiri. Menurutnya kebudayaan bukan semata-mata sebagai kebudayaan generik (pedoman yang diturunkan), tetapi juga sebagai kebudayaan diferensial (yang dinegosiasikan dalam keseluruhan interaksi sosial). Kebudayaan bukanlah suatu warisan yang turun-temurun dibagi bersama atau dipraktikkan secara kolektif, tetapi menjadi kebudayaan yang bersifat situasional yang keberadaannya tergantung pada karakter kekuasaan dan hubungan-hubungan yang berubah dari waktu ke waktu.
Kemudian, Suparlan (1987) menjelaskan bahwa perubahan sosial merupakan perubahan dalam struktur sosial dan dalam pola-pola hubungan sosial, antara lain mencakup sistem status, hubungan-hubungan dalam keluarga, sistem-sistem politik dan kekuasaan, dan persebaran penduduk. Para pakar sosiologi menunjuk pada perubahan-perubahan mendasar dalam pola budaya, struktur, dan perilaku sosial sepanjang waktu sebagai perubahan sosial (Rahardjo, 2007:25). Artinya, untuk memahami perubahan sosial orang Bali seharusnya memuat adanya tiga domain perubahan: pertama, pola budaya, yaitu pergeseran tata nilai dan norma yang digunakan sebagai pedoman berperilaku; kedua, struktur sosial, yaitu pergeseran elemen-elemen yang membangun keseimbangan dan keteraturan masyarakat; dan ketiga, perilaku sosial, yaitu hubungan antarinteraksi sosial yang dibangun orang Bali dalam menata kehidupan bermasyarakat.
ReplyDeleteUntuk memahami perubahan sosial-budaya suatu masyarakat Kleden (Triguna, 2004:9) mengajukan teori holistik kebudayaan. Teori ini memandang basis kebudayaan terpilah menjadi tiga bagian, yaitu basis material kebudayaan, basis sosial kebudayaan, dan basis mental/kognitif kebudayaan. Hubungan ketiga basis itu bersifat dialektis, pertama, basis material kebudayaan meninjau hubungan manusia dengan dunia fisik umumnya dan ekonomi khususnya; kedua, basis sosial kebudayaan yang meninjau bentuk-bentuk interaksi antarkelompok; dan ketiga, basis mental/kognitif kebudayaan melihat hubungan antara suatu kelompok dengan dunia pengetahuan dan nilai-nilai mereka. Teori ini mengandaikan bahwa integrasi kebudayaan terwujud, bila perubahan pada suatu basis kebudayaan dapat diteruskan dan diterima pada basis kebudayaan lainnya. Sebaliknya, desintegrasi kebudayaan terjadi kalau perubahan itu hanya mandek pada salah satu lapis kebudayaan saja dan gagal diteruskan ke lapisan kebudayaan lainnya.
Dalam konteks tradisi Bali, basis material kebudayaan itu berupa kehidupan agraris; basis sosial kebudayaan terdapat pada komunitas banjar dan desa pakraman; dan basis mental/kognitif kebudayaan terlihat pada orientasi kosmologis yang siklis-Hinduistik. Ini berarti untuk memahami lingkungan sosial-budaya Bali secara memadai diperlukan pengetahuan komprehensif tentang proses dan fungsi berbagai institusi dan kelembagaan sosial-budaya Bali. Menurut Triguna (2004:3) pengetahuan tentang proses memberikan ilustrasi tentang kondisi spesifik dan permasalahan yang ada pada lingkungan sosial-budaya. Sebaliknya, memahami fungsi memberikan pengetahuan dasar tentang nilai, arti, dan makna berbagai institusi yang ada. Kedua pengetahuan ini digunakan sebagai dasar untuk memahami berbagai potensi dan kendala yang terdapat pada lingkungan sosial-budaya Bali dalam menyusun rencana dan melakukan berbagai kebijakan aksi. Dalam hal ini berkaitan dengan reinterpretasi peran sekaa teruna dalam melestarikan pengetahuan dan teknologi tradisional Bali di tengah-tengah perubahan sosial-budaya Bali.
ReplyDeletePARIWISATA DAN PERUBAHAN SOSIAL-BUDAYA ORANG BALI
Berdasarkan kerangka pemahaman di atas perubahan sosial-budaya orang Bali dapat dipahami mulai dari tradisi Bali, yaitu konsepsi yang dipandang bernilai dalam komunitas orang Bali yang digunakan sebagai pedoman berperilaku. Ini berarti bahwa kebudayaan, selain berupa nilai yang dibagi bersama, juga konsepsi itu berwujud suatu cara, pola tindakan, dan struktur sosial. Oleh karena itu tradisi Bali acapkali diyakini sebagai representasi komitmen dan validitas moral orang Bali untuk hidup bersama secara damai dan berbudi. Sebagai komitmen dan validitas moral yang diyakini bernilai sehingga menjadi kewajiban orang Bali memelihara, melestarikan, dan memaknainya. Akan tetapi, relativitas sifat nilai dalam longgarnya praktiknya sosial dan banyaknya cara untuk memaknai tradisi itu kemudian, membuka peluang adanya polarisasi cara beragam sehingga menimbulkan bias terhadap fungsi utama tradisi, yaitu memelihara komitmen dan validitas moral untuk hidup bersama secara damai dan berbudi (Triguna, 2004).
Boleh jadi, ini yang mendasari pemikiran Geriya (2004) bahwa perubahan dan pelestarian budaya merupakan keniscayaan dan keduanya harus berjalan seimbang dan berkelanjutan secara terencana. Menurutnya, pelestarian dan perubahan kebudayaan secara terencana tergantung pada multifaktor, antara lain manusia, iptek, dana, wawasan, dan manajemen. Pembangunan kapital kultural memerlukan sinergis-komplementer yang optimal terkait dengan religius, sosial, hukum, ekonomi, politik, dan sains. Upaya pengembangan dan pelestarian kebudayaan yang bersifat partisipatif menuntut adanya penguatan dan diversifikasi aksi lokal dalam visi bersifat universal. Akan tetapi cita-cita menjadi negara industri menyebabkan upaya ini akan berhadapan langsung dengan proses modernisasi, industrialisasi, pertumbuhan ekonomi termasuk industri pariwisata.
Pariwisata budaya sebagai industri yang oleh pemerintah dilaksanakan dalam seperangkat perencanaan dan pengawasan dapat menjadi salah satu aspek yang memunculkan suatu polarisasi tertentu. Kenyataan menunjukkan bahwa semaraknya perkembangan kebudayaan Bali didorong oleh pariwisata dan sebaliknya, pariwisata Bali senantiasa memikat karena daya tarik kebudayaan (Darma Putra, 2006). Malahan Alisjahbana (Darma Putra, 2006) menegaskan bahwa kebudayaan Bali yang ekspresif akan mampu berkembang ke arah watak kebudayaan progresif , yakni memberikan pendukungnya peluang untuk meraih manfaat ekonomi. Mengingat budaya dan kinerja ekonomi berkaitan erat sehingga perubahan pada yang satu akan berpengaruh pada yang lain (Harrison dan Huntington, 2006:28). Pergeseran nilai ini, yakni dari budaya ekspresif ke budaya progresif yang lebih mengutamakan nilai ekonomi, juga ditegaskan Darma Putra (2006) bahwa pemerintah dan masyarakat melihat adanya kecenderungan komersialisasi kesenian Bali untuk kepentingan pariwisata.
Berkaitan dengan kesenian Bali, Triguna (2002:4) mengatakan bahwa dalam bidang kehidupan berkesenian telah terjadi proses sekularisasi dan sentralisasi. Sekularisasi terjadi karena banyak kesenian yang tidak sepatutnya dipertunjukkan kepada umum, justru dipergelarkan kepada tamu kehormatan. Sentralisasi pembinaan kesenian dalam satu dasa warsa terakhir cenderung terpusat pada lembaga kesenian formal yang mengalahkan eksistensi sekaa sebunan sebagai pusat-pusat kesenian rakyat. Sentralisasi pembinaan membawa akibat pada standardisasi pakem dan pola, semua itu gejala menguntungkan perkembangan berkesenian di Bali. Akan tetapi keberhasilan lembaga pendidikan seni ini seharusnya diikuti oleh keberhasilan sekaa-sekaa sebunan yang tersebar di seluruh Bali. Kesemarakan pelaksanaan ritus agama, eksistensi banjar dan desa pakraman, serta keanekaragaman daya cipta seni terasa hanya mampu memenuhi fungsi kuantitas, sedangkan dimensi isi dan takaran nilainya dirasakan semakin terpinggirkan. Lebih dari itu disenyalemen telah terjadi proses profanisasi akibat kesalahan dalam perencanaan dan pengawasan pelaksanaan kebijakan publik. Eksploitasi kultural untuk kepentingan pariwisata menjadi isu utama dalam satu dasa warsa terakhir ini (Triguna, 2002; dan Atmadja, 2005). Oleh karena itu Ardika (2006) menyarankan, dalam pengembangan pariwisata dewasa ini masyarakat lokal harus dilibatkan dalam perencanaan, implementasi/pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi sehingga mereka mempunyai rasa memiliki dan ikut bertanggung jawab terhadap pengelolaan objek wisata.
ReplyDeleteSecara implisit dapat dipahami bahwa modernisasi dan globalisasi melalui pariwisata telah memperkenalkan nilai baru dalam lingkungan tradisi Bali. Apabila tradisi diasumsikan dibentuk atas dasar setting agraris, yakni komunal, religius-magis, setempat, dan konkret maka modernisasi dan globalisasi yang diperkenalkan melalui pariwisata dibentuk atas dasar individualistik, berorientasi prestasi, menghargai waktu, terukur, sekuler, mobilitas tinggi, totalitas, dan konsepsional atau abstraktif (Fakih, 2001; Triguna, 2004; Lubis, 2004; Atmadja, 2005; Suhanadji-Waspodo, 2006). Oleh karena itu tradisi Bali mengalami proses diferensiasi sosial-struktural serta suatu generalisasi nilai, norma, dan makna yang menyertainya. Pergeseran itu telah memberi kontribusi terhadap pengetahuan sebagai satuan budaya. Setiap orang yang telah tersentuh sistem pengetahuannya oleh nilai-nilai baru akan mencoba memberi makna baru bagi tatanan yang ada sebelumnya (Wesnawa, 2002; dan Triguna, 2004). Dalam konteks pariwisata misalnya, telah terjadi perubahan orientasi nilai, yakni dari agraris ke arah ekonomi. Secara fisikal ditandai dengan perubahan pada penataan rumah tradisional Bali dan terutama telajakan. Hal ini setidak-tidaknya ditunjukkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Pawana (2006) di Desa Petulu Gianyar dan Nadia (2005) di Desa Pakraman Kuta Badung. Di Desa Petulu ditemukan adanya kecenderungan perubahan telajakan menjadi warung dan toko-toko seni, sedangkan di Desa Pakraman Kuta terjadi komodifikasi bale saka roras.
Pemahaman secara cermat terhadap perubahan sosial-budaya orang Bali mengindikasikan bahwa dalam suatu proses tafsir diakui adanya aktivitas ‘manipulasi simbolis’, yaitu suatu cara mengedepankan kultur yang relevan dan menyembunyikan yang kurang sesuai dengan situasi yang sedang berkembang. Dengan cara itu sekaligus menunjukkan bahwa tradisi bukanlah merupakan sebuah kontinum yang berhadapan dengan modernisasi bahwa yang satu lebih menekankan pada cara berfikir spesifik-lokal berhadapan dengan cara berfikir universal-global. Keduanya, baik tradisionalisme maupun modernisme memiliki nilai axioma, seperti menjunjung nilai persaudaraan, kemanusiaan, dan kesejahteraan. Artinya, dalam suatu tradisi komitmen tentang persaudaraan, kemanusiaan, dan kesejahteraan bukannya tidak ada, tetapi dikemas dengan cara yang lebih tersembunyi. Sebaliknya, dalam dunia global kehidupan atas dasar solidaritas bukanlah sesuatu yang asing. Oleh karena itu reintepretasi terhadap nilai-nilai tradisi merupakan suatu keharusan sejarah, namun hal itu tetap dilakukan setelah melalui mekanisme dan tahapan yang sistematis. Tujuannya agar seluruh produk manusia dan hasil intepretasi mereka terus dapat menjadi standar moral dan wahana memelihara solidaritas (Triguna, 2002 dan 2004; Lubis, 2004; Atmadja, 2005).
ReplyDeleteApabila mengacu pada teori holistik kebudayaan maka perubahan tradisi Bali pada tataran kognitif/mental kebudayaan dapat dilihat pada dua sisi paradoks. Pada satu sisi kuatnya orientasi kosmis siklis-Hinduistik yang menjadikan kokohnya pakem epistemologi bagi individu dalam perilaku sosial (unggah-ungguhing bahasa, soroh dan “kasta”). Sebaliknya, pada sisi lain derasnya arus konsep historisitas linear dari masyarakat Barat yang hadir ke Bali melalui pariwisata yang mengusung nilai-nilai global. Kuatnya tradisi dalam menyelaraskan individu-masyarakat dengan ritme alam berhadapan langsung dengan budaya perhitungan eksak yang tanpa menghiraukan ritme alam, bahkan cenderung mengeksploitasi alam. Pengaruh langsung benturan budaya ini pada lapis budaya material, yaitu semakin konsumtifnya perilaku orang Bali; dan pada lapis budaya sosial terjadinya toleransi bagi anggota komunitas desa pakraman untuk bertempat tinggal di luar komunitas krama-nya. Sementara itu, perubahan pada basis sosial kebudayaan Bali cenderung berjalan lambat. Pada titik ini basis sosial kebudayaan Bali cenderung defensif terhadap pengaruh nilai-nilai positif, bahkan dalam makna politik muncul respons negatif (Triguna, 2002; dan 2004).
Orang Bali umumnya menekuni pekerjaan agraris, sebagaimana tampak melalui kebutuhan mereka terhadap penanggal Bali (pranatamangsa) untuk menggumuli iklim. Oleh karena itu mereka memiliki mentalitas budaya petani dengan sifat-sifatnya, antara lain homogen dalam pandangan; berorientasi pada masa lampau dengan sedikit variasi orientasi pada masa kini; rasa kekeluargaan dan solidaritas sosial menjadi nilai utama; pandangannya bahwa manusia tunduk pada alam dan mencoba hidup selaras dengan alam; dan mereka berada dalam kondisi ekonomi substantif. Di samping itu, juga mereka hidup dalam ikatan kesatuan sosial yang disebut banjar dan desa pakraman. Kedua lembaga ini berfungsi mengatur hal-hal yang berhubungan dengan aktivitas adat istiadat dan agama di lingkungan komunitas mereka. Sebaliknya, urusan administrasi pemerintahan diurus oleh desa dinas dan dusun atau lingkungan. Selain kategori ini, juga mereka menghimpun diri ke dalam sekaa yang beragam menurut tujuan dan fungsinya misalnya, sekaa teruna (Geriya, 2002; Triguna, 2004; Atmadja, 2005).
ReplyDeleteAkan tetapi perubahan, baik disadari maupun tidak pasti dialami oleh setiap individu dan masyarakat termasuk orang Bali. Kepastian perubahan ini, sebagaimana ditegaskan Triguna (1999:1) bahwa secara universal tidak ada satupun masyarakat dan kebudayaan di dunia yang hidup statis tanpa mengalami proses perubahan. Perubahan dapat berlangsung secara alamiah ataupun direncanakan, karena itu Atmadja (2005:5) menyatakan bahwa setiap masyarakat tidak dapat melepaskan diri dari perubahan sosial budaya, baik yang disebabkan oleh inovasi, difusi kebudayaan, maupun pembangunan. Fakta bahwa ketiga faktor ini mendorong terjadinya banyak perubahan dalam waktu singkat sehingga masyarakat mengalami ketegangan sosio-kultural. Dalam perspektif difusi kebudayaan misalnya, ketegangan ini merupakan akibat dari semakin terbukanya pergaulan antaretnis dan antarbangsa. Pada satu sisi melalui wacana Ajeg Bali mereka dihadapkan pada upaya pelestarian kebudayaan lokal karena menurut Atmadja (2005:3) Ajeg Bali merupakan gerakan mempertahankan identitas kultural sebagai respons orang Bali terhadap globalisasi, yakni upaya mengatasi pengaruh kebudayaan modern yang berlatar Barat. Pada sisi lain mereka dihadapkan pada konflik internal, yakni benturan antarsubkultur.
Reply
Nama : Luh Gede Siwi Darmayanti
ReplyDeleteNim : 120111032
Jurusan : Manajemen Reg. Pagi
Bali Kekinian
Orang Bali zaman silam yang dikenal sebagai yang berbudi pekerti luhur karena keyakinan atau kepercayaannya serta melaksanakan ajaran-ajaran Agama Hindu-Bali dengan baik, yang berjiwa halus terlihat dari budaya kesenian bermutu tinggi, yang ramah tamah, toleran, satya wacana, jujur, rendah hati, suka bergotong royong, dan nilai-nilai mulia lainnya, kini telah porak poranda karena orang Bali tidak mampu mempertahankannya karena sudah banyak yang menyimpang dari norma susila yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Bali pada zaman dahulu.
Salah satu norma susila yang diajarkan dan menjadi budaya orang Bali adalah Trihitakarana. Tri artinya ‘tiga’; hita artinya ‘kebaikan/ kebahagiaan’; dan karana artinya ‘yang menyebabkan’. Maksudnya: ada tiga hal yang akan menyebabkan kehidupan manusia baik atau bahagia. Tiga hal itu adalah: (1) Parhyangan: hubungan yang harmonis dan seimbang antara manusia dengan Tuhan, atau lebih jelas lagi, ketaatan manusia berbhakti dan melaksanakan ajaran-ajaran Agama. (2) Pawongan: hubungan yang harmonis dan seimbang antara sesama manusia, artinya membina kerukunan, persahabatan, toleransi, saling menghargai dan menghormati, saling membantu, bergotong royong, dan saling mengingatkan. Dalam slogan bahasa Bali sering disebut: Sagilik saguluk salunglung sabayantaka, paras paros sarpanaya, saling asah, saling asih, saling asuh. Terjemahannya: bersatu padu dalam suka-duka dan menghadapi bahaya, berembug dan bermusyawarah (menghargai pendapat orang lain), saling mengingatkan, saling menyayangi, dan saling menolong. (3) Palemahan: hubungan yang harmonis dan seimbang antara manusia dengan alam. Artinya manusia hendaknya memelihara dan menjaga kelestarian alam semesta, karena hidup manusia tergantung dari alam. Bila manusia merusak alam maka pada gilirannya alam-pun akan membinasakan manusia.
Pada masa sekarang, ‘orang Bali’ telah banyak melanggar Trihitakarana, Parhyangan, umat Hindu kini khususnya para remaja jika sembahyang ke pura selalu mengajak pasangan, sehingga terkadang sembahyang hanya menjadi kedok untuk bisa keluar bersama pasangannya. Nomor dua: pawongan. Akibatnya bisa dirasakan sendiri: kemelaratan, kesengsaraan, permusuhan, ke-tidak percayaan, dan sikap-sikap negatif lainnya. Orang Bali telah tergerus oleh pengaruh dari luar Bali, sehingga mereka lupa pada ajaran Agama Hindu-Bali, melalaikan Trihitakarana, karena pikiran sudah diracuni oleh apa yang dinamakan sadripu. Sadripu artinya enam musuh yang ada dalam diri setiap manusia, yaitu: kama (nafsu yang tak terkendali), lobha (serakah), kroda (marah), mada (mabuk), moha (sombong), dan matsarya (irihati/ dengki). Sadripu di setiap manusia akan bangkit menjadi asuri sampad (sifat-sifat keraksasaan). Ke tiga palemahan, untuk zaman sekarang masyarakat banyak yang membuang sampah sembarangan dan tidak menyayangi lingkungannya lagi. Menebang pohon sembarangan, semua semata hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadinya tanpa memikirkan dampaknya di kemudian hari.
Nama : WAYAN SUDIANTI
ReplyDeleteNIM : 12.01.1.1967
SMTR: V (LIMA) MANAJEMEN EKONOMI (REG. SORE)
1. Pengertian Budaya orang Bali
Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui adanya perbedaaan ( rwa bhineda ), yang sering ditentukan oleh faktor ruang ( desa ), waktu ( kala ) dan kondisi riil di lapangan ( patra ). Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh kebudayaan luar. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa komunikasi dan interaksi antara kebudayaan Bali dan budaya luar seperti India (Hindu), Cina, dan Barat khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan kreatifitas baru dalam seni rupa maupun seni pertunjukkan. Tema-tema dalam seni lukis, seni rupa dan seni pertunjukkan banyak dipengaruhi oleh budaya India. Demikian pula budaya Cina dan Barat/Eropa memberi nuansa batu pada produk seni di Bali. Proses akulturasi tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan adaptif khususnya dalam kesenian sehingga tetap mampu bertahan dan tidak kehilangan jati diri (Mantra 1996).
Kebudayaan Bali sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi mengenai hubungan manusia dengan Tuhan ( parhyangan ), hubungan sesama manusia ( pawongan ), dan hubungan manusia dengan lingkungan ( palemahan ), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan). Apabila manusia mampu menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis dengan ketiga aspek tersebut maka kesejahteraan akan terwujud.
Selain nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi, dalam kebudayaan Bali juga dikenal adanya konsep tri semaya yakni persepsi orang Bali terhadap waktu. Menurut orang Bali masa lalu ( athita ), masa kini ( anaghata ) dan masa yang akan datang ( warthamana ) merupakan suatu rangkaian waktu yang tidak dapt dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan manusia pada saat ini ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini juga menentukan kehidupan di masa yang akan datang. Dalam ajaran hukum karma phala disebutkan tentang sebab-akibat dari suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil yang baik. Demikian pula seBaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya juga buruk atau tidak baik bagi yang bersangkutan.
Kebudayaan Bali juga memiliki identitas yang jelas yaitu budaya ekspresif yang termanifestasi secara konfiguratif yang emncakup nilai-nilai dasar yang dominan sepert: nilai religius, nilai estetika, nilai solidaritas, nilai harmoni, dan nilai keseimbangan (Geriya 2000: 129). Kelima nilai dasar tersebut ditengarai mampu bertahan dan berlanjut menghadapi berbagai tantangan.
Ketahanan budaya Bali juga ditentukan oleh sistem sosial yang terwujud dalam berbagai bentuk lembaga tradisional seperti banjar, desa adat, subak (organisasi pengairan), sekaa (perkumpulan), dan dadia (klen). Keterikatan orang Bali terhadap lembaga-lembaga tradisional tersebut baik secara sukarela maupun wajib, telah mampu berfungsi secara struktural bagi ketahanan budaya Bali. Menurut Geertz (1959) orang Bali sangat terikat oleh beberapa lembaga sosial seperti tersebut di atas. Lembaga tradisional seperti desa adat dianggap benteng terakhir dari kebertahanan budaya Bali.
Nama : WAYAN SUDIANTI
ReplyDeleteNIM : 12.01.1.1967
SMTR: V (LIMA) MANAJEMEN EKONOMI (REG. SORE)
2. Analisis budaya bali zaman dulu dan kini
Bali yang kini menjelma menjadi Bali yang modern pasti berawal dari Bali masa Kuno,Bali yang lampau yang sebenarnya masih bisa kita nikmati kini kalau kita bisa menghormati dan melestarikan akar budaya tersebut. Bali tidak tiba-tiba menjadi sebuah pulau gemerlap nan modern seperti masa kini, tetapi Bali bermula dari suatu sejarah kebudayaan lampau yang setidaknya harus kita hormati karena bagian dari kekayaan budaya negara kita Indonesia.
Arus perubahan tidak bisa dihindari. Seperti masyarakat di daerah lain, Bali juga mengalami perubahan, dan itu terjadi sudah sejak dahulu. Hanya saja, perubahan masyarakat Bali beberapa tahun belakangan ini tergolong drastis.
Dahulu, Bali tergolong pulau agraris dimana sebagian besar masyarakatnya bertani dan berkebun. Lalu berubah menjadi pariwisata. Beberapa tahun belakangan ini, tidak lagi sekedar pariwisata, sudah bergeser menjadi multi-profesi dan multi-aktivitas.
Ada 2 faktor utama yang mendorong terjadinya perubahan drastis di Bali, belakangan ini, yaitu:
• Pengaruh global; dan
• Pengaruh nasional
Di kancah dunia, Bali tergolong salah satu tujuan wisata favorit, sejak dahulu. Disamping keindahan panorama dan kelestarian budayanya, Bali juga terkenal dengan masyarakatnya yang rata-rata kreatif dan memiliki talenta seni—mulai dari seni tari, seni tabuh, lukis, pahat (ukir dan patung) hingga seni tattoo tubuh. Lengkap.
Saat ini, sudah banyak wisatawan yang tidak sekedar tertarik untuk menikmati indahnya Danau Batur atau melihat-lihat Gallery di Ubud, melainkan juga ingin menikmati kedamaian, bermukim dan menetap di Bali, sembari mengubah kreativitas masyarakat Bali—yang dahulunya hanya sebatas berkesenian—menjadi aktivitas bisnis.
Hubungan masyarakat Bali dengan masyarakat global saat ini tidak lagi sekedar ‘guide-dan-turis’ atau ‘seniman-dan-penikmat seni’, melainkan sudah berubah menjadi hubungan antara ‘bawahan-dan-atasan’ atau ‘pedagang-dan-pelanggan’ atau ‘pebisnis-dan-partner bisnis’. Tak sedikit juga yang berupa hubungan ‘pasien-dan-dokter’ atau ‘fotografer-dan-model’ atau ‘murid-dan-guru’, bahkan ‘tetangga-dan-tetangga ekspatriat’.
Perubahan frekwensi dan intensitas hubungan antara masyarakat Bali dan masyarakat global (baca: orang asing) yang kian meningkat, tidak sekedar melahirkan orang bule yang ‘ke-Bali-Balian’—dalam jumlah relative sedikit, melainkan juga melahirkan orang Bali ‘ke-bule-bule-an’ yang justru lebih banyak.
Begitu banyak perubahan dalam masyarakat Bali belakangan ini. Ada perubahan yang menurut sebagian orang bisa jadi positive, ada juga yang negative. Ada perubahan yang menurut sebagian orang bisa jadi baik, ada juga yang tidak baik.
10 Perubahan Paling Drastis Dalam Masyarakat Bali
1. Perubahan Mata Pencaharian
Sebelum era 70an, mata pencaharian masyarakat Bali lebih banyak sebagai petani dan sebagian kecilnya pedagang. Di era 80an, mata pencaharian mulai bergeser ke pegawai pariwisata (pegawai hotel, travel, guide, sopir travel, dlsb) dan pengerajin.
Belakangan ini, berbagai macam profesi di jalani oleh masyarakat Bali; mulai dari pedagang HP hingga pedagang narkoba, mulai dari pengusaha hotel hingga pengusaha café remang-remang, mulai dari calo tanah sampai calo perkara, mulai dari moderator talk show sampai key speaker seminar, mulai dari tukang parkir sampai tukang tagih (debt-collector).
Silahkan periksa status pekerjaan yang tercantum di KTP, berapa orang yang masih mencantumkan “petani”? Hanya ada di desa-desa sana, itupun mungkin jumlahnya sudah sangat sedikit.
Nama : WAYAN SUDIANTI
ReplyDeleteNIM : 12.01.1.1967
SMTR: V (LIMA) MANAJEMEN EKONOMI (REG. SORE)
2. Perubahan Aktivitas dan Etos Kerja
Dalam era dimana sebagian besar masyarakat berstatus petani, etos kerja masyarakat Bali mungkin terlihat lamban dan cenderung santai. Tentu saja, karena aktivitas bertani memang tidak bisa diburu-buru, semua memakai hitungan masa (misalnya: padi baru bisa dipanen setelah berusia 3 bulan, tidak bisa dipercepat).
Banyaknya waktu luang inilah yang membuat masyarakat Bali, di era itu, selalu punya waktu untuk aktivitas-aktivitas berkesenian dan melestarikan budaya (misalnya: mekekawin, megeguritan, megenjekan, megambel, menari, main arja, ngerindik, meniup seruling, membaca lontar, dlsb). Sehingga bagi orang di luar Bali, etos kerja masayarakt Bali pada saat itu dianggap santai.
Etos kerja masyarakat Bali saat ini sudah berubah drastis, menjadi super sibuk, “time-is-money” kata mereka. Perubahan ini tentu terjadi akibat perubahan mata pencaharian yang begitu drastis dan ledakan angkatan kerja yang mengakibatkan kempetisi menjadi begitu ketat. Libur sehari untuk menengok upacara keluarga misalnya, jatah antrean nyupir di halaman hotel sudah diambil-alih orang lain. Tutup kantor sekali, pelanggan sudah marah-marah.
Sehingga, hampir sudah tidak ada waktu lagi untuk ‘menyama-braya’. Melihat orang bertegur sapa di jalanan, saat ini, adalah kejadian langka, ajaib, atau malah dipandang aneh (“terlalu basa-basi, lebian tutur,” kata mereka), kecuali di desa-desa yang jauh di kaki bukit sana.
Permainan Tradisional Bali sekarang jarang bisa kita temukan apalagi di daerah perkotaan, perkembangan tekhnologi yang pesat hampir menenggelamkan mereka. Ada puluhan bahkan ratusa permainan tradisional yang ada, orang tua juga seolah-olah tidak memperhatikan dan cenderung tidak mampu mengarahkan anak-anak mereka dalam melakukan permainan yang memang ternyata cukup susah, karena permainan tradisional lebih menonjolkan permainan berkelompok yang membutuhkan kekompakan dan kebersamaan dan secara tidak langsung mendidik anak itu lebih bisa mengenal lingkungannya yang majemuk, bergaul dengan tidak memandang status sosial dan kebersamaanya, kesetiakawanan dengan suasana ceria di lingkungan mereka.
Banyak permainan tradisional yang ada di Bali seperti; meong-meongan, megoak-goakana, metajog, nyen durine nyongkok, engkeb–engkeban, main gangsing, main tajog. Dengan perkembangan iptek yang pesat, anak-anak cenderung menggunakan tekhnologi yang ada seperti video games yang bisa dimainkan dari handphone, play station dan melalui internet. Mereka sepertinya lebih asik bermain alat tersebut, tidak lagi berinteraksi dengan lingkungan dengan teman sesamanya. Mereka hanya terfokus untuk menang mengumpat kalau kalah. Anak-anak sampai kecanduan dan tidak fokus belajar, apalagi permainan yang menggunakan handphone yang katanya ada ‘radiasi‘ yang bisa mempengaruhi sel-sel tubuh dan perkembangan otak, ini tentunya akan sangat berbahaya bagi perkembangan anak. Peran aktif orang tua sangat dibutuhkan dalam mengarahkan dan membimbing mereka.
Nama : WAYAN SUDIANTI
ReplyDeleteNIM : 12.01.1.1.967
SMTR: V (LIMA) MANAJEMEN EKONOMI (REG. SORE)
3. Perubahan Nama
Mungkin bisa diperdebatkan. Tetapi ini fakta bahwa perubahan penggunaan nama di kalangan masyarakat Bali, dewasa ini, tergolong drastis.
Generasi yang lahir sebelum tahun 70an masih banyak yang menggunakan nama yang menurut masyarakat di luar Bali, unik. Disebut unik karena benar-benar hanya ada di Bali. Misalnya: I Wayan Konten, I Made Simpen, I Gede Dokar, Ni Luh Pujut, Anak Agung Gede Raka, I Putu Danu, AA Putu Keramas, Ni Nyoman Ceraki.
Di Era 70-80, penamaan anak sudah mulai bergeser ke nasional, meniru nama artis ibu kota atau tokoh publik: I Gede Doni (aktor Doni Damara), I Kadek Toni (artis Toni Koeswoyo), Anak Agung Jhoni (aktor Jhoni Indo), Ida Ayu Mariana (artis Dina Mariana), I Putu Deni, I Kadek Edi, Putu Gede Budianto, dan lain sebagainya.
Sekarang, perubahan penamaan anak sangat drastis. Ada 2 trend yang paling menonjol menurut Pop Bali, yaitu:
• nama yang mengarah ke ‘kebarat-baratan’ (mereka menyebutnya “international name”); atau
• nama yang ‘ke-india-indiaan‘ (konon “kembali ke Hindu murni yang berpusat di India”)
Yang mungkin menjadi aneh bagi masyarakat di luar Bali—terutama yang pernah tinggal lama di Bali—adalah adanya kecenderungan untuk tidak menggunakan “I” atau “Ni” di depan nama, sehingga namanya menjadi: Made Joddie Sijatmika, Luh Cyntia Nugraha, Ayu Michelle Arianta, Putu Ambrose Kusuma, atau Nyoman Sri Siva Kemala Devi, Ida Bagus Krishna Aditama, Anak Agung Istri Vedayanti Uttari.
Yang tak kalah menariknya, dahulu banyak orang tua yang dipanggil dengan menggunakan nama si kecil (anaknya), misalnya: I Gede Batur yang punya anak perempuan Ni Ronji dipanggil “Pan Ronji”, dan istrinya dipanggil “Men Ronji”.
Sekarang kebalikannya; nama Ayah atau keluarga besar (biasanya yang paling terkenal) yang dijadikan nama belakang oleh si anak, atau nama suami yang dijadikan nama belakang oleh si Istri—layaknya ‘family name’ dalam budaya barat. Misalnya: Ayu Michelle Arianta di atas adalah puterinya yang terhormat bapak anggota dewan I Putu Arianta, SSos, MM. Dahulu Bali tidak mengenal istilah “nama keluarga (besar)”, sekarang kenal.
Ciri khas nama orang Bali, kini, nyaris tak berbekas kecuali Putu, Wayan, Made, Nyoman, Nengah, dan Ketut yang masih digunakan, itupun tanpa “I” atau “Ni” di depannya. Konon, menurut pendapat sebagian orang, “supaya kelak si anak siap menyongsong era globalisasi.”
Nama : WAYAN SUDIANTI
ReplyDeleteNIM : 12.01.1.1.967
SMTR: V (LIMA) MANAJEMEN EKONOMI (REG. SORE)
5. Perubahan Busana
Dahulu, yang namanya ‘kamen’ (kain) adalah pakaian sehari-hari. Saat ini kamen hanya digunakan dalam acar-acara tertentu seperti: persembahyangan atau upacara dan upakara adat. Selebihnya, pria dan wanita Bali sudah seperti layaknya pria dan wanita modern—memakai celana panjang atau pendek.
Dahulu, pakaian adat Bali menggunakan pakem tertentu, setiap detail pakaian mengandung makna simbolis. Sekarang, pakaian pengantin pria Bali misalnya, sudah sulit dibedakan dengan pakaian adat daerah lain.
Perubahan ini, tentu tak lepas dari proses industrilisasi secara umum—dimana makin cepat perubahan, makin pendek siklus, makin tinggi permintaan, makin banyak yang bisa diproduksi, makin banyak uang mengalir ke dalam rekening
Nama : WAYAN SUDIANTI
ReplyDeleteNIM : 12.01.1.1.967
SMTR: V (LIMA) MANAJEMEN EKONOMI (REG. SORE)
6. Perubahan Etika
Seiring dengan gaya hidup, orientasi, dan pola pikir, etikapun mengalami perubahan yang cukup drastis—baik dari ucapan maupun perilaku.
Figur seorang ‘guru’ (rupaka, pengajian dan wisesa) dahulu adalah sosok yang sangat dihormati di Bali, di dengarkan wejangan dan arahannya, dimanapun berada. Saat ini, sudah nyaris tanpa batas.
Guru Rupaka (ayah dan ibu) hanya terhormat bila mampu membelikan berbagai fasilitas yang diinginkan oleh anak. Guru Pengajian (guru sekolah) hanya disegani di lingkungan sekolah, di luar sekolah sudah tidak dianggap siapa-siapa. Guru Wisesa (pemerintah) hanya dihormati saat masih pegang stempel institusi—menjabat. Begitu tidak berkuasa, sudah tidak dihormati lagi. Otonan sudah digantikan dengan hadiah pesta ulang tahun di cafe, mobil dan ticket berlibur.Murid menjadi tak segan di luar sekolah karena para guru menempatkan anak didik bukan sebagai anak asuh, melainkan sebagai pelanggan yang membayar uang sekolah dalam jumlah tinggi.
7. Perubahan Agama
Bukan hanya bagian luar, perubahan drastis juga terjadi hingga ke bagian dalam, yaitu: agama.
Di kalangan orang Bali sendiri banyak yang mengkhawatirkan kemungkinan perubahan status Bali sebagai “pulau seribu Pura” sebentar lagi tinggal kenangan.
Ada 2 perubahan, dalam hal agama yang dianut oleh orang Bali, yang menonjol belakangan ini, yaitu:
• Pertama, munculnya perbedaan sekte-sekte diantara penganut Hindu sendiri, yang kian tajam belakangan ini. Dahulu nyaris tak ada perbedaan sekte-sekte, yang ada hanya “Hindu Bali”. Kesadaran masyarakat Bali untuk konon “kembali ke Hindu murni” yang berpusat di India, justru menimbulkan sekte-sekte. Bahkan konon ada yang sampai tidak ‘mesebelan’ (berdukacita) ketika ada anggota keluarga beda sekte meninggal.
• Kedua, adanya konversi orang Bali yang semula penganut Hindu ke non-Hindu yang juga massif terjadi di Bali. Konversi yang paling menonjol adalah dari Hindu ke Katolik dan Kristen. Konversi dari Hindu ke Islam pun belakangan ini juga kian meningkat—terutama melalui proses pernikahan.
Dahulu, bagi mereka yang ada di luar Bali, setiap orang yang menggunakan nama I Putu, I Gusti, Anak Agung, atau Ida Bagus, Ni Luh, Gusti Ayu, Agung Ayu, sudah pasti penganut Hindu. Saat ini? Belum tentu. Bali yang sekarang sudah sangat kompleks. Untuk melihat apa agama yang dianut oleh orang Bali masa kini, tidak cukup hanya mengetahui namanya, masih perlu melihat hal-hal lain, misalnya: apakah lengannya mengenakan benang ‘Tri Datu’ (gelang benang berwarna ‘merah-hitam-putih’)? Apakah pernah menggunakan ‘bija’ (bijih beras) di dahinya?
Sebagai bagian dari Indonesia, Bali juga mendapat pengaruh dari perubahan-perubahan yang terjadi di tingkat nasional—teknologi, komunikasi, ekonomi, politik hingga budaya. Perubahan dari era pemerintahan Soeharto (orde baru) ke era pemerintahan pasca-Soeharto (reformasi) misalnya, membawa pengaruh kuat bagi kehidupan sosial dan politik di Bali, yang pada akhirnya mendorong terjadinya perubahan dalam berbagai aspek.
Nama : WAYAN SUDIANTI
ReplyDeleteNIM : 12.01.1.1967
SMTR: V (LIMA) MANAJEMEN EKONOMI (REG. SORE)
2. Analisis budaya bali zaman dulu dan kini
Bali yang kini menjelma menjadi Bali yang modern pasti berawal dari Bali masa Kuno,Bali yang lampau yang sebenarnya masih bisa kita nikmati kini kalau kita bisa menghormati dan melestarikan akar budaya tersebut. Bali tidak tiba-tiba menjadi sebuah pulau gemerlap nan modern seperti masa kini, tetapi Bali bermula dari suatu sejarah kebudayaan lampau yang setidaknya harus kita hormati karena bagian dari kekayaan budaya negara kita Indonesia.
Arus perubahan tidak bisa dihindari. Seperti masyarakat di daerah lain, Bali juga mengalami perubahan, dan itu terjadi sudah sejak dahulu. Hanya saja, perubahan masyarakat Bali beberapa tahun belakangan ini tergolong drastis.
Dahulu, Bali tergolong pulau agraris dimana sebagian besar masyarakatnya bertani dan berkebun. Lalu berubah menjadi pariwisata. Beberapa tahun belakangan ini, tidak lagi sekedar pariwisata, sudah bergeser menjadi multi-profesi dan multi-aktivitas.
Ada 2 faktor utama yang mendorong terjadinya perubahan drastis di Bali, belakangan ini, yaitu:
• Pengaruh global; dan
• Pengaruh nasional
Di kancah dunia, Bali tergolong salah satu tujuan wisata favorit, sejak dahulu. Disamping keindahan panorama dan kelestarian budayanya, Bali juga terkenal dengan masyarakatnya yang rata-rata kreatif dan memiliki talenta seni—mulai dari seni tari, seni tabuh, lukis, pahat (ukir dan patung) hingga seni tattoo tubuh. Lengkap.
Saat ini, sudah banyak wisatawan yang tidak sekedar tertarik untuk menikmati indahnya Danau Batur atau melihat-lihat Gallery di Ubud, melainkan juga ingin menikmati kedamaian, bermukim dan menetap di Bali, sembari mengubah kreativitas masyarakat Bali—yang dahulunya hanya sebatas berkesenian—menjadi aktivitas bisnis.
Hubungan masyarakat Bali dengan masyarakat global saat ini tidak lagi sekedar ‘guide-dan-turis’ atau ‘seniman-dan-penikmat seni’, melainkan sudah berubah menjadi hubungan antara ‘bawahan-dan-atasan’ atau ‘pedagang-dan-pelanggan’ atau ‘pebisnis-dan-partner bisnis’. Tak sedikit juga yang berupa hubungan ‘pasien-dan-dokter’ atau ‘fotografer-dan-model’ atau ‘murid-dan-guru’, bahkan ‘tetangga-dan-tetangga ekspatriat’.
Perubahan frekwensi dan intensitas hubungan antara masyarakat Bali dan masyarakat global (baca: orang asing) yang kian meningkat, tidak sekedar melahirkan orang bule yang ‘ke-Bali-Balian’—dalam jumlah relative sedikit, melainkan juga melahirkan orang Bali ‘ke-bule-bule-an’ yang justru lebih banyak.
Begitu banyak perubahan dalam masyarakat Bali belakangan ini. Ada perubahan yang menurut sebagian orang bisa jadi positive, ada juga yang negative. Ada perubahan yang menurut sebagian orang bisa jadi baik, ada juga yang tidak baik.
10 Perubahan Paling Drastis Dalam Masyarakat Bali
1. Perubahan Mata Pencaharian
Sebelum era 70an, mata pencaharian masyarakat Bali lebih banyak sebagai petani dan sebagian kecilnya pedagang. Di era 80an, mata pencaharian mulai bergeser ke pegawai pariwisata (pegawai hotel, travel, guide, sopir travel, dlsb) dan pengerajin.
Belakangan ini, berbagai macam profesi di jalani oleh masyarakat Bali; mulai dari pedagang HP hingga pedagang narkoba, mulai dari pengusaha hotel hingga pengusaha café remang-remang, mulai dari calo tanah sampai calo perkara, mulai dari moderator talk show sampai key speaker seminar, mulai dari tukang parkir sampai tukang tagih (debt-collector).
Silahkan periksa status pekerjaan yang tercantum di KTP, berapa orang yang masih mencantumkan “petani”? Hanya ada di desa-desa sana, itupun mungkin jumlahnya sudah sangat sedikit.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteNama : SRI INDRAWATI
ReplyDeleteNIM : 12.01.1.1.963
SEMESTER : V (LIMA) MANAJEMEN EKONOMI (REG. SORE)
1.Pengertian Budaya Orang Bali
Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui adanya perbedaaan ( rwa bhineda ), yang sering ditentukan oleh faktor ruang ( desa ), waktu ( kala ) dan kondisi riil di lapangan ( patra ). Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh kebudayaan luar. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa komunikasi dan interaksi antara kebudayaan Bali dan budaya luar seperti India (Hindu), Cina, dan Barat khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan kreatifitas baru dalam seni rupa maupun seni pertunjukkan. Tema-tema dalam seni lukis, seni rupa dan seni pertunjukkan banyak dipengaruhi oleh budaya India. Demikian pula budaya Cina dan Barat/Eropa memberi nuansa batu pada produk seni di Bali. Proses akulturasi tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan adaptif khususnya dalam kesenian sehingga tetap mampu bertahan dan tidak kehilangan jati diri .
Kebudayaan Bali sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi mengenai hubungan manusia dengan Tuhan ( parhyangan ), hubungan sesama manusia ( pawongan ), dan hubungan manusia dengan lingkungan ( palemahan ), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan). Apabila manusia mampu menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis dengan ketiga aspek tersebut maka kesejahteraan akan terwujud.
Selain nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi, dalam kebudayaan Bali juga dikenal adanya konsep tri semaya yakni persepsi orang Bali terhadap waktu. Menurut orang Bali masa lalu ( athita ), masa kini ( anaghata ) dan masa yang akan datang ( warthamana ) merupakan suatu rangkaian waktu yang tidak dapt dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan manusia pada saat ini ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini juga menentukan kehidupan di masa yang akan datang. Dalam ajaran hukum karma phala disebutkan tentang sebab-akibat dari suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil yang baik. Demikian pula seBaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya juga buruk atau tidak baik bagi yang bersangkutan.
Kebudayaan Bali juga memiliki identitas yang jelas yaitu budaya ekspresif yang termanifestasi secara konfiguratif yang emncakup nilai-nilai dasar yang dominan sepert: nilai religius, nilai estetika, nilai solidaritas, nilai harmoni, dan nilai keseimbangan . Kelima nilai dasar tersebut ditengarai mampu bertahan dan berlanjut menghadapi berbagai tantangan.
Nama : SRI INDRAWATI
ReplyDeleteNIM : 12.01.1.1.963
SMTR: V (LIMA) MANAJEMEN EKONOMI (REG. SORE)
2. Analisis budaya bali zaman dulu dan kini
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Budaya Bali adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh masyarakat Bali dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan karya seni.
Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Budaya memiliki sifat yang tidak kekal, seiring perkembangan jaman suatu dapat berubah-ubah sesuai dengan pengaruh atau atau kemajuan ilmu dan teknologi.
Budaya Bali yang Sudah Hilang
Adapun budaya Bali yang telah menghilang, antara lain sebagai berikut.
Desain bangunan
Desain rumah masyarakat Bali dahulu terlihat bahwa bentuk rumah yang sangat sederhana. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembutan rumah juga sangat sederhana. Bahan-bahan yang digunakan anatara lain tanah yang ditumpuk-tumpuk sehingga berwujud tembok dan atap rumahnya menggunakan rumput lalang atau daun kelapa. Tradisi rumah ini mulai ditinggalkan saat ada pengaruh dari luar dan pengaruh jaman dan teknologi seperti sekarang ini. Saat ini masyarakat khususnya di Bali menganggap bangunan seperti itu sudah “ketinggalan jaman”. Masyarakat seolah-olah berlomba membuat bangunan rumah senyaman mungkin. Mengenai tata ruang bangunanpun saat ini sudah tidak diperhatikan lagi. Masyarakan sekreatif mungkin membuat bangunan yang menarik tanpa memperhatikan tata ruang yang biasa dibuat oleh masyarakat jaman dulu
Nama : SRI INDRAWATI
ReplyDeleteNIM : 12.01.1.1.963
SMTR: V (LIMA) MANAJEMEN EKONOMI (REG. SORE)
Busana/Pakaian Masyarakat Bali
Jaman dahulu, masyarakat Bali memiliki Budaya berbudana yang sangat sederhana. Hampir semua masyarakat bali hanya memakai busana pada bagian bawah saja, yaitu dari perut sampai ke kaki. Busana tersebut berbahan kain yang di pakai dan diikat dengan sebuah selendang sehingga berbentuk kamben. Sedangkan bagian atas, bisanya masyarakat Bali jarang menggunakan pakaian sehingga tubuh bagian atas tetap telanjang. Seiring kemajuan jaman dan teknologi, budaya berbusana ini ditinggalkan oleh masyarakat Bali. Saat ini masyarakat Bali sudah memakai busana tertutup, artinya masyarakat sudah memakai busana lengkap, baik bagian atas maupun bawah.
Transportasi Gedebeg
Alat transportasi gedebeg merupakan sarana transportasi yang dimiliki oleh masyarakat Bali pada jaman dulu. Alat transportasi ini berbentuk gerobak, yang terbuat dari kayu yang dipergunakan untuk mengangkut barang, terbuat dari kayu yang berbentuk rumah kecil dan tenaga yang digunakan sebagai penarik transportasi ini adalah seekor kerbau. alat transportasi ini biasanya digunakan untuk mengankut hasil pertanian atau barang dagangan yang akan dibawa ke pasar. Seiring perkembanggan jaman dan teknologi alat transportasi ini sudah ditinggalkan karena kurang evisiensi waktu.
Budaya Bali yang Sudah Rapuh
Budaya Bali yang merapuh adalah budaya milik masyarakat Bali yang keberadaannya mulai ditinggalkan oleh masyarakat bali.
1. Subak di Bali
Subak Bali diputuskan menjadi Warisan Dunia Subak dapat memertahankan nilai asli budaya masyarakat Bali dan tradisi kuno subak perlu dilestarikan. Subak tidak hanya berfungsi sebagai sistem irigasi, tapi juga merupakan bagian dari keyakinan rohani. Pengakuan dari UNESCO dapat mendorong pemerintah dan petani lokal untuk tetap menjaga dan memertahankan subak.
Ironisnya, setiap tahun sekira 1.000 hektare lahan pertanian di Bali telah diubah menjadi hotel dan rumah. Karena itu, perlu adanya perlindungan khusus dari pihak internasional agar subak tidak hilang begitu saja. Pariwisata di Bali sebenarnya bisa mengancam kelestarian subak. Pasalnya, adanya pengembangan wisata di sekitar subak membuat harga properti di sekitarnya naik sehingga petani harus membayar pajak mahal. Tradisi yang selama ini hidup dikhawatirkan juga hilang yaitu contohnya di Gunung Sari yang setiap tahunnya dilaksanakan ritual panen. Petani akan berkumpul untuk berdoa meminta keselamatan dan hasil panen yang baik. Bila Subak hilang, budaya Bali juga akan hilang. Subak sangat penting karena merupakan dasar dari budaya Bali.
Nama : SRI INDRAWATI
ReplyDeleteNIM : 12.01.1.1.963
SMTR: V (LIMA) MANAJEMEN EKONOMI (REG. SORE)
2. Permainan Tradisional Bali
Permainan Tradisional Bali sekarang jarang bisa kita temukan apalagi di daerah perkotaan, perkembangan tekhnologi yang pesat hampir menenggelamkan mereka. Ada puluhan bahkan ratusa permainan tradisional yang ada, orang tua juga seolah-olah tidak memperhatikan dan cenderung tidak mampu mengarahkan anak-anak mereka dalam melakukan permainan yang memang ternyata cukup susah, karena permainan tradisional lebih menonjolkan permainan berkelompok yang membutuhkan kekompakan dan kebersamaan dan secara tidak langsung mendidik anak itu lebih bisa mengenal lingkungannya yang majemuk, bergaul dengan tidak memandang status sosial dan kebersamaanya, kesetiakawanan dengan suasana ceria di lingkungan mereka.
Banyak permainan tradisional yang ada di Bali seperti; meong-meongan, megoak-goakana, metajog, nyen durine nyongkok, engkeb–engkeban, main gangsing, main tajog. Dengan perkembangan iptek yang pesat, anak-anak cenderung menggunakan tekhnologi yang ada seperti video games yang bisa dimainkan dari handphone, play station dan melalui internet. Mereka sepertinya lebih asik bermain alat tersebut, tidak lagi berinteraksi dengan lingkungan dengan teman sesamanya. Mereka hanya terfokus untuk menang mengumpat kalau kalah. Anak-anak sampai kecanduan dan tidak fokus belajar, apalagi permainan yang menggunakan handphone yang katanya ada ‘radiasi‘ yang bisa mempengaruhi sel-sel tubuh dan perkembangan otak, ini tentunya akan sangat berbahaya bagi perkembangan anak. Peran aktif orang tua sangat dibutuhkan dalam mengarahkan dan membimbing mereka
Alat pembajak sawah
Keunikan Budaya Bali dan Pesatnya Pariwisata Bali kita tidak bisa terlepas dari sebuah dunia yang disebut Pertanian Bali. Pertanian di bali memiliki pertalian yang erat antara Budaya, Agama, Alam Bali dan Pariwisata di Bali. “metekap” adalah istilah orang Bali dalam membajak sawah mereka, peralatan tradisional yang mereka pakai terdiri dari “UGA” ditaruh pada leher kedua ekor sapi yang kemudian di ikat pada “TENGALA” dan “LAMPIT” yang berfungsi untuk membajak sawah.
Seiring perkembangan jaman dan teknologi kegiatan “matekap” sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat Bali, karena dengan kemajuan teknologi yang menghasilkan alat pembajak sawah yang disebut dengan “Traktor” telah menggantikan alat-alat tradisional Bali. Dengan “traktor” pekerjaan membajak sawah menjadi lebih mudah dan cepat. Dengan adanya alat moderen inilah masyarakat menjadi lebih dimannjakan, dan mulai meninggalkan budaya “matekap”.
Nama : SRI INDRAWATI
ReplyDeleteNIM : 12.01.1.1.963
SMTR: V (LIMA) MANAJEMEN EKONOMI (REG. SORE
Budaya Bali yang Bertahan
Selain budaya yang menghilang dan merapuh, Bali juga masih memiliki budaya yang tetap bertahan hingga saat ini, antara lain sebagai berikut.
Upacara Pengabenan
Pulau Bali yang juga dikenal sebagai “Pulau Seribu Pura” memiliki ritual khusus dalam memperlakukan leluhur atau sanak saudara yang telah meninggal. Apabila di tempat lain orang yang meninggal umumnya dikubur, tidak demikian dengan masyarakat Hindu di Bali. Sebagaimana penganut Hindu di India, mereka akan menyelenggarakan upacara kremasi yang disebut Ngaben, yaitu ritual pembakaran mayat sebagai simbol penyucian roh orang yang meninggal.
Tradisi budaya ngaben ini merupakan warisan leluhur masyarakat Bali dan diteruskan secara turun temurun ke anak cucunya. Upacara pengabenan ini juga menjadi salah satu penarik wisatawan di Bali karena keunikan dan keseniannya.
Ogoh-ogoh
Ogoh-ogoh merupakan karya seni patung dalam kebudayaan Bali. Budaya Ogoh-ogoh ini tetap bertahan hingga saat ini. Ogoh-ogoh ini kebudayaan yang menggambarkan kepribadian “Bhuta Kala” dan sudah menjadi ikon ritual yang secara tradisi sangat penting dalam penyambutan Hari Raya Nyepi atau Tahun Baru Saka. Seluruh umat Hindu Dharma akan bersukaria menyambut kehadiran tahun baru itu dengan mengarak-arakan “ogoh-ogoh” yang dibarengi dengan perenungan tentang yang telah terjadi dan sudah dilakukan selama ini pada saat “Pangerupukan” atau sehari setelah menjelang Hari Raya Nyepi, peristiwa dan prosesinya setiap tahunnya sama yaitu pada setiap banjar membuat ogoh-ogoh.
Mengingat pentingnya Budaya ogoh-ogoh ini, sampai sekarang masih tetap bertahan dan lestari. Disamping itu dengan keberadaan arak-arakan “Ogoh-ogoh” yang sudah menjadi tradisi inilah yang menambah daya tarik wisata. Balipun memiliki budaya yang menjadi salah satu andalan kepariwisataan.
Tradisi Omed-omedan
Tradisi omed-omedan merupakan warisan nenek moyang sejak dulu dan dilakukan secara turun temurun. Dahulu, omed-omedan hanya dilakukan hanya dengan tarik-tarikan, perkembangan jaman yang pesat lalu berubah ada ciuman. Pada saat sedang berciuman, air diguyur agar peserta tidak kepanasan dan ciumannya tidak menjadi lebih lama. Tradisi omed-omedan ini, dilakukan oleh dua kelompok yakni muda dan mudi. Pemuda berdiri membentuk barisan ke belakang dan saling berpelukan pada pinggang orang yang di depan. Demikian pula dengan kelompok pemudi. Jumlahnya tidak dibatasi. Pada saat dikasih aba-aba maka kelompok dua kelompok ini saling tarik menarik ke belakang, bertumpuh pada kaki dengan lengan di pingggang. Orang yang mengambil posisi di depan harus mampu berjalan ke depan sementara yang lain menarik berlawanan ke belakang. Saat orang yang di depan berhasil maju ke depan bertemu, disaat itulah keduanya berpelukan dan berciuman.
Nama : SRI INDRAWATI
ReplyDeleteNIM : 12.01.1.1.963
SMTR: V (LIMA) MANAJEMEN EKONOMI (REG. SORE
Saya ambil contohnya dari kasta orang Bali zaman dulu dan kini.
Kasta merupakan sesuatu yang tampak sebagai bagian yang identik dengan tradisi atau kultur budaya masyarakat Bali, dan bahkan tampak dekat dengan ajaran Hindu. Sehingga begitu identiknya sering disebut Hindu mengenal sistem kasta sebagai bagian dari ajarannya..
Sehingga ada kesan bahwa sebuah wilayah yang bernapaskan Hindu selalu menghadirkan kasta. Termasuk kini di Bali yang cukup kental terkesan adanya kelompok masyarakat dalam kasta. Namun apakah kasta itu sesungguhnya ada? Tentu saja kasta dalam pengertian bahwa kelompok masyarakat didasarkan pada garis keturunan.
namun saya melihat dalam beberapa tulisan ada kebebasan orang untuk pindah dari golongan brahmana ke golongan ksatria, atau pun sebaliknya sejak zaman kerajaan dulu. Sri Aji Kresna Kepakisan sendiri jika tidak salah berasal dari keluarga brahmana yang kemudian menjadi ksatria.
Dan setahu saya dalam sistem Hindu pun tidak ada istilah kasta, tidak ada sistem kasta. Ya, jika ada kelompok seperti brahmana, ksatria, waisya dan sudra, itu hanyalah pembagian profesi dalam tingkatan yang setara. Di setiap masyarakat pun akan ada yang menjadi penasihat, pemerintah, penggerak masyarakat dan masyarakat luas itu sendiri. Apa kemudian yang menjadi bos lebih mulia dibandingkan yang menjadi tukang sapu? Ya, kalau ada yang berpikir seperti itu, mungkin dia sendiri yang mengkastakan orang-orang di sekitarnya
Nama : SRI INDRAWATI
ReplyDeleteNIM : 12.01.1.1.963
SMTR: V (LIMA) MANAJEMEN EKONOMI (REG. SORE
Di antara manusia, tidak ada perbedaan mendasar yang membuatnya menjadi lebih mulia dibandingkan manusia lainnya.
Kasta bisa berasal dari bahasa Latin, castus yang bermakna sesuatu yang murni atau tidak tercermar. Bagi penggemar novel & film Harry Potter tentu mengenal istilah pure blood, yang membedakan para penyihir yang ada dalam garis keturunan murni dalam keluarga para penyihir sejak zaman dulu. Ya, kurang lebih makna kasta seperti itu.
Konon, kasta mulai kental di Bali pada zaman penjajahan Belanda, karena dengan membuat sistem kasta kental, maka penjajah dapat membuat jarak pemisah antara raja dan rakyatnya, sehingga mudah diadu domba dalam politik devide et impera pihak kolonial. Dan sepertinya itu berhasil pada beberapa bagian.
Saya rasa masyarakat Bali setidaknya mesti bercermin pada sejarah. Ini seperti refleksi kembali. Walau kasta tidak ada dalam sistem Hindu, namun apa yang ditinggalkan setidaknya membawa pengaruh dalam tradisi. Dan walau tidak sekental dulu, mungkin masih ada beberapa wilayah atau kelompok yang memang mempertahankan kasta di Bali. Jika tidak masyarakat Bali akan sangat mudah dipecah belah lagi jika ada yang berniat demikian. Dan saya rasa masyarakat manapun yang masih mengotak-ngotakkan manusia dalam alur kemurnian seperti sistem kasta, pasti akan sangat labil akan perpecahan
Nama : Kadek Eli Wahyuni
ReplyDeleteNim : 12.01.1.1034
Semester : VI (enam)
Jurusan : Manajemen Reg. Pagi
1. Pengertian budaya orang bali
Kebudayaan Bali dilandasi dengan nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu, yang mengakui adanya perbedaan namun tetap menghargai satu sama lain meskipun memiliki perbedaan yang sering disebut dengan Desa Kala Patra, adat yang dilakukan sesuai dengan tradisi yang ada didaerahnya yang tidak melupakan jati diri masing-masing, hal tersebutla yang menyebabkan kebudayaan bali bersifat fleksibel karena menerima keudayaan yang berbeda dari luar.
Meskipun di bali dikenal dengan Desa Kala Patra Kebudayaan bali tetap menjungjung tinggi nilai-nilai saling menghargai seperti hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan tuhan.
Adapun contoh kebudayaan orang bali alam melakukan upacara pernikahan atau pawiwahan dengan rangkaian tahapan seperti:
a. upacara ngekeb yang bertujuan untuk mempersiapkan calon pengantin wanita dari kehidupan remaja menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga memohon doa restu kepada Tuhan Yang Maha Esa agar bersedia menurunkan kebahagiaan kepada pasangan ini serta nantinya mereka diberikan anugerah berupa keturunan yang baik.
b. Mungkah Lawang ( Buka Pintu ) biasanya terdapat pesan yang mengatakan jika pengantin pria telah datang menjemput pengantin wanita dan memohon agar segera dibukakan pintu.
c. Upacara Mesegehagung Sesampainya kedua pengantin di pekarangan rumah pengantin pria, keduanya turun dari tandu untuk bersiap melakukan upacara Mesegehagung yang tak lain bermakna sebagai ungkapan selamat datang kepada pengantin wanita. kemudian keduanya ditandu lagi menuju kamar pengantin. Ibu dari pengantin pria akan memasuki kamar tersebut dan mengatakan kepada pengantin wanita bahwa kain kuning yang menutupi tubuhnya akan segera dibuka untuk ditukarkan dengan uang kepeng satakan yang ditusuk dengan tali benang Bali dan biasanya berjumlah dua ratus kepeng
d. Madengen–dengen Upacara ini bertujuan untuk membersihkan diri atau mensucikan kedua pengantin dari energi negatif dalam diri keduanya.
e. Mewidhi Widana Acara ini merupakan penyempurnaan pernikahan adat bali untuk meningkatkan pembersihan diri pengantin yang telah dilakukan pada acara – acara sebelumnya. Selanjutnya, keduanya menuju merajan yaitu tempat pemujaan untuk berdoa mohon izin dan restu Yang Kuasa. Acara ini dipimpin oleh seorang pemangku merajan
f. mejauman Ngabe Tipat Bantal Acara ini dilakukan untuk memohon pamit kepada kedua orang tua serta sanak keluarga pengantin wanita, terutama kepada para leluhur, bahwa mulai saat itu pengantin wanita telah sah menjadi bagian dalam keluarga besar suaminya.
Kekerabatan
Adat menetap diBali sesudah menikah mempengaruhi pergaulan kekerabatan dalam suatu masyarakat. Ada macam 2 adat menetap yang sering berlaku diBali yaitu adat virilokal adalah adat yang membenarkan pengantin baru menetap disekitar pusat kediaman kaum kerabat suami,dan adat neolokal adalah adat yang menentukan pengantin baru tinggal sendiri ditempat kediaman yang baru. Di Bali ada 3 kelompok klen utama (triwangsa) yaitu: Brahmana sebagai pemimpin upacara, Ksatria yaitu : kelompok-klompok khusus seperti arya Kepakisan dan Jaba yaitu sebagai pemimpin keagamaan.
Kemasyarakatan
Desa, suatu kesatuan hidup komunitas masyarakat bali mencakup pada 2 pengertian yaitu: desa adat dan desa dinas (administratif). Keduanya merupakan suatu kesatuan wilayah dalam hubungannya dengan keagamaan atau pun adat istiadat, sedangkan desa dinas adalah kesatuan admistratif. Kegiatan desa adat terpusat pada bidang upacara adat dan keagamaan, sedangkan desa dinas terpusat pada bidang administrasi, pemerintahan dan pembangunan.
Nama : Kadek Eli Wahyuni
ReplyDeleteNim : 12.01.1.1034
Semester : VI (enam)
Jurusan : Manajemen Reg. Pagi
Lanjutan
Kekerabatan
Adat menetap diBali sesudah menikah mempengaruhi pergaulan kekerabatan dalam suatu masyarakat. Ada macam 2 adat menetap yang sering berlaku diBali yaitu adat virilokal adalah adat yang membenarkan pengantin baru menetap disekitar pusat kediaman kaum kerabat suami,dan adat neolokal adalah adat yang menentukan pengantin baru tinggal sendiri ditempat kediaman yang baru. Di Bali ada 3 kelompok klen utama (triwangsa) yaitu: Brahmana sebagai pemimpin upacara, Ksatria yaitu : kelompok-klompok khusus seperti arya Kepakisan dan Jaba yaitu sebagai pemimpin keagamaan.
Kemasyarakatan
Desa, suatu kesatuan hidup komunitas masyarakat bali mencakup pada 2 pengertian yaitu: desa adat dan desa dinas (administratif). Keduanya merupakan suatu kesatuan wilayah dalam hubungannya dengan keagamaan atau pun adat istiadat, sedangkan desa dinas adalah kesatuan admistratif. Kegiatan desa adat terpusat pada bidang upacara adat dan keagamaan, sedangkan desa dinas terpusat pada bidang administrasi, pemerintahan dan pembangunan.
2. Budaya bali jaman dulu dan kini
Budaya Bali adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh masyarakat Bali dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan karya seni.
Bahasa juga merupakan budaya bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. manusia berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Budaya memiliki sifat yang tidak kekal, seiring perkembangan jaman suatu dapat berubah-ubah sesuai dengan pengaruh atau atau kemajuan ilmu dan teknologi.
Begitu pula dengan budaya yang terdapat dibali seiring dengan perkembangan jaman, budaya dibali sudah mulai menghilang adapun budaya bali yang telah menghilang diantaranya seperti;
a. Desain bangunan
Desain rumah masyarakat Bali dulu sangat sederhana. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembutan rumah juga sangat sederhana. Bahan-bahan yang digunakan anatara lain tanah yang ditumpuk-tumpuk sehingga berwujud tembok dan atap rumahnya menggunakan rumput lalang atau daun kelapa. Tradisi rumah ini mulai ditinggalkan saat ada pengaruh dari luar dan pengaruh jaman dan teknologi seperti sekarang ini. Saat ini masyarakat khususnya di Bali menganggap bangunan seperti itu sudah "ketinggalan jaman". Masyarakat seolah-olah berlomba membuat bangunan rumah senyaman mungkin. Mengenai tata ruang bangunanpun saat ini sudah tidak memperhatikan asta kosala kosali yang menjadi panutan sebagai tata letak ruangan.
b. Busana atau Pakaian
Jaman dahulu, masyarakat Bali hanya memakai busana pada bagian bawah saja, yaitu dari perut sampai ke kaki. Busana tersebut berbahan kain yang di pakai dan diikat dengan sebuah selendang sehingga berbentuk kamben. Sedangkan bagian atas, bisanya masyarakat Bali jarang menggunakan pakaian sehingga tubuh bagian atas tetap telanjang. Seiring kemajuan jaman dan teknologi, budaya berbusana ini ditinggalkan oleh masyarakat Bali. Saat ini masyarakat Bali sudah memakai busana tertutup, artinya masyarakat sudah memakai busana lengkap, baik bagian atas maupun bawah seperti celana jeans dan baju kaos maupun kemeja.
ReplyDeleteNama : Kadek Eli Wahyuni
Nim : 12.01.1.1034
Semester : VI (enam)
Jurusan : Manajemen Reg. Pagi
Lanjutan
Selain budaya sudah menghilang budaya bali juga terdapat budaya yang sudah mulai rapuh diantaranya seperti:
a. Permainan tradisional bali
Permainan Tradisional Bali sekarang jarang bisa kita temukan apalagi di daerah perkotaan, hal ini diakibatkan oleh perkembangan tekhnologi. Banyak permainan tradisional yang ada di Bali seperti; meong-meongan, megoak-goakan, engkeb -engkeban, main gangsing, main tajog. Dengan perkembangan iptek yang pesat, namun dengan perkembangan jaman di era sekarang orang-orang tidak lagi bermain dengan permainan tradisional melainkan lebih memilih untuk menggunakan tekhnologi yang ada seperti video games yang bisa dimainkan dari handphone, play station dan melalui internet.
b. Alat pembajak sawah
Pertanian di bali memiliki pertalian yang erat antara Budaya, Agama, Alam Bali dan Pariwisata di Bali. “metekap” adalah istilah orang Bali dalam membajak sawah mereka, peralatan tradisional yang mereka pakai terdiri dari "UGA" ditaruh pada leher kedua ekor sapi yang kemudian di ikat pada "TENGALA" dan "LAMPIT" yang berfungsi untuk membajak sawah. Seiring perkembangan jaman dan teknologi kegiatan “matekap” sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat Bali, karena dengan kemajuan teknologi yang menghasilkan alat pembajak sawah yang disebut dengan “Traktor” telah menggantikan alat-alat tradisional Bali. Dengan “traktor” pekerjaan membajak sawah menjadi lebih mudah dan cepat. Dengan adanya alat moderen inilah masyarakat menjadi lebih dimanjakan, dan mulai meninggalkan budaya “matekap”.
Selain memiliki budaya yang menghilang dan merapuh bali juga memiliki budaa yang tetap bertahan diantaranya seperti;
a. Upacara pengabenan
Pulau Bali yang juga dikenal sebagai “Pulau Seribu Pura” memiliki ritual khusus dalam memperlakukan leluhur atau sanak saudara yang telah meninggal. Apabila di tempat lain orang yang meninggal umumnya dikubur, tidak demikian dengan masyarakat Hindu di Bali. Yang menyelenggarakan upacara kremasi yang disebut Ngaben, yaitu ritual pembakaran mayat sebagai simbol penyucian roh orang yang meninggal. Tradisi budaya ngaben ini merupakan warisan leluhur masyarakat Bali dan diteruskan secara turun temurun ke anak cucunya. Upacara pengabenan ini juga menjadi salah satu penarik wisatawan di Bali karena keunikan dan keseniannya.
b. Ogoh-ogoh
Ogoh-ogoh merupakan karya seni patung dalam kebudayaan Bali. Ogoh-ogoh ini kebudayaan yang menggambarkan kepribadian “Bhuta Kala” dan sudah menjadi ikon ritual yang secara tradisi sangat penting dalam penyambutan Hari Raya Nyepi atau Tahun Baru Saka. Seluruh umat Hindu Dharma akan bersukaria menyambut kehadiran tahun baru itu dengan mengarak-arakan “ogoh-ogoh” yang dibarengi dengan perenungan tentang yang telah terjadi dan sudah dilakukan selama ini pada saat “Pangerupukan”atau sehari setelah menjelang Hari Raya Nyepi, peristiwa dan prosesinya setiap tahunnya sama yaitu pada setiap banjar membuat ogoh-ogoh.
c. Tradisi omed-omedan
Tradisi omed-omedan merupakan warisan nenek moyang sejak dulu dan dilakukan secara turun temurun. Dahulu, omed-omedan hanya dilakukan hanya dengan tarik-tarikan, perkembangan jaman yang pesat lalu berubah ada ciuman. Pada saat sedang berciuman, air diguyur agar peserta tidak kepanasan dan ciumannya tidak menjadi lebih lama. Tradisi omed-omedan ini, dilakukan oleh dua kelompok yakni muda dan mudi. Pemuda berdiri membentuk barisan ke belakang dan saling berpelukan pada pinggang orang yang di depan. Demikian pula dengan kelompok pemudi. Jumlahnya tidak dibatasi. Pada saat dikasih aba-aba maka kelompok dua kelompok ini saling tarik menarik ke belakang, bertumpuh pada kaki dengan lengan di pingggang. Orang yang mengambil posisi di depan harus mampu berjalan ke depan sementara yang lain menarik berlawanan ke belakang. Saat orang yang di depan berhasil maju ke depan bertemu, disaat itulah keduanya berpelukan dan berciuman.
Nama : Luh Ayu Dewi Martina
ReplyDeleteNIM : 12.01.1.1.994
Semester : VI(enam)
Kelas : Manajemen ekonomi (Reguler Sore)
Bali tempo dulu memiliki perjalanan sejarah yang unik serta menarik, baik itu dari sisi kehidupan sosial, budaya beragama serta pemerintahannya. Bali kini tentu berbeda, namun memiliki kaitan sejarah yang tak bisa dipisahkan, perbedaan tersebut sangat terasa sekali dari segi tingkat ekonomi, kepadatan penduduk, pendidikan, insfatuktur, media komunikasi hampir di setiap lini, namun demikian tatanan budaya adat serta tradisi, banyak yang masih dilestarikan sampai sekarang, menjadikannya sesuatu yang unik, dan membuat orang penasaran sehingga ingin mengetahuinya lebih dekat. Dalam perkembangan masa kini saat dunia wisata di Bali berkembang dengan baik, terutama wisatawan asing memiliki antusias tinggi untuk mengetahui hal-hal unik peninggalan masa lalu tersebut.
Tatanan kehidupan Bali tempo dulu, memang layak untuk kita ketahui, mengetahui sejarah budaya leleuhur kita, dan mengambil intisarinya, budaya apa saja yang patut kita lestarikan. Salah satu hal menarik adalah kehidupan kaum perempuan, dari segi serta tata cara mereka berpakaian, baik itu anak-anak, gadis sampai yang sudah tua mereka tidak memakai pakaian penutup dada, hanya memakai kain dari pinggang ke bawah, mereka sudah terbiasa untuk pakaian sehari-hari, baik itu saat di rumah, di pasar ataupun ke pura, sekarang ini dianggap vulgar bisa kena sanksi hukum, namun merupakan hal biasa dan tidak ada yang aneh pada saat itu, walaupun sudah pengaruh asing seperti pedagang-pedagang erofa.
masa lalu ini serta perjalanan hidup masa lampau nenek moyang kita, memang perlu diketahui serta dihargai, karena pada kenyataanya manusia tidak mengkin hidup tanpa sejarah pendahulunya, karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Kita sebagai generasi penerus harus bijak serta bisa memilah, mengambil hikmah dari perjalanan mereka tersebut. Ada kalanya hal-hal yang kurang relevan tidak bisa dilestarikan pada masa sekarang, tetapi hikmahnya tentu melebihi apa yang kita bisa saksikan. Memahami bagaimana Bali Tempo dulu tersebut mengantar kita sampai dengaan masa kini, apalagi sejarah pada jaman kerajaan, sengaja dipecah-pecah oleh pihak penjajah agar mudah ditaklukkan. Jiwa patriot leluhur untuk membela tanah air dari penindasan perlu kita lestarikan.
Nama : Fitriani
ReplyDeleteNim : 12.01.1.1037
Semester : VI (enam)
Jurusan : Manajemen Reg. Pagi
Budaya orang bali merupakan Adat istiadat pada masyarakat Bali hindu Yang sangat erat kaitannya dengan agama dan kehidupan relijius masyarakat Hindu. Dimana Keduanya telah memiliki akar sejarah yang demikian panjang dan mencerminkan konfigurasi ekspresif dengan dominasi nilai dan filosofi relijius. Dalam konfigurasi tersebut tertuang aspek berupa esensi keagamaan, pola kehidupan, lembaga kemasyarakatan, maupun kesenian yang ada didalam masyarakat Bali. Namun Pada kenyataan dalam kehidupan sehari-hari jalinan antara agama Hindu dan kebudayaan Bali telah menjadi panduan bagi sikap dan perilaku orang Bali. Dengan orang Bali membentuk suatu keyakinan tersebut, kebudayaan itu merupakan blue-print yang telah menjadi kompas dalam perjalanan hidupnya karena kebudayaan itu dijadikan pedoman tingkah laku. Jalinan antara orang Bali dan alamnya melalui semangat religius dalam bingkai yadnya yang telah melahirkan harmoni kehidupan mengagumkan sehingga Bali layak dijadikan objek pemuas nafsu-selera manusia modern akan tetapi masa sekarang orang bali telah banyak mengaalami perubahan dimana jika di lihat dari hal kecil seperti Upacara pengabenan atau kremasi yang memiliki ritual khusus dalam memperlakukan leluhur atau sanak saudara yang telah meninggal kemudian menggunakan wadah namun pada sekarang wadah kebanyakan di ganti dengan jempana kemudian perjalanan menuju ke kuburan orang bali hindu dulu mengangkat (negen) wadah kemudian nututin dengan berjalan kaki tapi sekarang pengabenan menggunakan ambulan dan nututin tidak berjalan kaki melainkan menggunkan sepeda motor. maka untuk itu sebagai orang baki hindu haruslah melestarikan kebudayaan yang sudah ada sejak dahulu agar tidak punah pada era modern ini.
Nama : Ni Ketut Sriyani
ReplyDeleteNim : 12.01.1.1.1012
Semester : VI Eksekutif
1. Pengertian Budaya Orang Bali
Budaya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Bali berasal dari kata “Bal” dalam bahasa Sansekerta berarti “Kekuatan”, dan “Bali” berarti “Pengorbanan” yang berarti supaya kita tidak melupakan kekuatan kita. Supaya kita selalu siap untuk berkorban.
Budaya orang bali merupakan Adat istiadat pada masyarakat Bali hindu Yang sangat erat kaitannya dengan agama dan kehidupan relijius masyarakat Hindu. Dimana Keduanya telah memiliki akar sejarah yang demikian panjang dan mencerminkan konfigurasi ekspresif dengan dominasi nilai dan filosofi relijius. Dalam konfigurasi tersebut tertuang aspek berupa esensi keagamaan, pola kehidupan, lembaga kemasyarakatan, maupun kesenian yang ada didalam masyarakat Bali.
2. Kajian dan analisis dengan era kekinian
Bali pada zaman dahulu dan zaman sekarang kini adalah dualisme paradaok wajah bali. Wajah bali zaman dulu digambarkan penuh gairah dan pesona. Orang bali, alam, budaya, dan agamanaya dalam khazanah pariwisata lebih menjadi objek daripada subjek karena pertautan keempatnya semata-maa merupakan pariwisata bali. Kebudayaan bali yang diwarnai pernak pernik yadnya yang menawarkan keramahan orang bali khas bhakti dalam tatanan dan tuntutan santun sarat pesona melalui jalinan tattwa-susila-acara(hindu). Keterpaduan antara kelimpahan upacara kesenian dan pemandangan hijau menggambarkan ciri akais kebudaayn bali. Bali masa kini merupakan gambaran sebaliknya, dengan diwakili dua wajah pariwisata bali sekitar kawasan kuta, seminyak, legian kuta, sanur, badung dan denpasar. Coreng moreng iklan dan reklame menghiasi ruang-ruang publik, ekpresi manusia jalanan dalam carut marut lalu lintas jalan raya, pojok-pojok remang-remang pertaman kota, adu nasib lewat ayam-ayam jago, adu takdir melalui nomor-nomor gelap, tawar-menawar harga diri sepanjang elap jalanan dan sudut-sudut kafe melengakapi gambaran buram wajah bali pada masa kini. Bali yang renta dalam semnagat keperkasaannya, lusuh dalam kegairahannya dan lesu dalam ketegarannya.
trims :)
Kadek Widiarini
ReplyDelete12.01.1.1.1009/Eksekutif Manajemen
Orang Bali, alam, kebudayaan, dan agamanya dalam khazanah pariwisata lebih merupakan objek daripada subjek karena pertautannya merupakan aset pariwisata Bali. Hal ini digambarkan oleh para antropolog Amerika Serikat (Picard, 2006:44), mereka menemukan di Bali sebuah pulau di mana budaya dan alam saling berpautan erat, tempat tinggal sebuah masyarakat mapan dan harmonis, yang secara berkala digairahkan oleh ritus-ritus yang amat mempesona. Alamnya menyajikan keindahan Bali dalam warna gaib tridatu dan kilauan sunset dewata nawa sanga yang menggetarkan rasa-agama-budhi. Kebudayaan Bali yang diwarnai pernik-pernik yadnya menawarkan keramahan orang Bali yang khas bhakti dalam tatanan dan tuntunan yang santun sarat pesona melalui jalinan tattwa-susila-acara (Hindu). Keterpaduan antara kelimpahan upacara, kesenian penduduknya, dan pemandangan yang begitu subur dan hijau, para penulis tahun 1930-an menggambarkan sebagai ciri arkais dari kebudayaan Bali (Picard, 2006:46). Bagi Mead dan Bateson (dalam Picard, 2006:44), melimpahnya kegiatan ritual dan seni orang Bali itu patut dilihat sebagai suatu gejala yang harus dibahas dalam kerangka psikologis kulturalis. Di mata mereka kebudayaan Bali menjadi semacam sistem pengatur dorongan-dorongan naluri yang menimbulkan sejenis skizofrenia kultural. Pada kenyataan dalam pengalaman empiris kehidupan sehari-hari jalinan antara agama Hindu dan kebudayaan Bali telah menjadi panduan bagi sikap dan perilaku orang Bali (Geriya, 2000; Triguna, 2002 dan 2004; dan Wesnawa, 2002). Dengannya orang Bali membentuk suatu keyakinan, kebudayaan itu merupakan blue-print yang telah menjadi kompas dalam perjalanan hidupnya karena kebudayaan itu dijadikan pedoman tingkah laku.
Pemahaman kebudayaan seperti tersebut sejalan dengan konsep kebudayaan yang dijelaskan Geertz (Abdullah, 2006:1), kebudayaan itu merupakan pola dari pengertian-pengertian atau makna-makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol dan ditrasmisikan secara historis. Pada bagian selanjutnya, juga dikatakan bahwa kebudayaan merupakan sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk simbolik yang dengan cara ini manusia dapat berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikapnya terhadap kehidupan. Pengertian kebudayaan seperti ini dalam terminologi Abdullah (2006:9) disebut kebudayaan generik, kebudayaan merupakan pedoman yang diturunkan. Pengertian kebudayaan seperti ini menempatkan kebudayaan sebagai sistem simbol yang dibatasi wilayah dan masyarakat pendukungnya dan pada gilirannya harus berhadapan dengan dunia yang semakin terintegrasi.
LANJUTAN --->>>
ReplyDeleteDalam dunia yang semakin terintegrasi dalam tatanan global menyebabkan batas-batas kebudayaan menjadi mencair akibat arus orang, barang, informasi, ide-ide, dan nilai-nilai yang semakin lancar, padat, dan intensif. Arus keluar-masuk orang dari dan ke Bali telah menyebabkan sifat-sifat orang Bali mengalami perubahan, tidak lagi seperti bentuk aslinya, walaupun perubahan itu bisa jadi bermakna suatu kemajuan dalam bidang kebudayaan (Abdullah, 2006:3). Mengenai perubahan sifat-sifat orang Bali Triguna (2002 dan 2004) menegaskan bahwa karakter orang Bali telah mengalami perubahan secara signifikan. Orang Bali tidak lagi diidentifikasi sebagai orang yang lugu, sabar, ramah, dan jujur sebagaimana pernah digambarkan Bateson. Orang Bali tidak lagi dikatagorikan sebagai komunitas eksklusif, melainkan orang Bali telah dipersepsikan oleh outsiders sebagai orang yang temperamental, egoistik, sensitif, dan cenderung menjadi human ekonomikus. Perubahan ini mendorong terjadinya perbedaan-perbedaan, baik pada dimensi sosial maupun kebudayaan orang Bali yang dalam pandangan Bourdieu perbedaan-perbedaan itu juga disebabkan oleh beragamnya pilihan informasi yang disalurkan melalui berbagai media. Ini merupakan kekuatan yang paling nyata dari masyarakat modern yang telah membentuk ideologi yang paling mendasar, yakni perbedaan. Ini berarti globalisasi telah melahirkan suatu jenis ideologi yang menjadi dasar dari pembentukan, pelestarian, dan perubahan masyarakat yang bertumpu pada proses identitas diri dan pembentukan perbedaan antara orang (Abdullah, 2006:109).
Sejalan dengan perkembangan informasi dan komunikasi unsur-unsur kebudayaan Bali pun bukan hanya mengalami penyesuaian, tetapi juga dengan mudah ditemukan di berbagai tempat di luar batas-batas geografis kebudayaan Bali. Sebaliknya, unsur-unsur kebudayaan Indonesia yang lain, bahkan unsur-unsur kebudayaan dunia dapat ditemukan dalam bentuk-bentuk ekspresi simbolik tertentu di Bali (Abdullah, 2006:3). Kebudayaan dengan mudah dinegosiasikan dalam keseluruhan interaksi sosial yang dalam terminologi Abadullah (2006:5) disebut kebudayaan diferensial. Kebudayaan bukan suatu warisan yang turun-temurun dibagi bersama atau dipraktikkan secara kolektif, tetapi kebudayaan lebih bersifat situasional yang keberadaannya tergantung pada karakter kekuasaan dan hubungan-hubungan yang berubah-ubah dari waktu ke waktu (Abdullah, 2006:10; Harisson, 2006:132). Dalam rangka pembentukan kebudayaan diferensial inilah setting pariwisata berpartisipasi memainkan perannya karena pariwisata sebagai budaya global (Ardika, 2006) memungkinkan terbukanya peluang pergaulan antaretnis dalam suasana persahabatan kebudayaan.
Trimakasih
Nama : Komang Ari Widiastuti
ReplyDeleteNim : 12.01.1.1.996
SMT 6 Reguler Sore
PENGERTIAN BUDAYA BALI
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Budaya Bali adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh masyarakat Bali dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan karya seni.
Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Budaya memiliki sifat yang tidak kekal, seiring perkembangan jaman suatu dapat berubah-ubah sesuai dengan pengaruh atau atau kemajuan ilmu dan teknologi.
LANJUTAN -->>
ReplyDeleteA. Budaya Bali yang Sudah Hilang
Adapun budaya Bali yang telah menghilang, antara lain sebagai berikut.
1. Desain bangunan
Desain rumah masyarakat Bali seperti gambar diatas terlihat bahwa bentuk rumah yang sangat sederhana. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembutan rumah juga sangat sederhana. Bahan-bahan yang digunakan anatara lain tanah yang ditumpuk-tumpuk sehingga berwujud tembok dan atap rumahnya menggunakan rumput lalang atau daun kelapa. Tradisi rumah ini mulai ditinggalkan saat ada pengaruh dari luar dan pengaruh jaman dan teknologi seperti sekarang ini. Saat ini masyarakat khususnya di Bali menganggap bangunan seperti itu sudah "ketinggalan jaman". Masyarakat seolah-olah berlomba membuat bangunan rumah senyaman mungkin. Mengenai tata ruang bangunanpun saat ini sudah tidak diperhatikan lagi. Masyarakan sekreatif mungkin membuat bangunan yang menarik tanpa memperhatikan tata ruang yang biasa dibuat oleh masyarakat jaman dulu.
2. Busana/Pakaian Masyarakat Bali
Jaman dahulu, masyarakat Bali memiliki Budaya berbusana . Hampir semua masyarakat bali hanya memakai busana pada bagian bawah saja, yaitu dari perut sampai ke kaki. Busana tersebut berbahan kain yang di pakai dan diikat dengan sebuah selendang sehingga berbentuk kamben. Sedangkan bagian atas, bisanya masyarakat Bali jarang menggunakan pakaian sehingga tubuh bagian atas tetap telanjang. Seiring kemajuan jaman dan teknologi, budaya berbusana ini ditinggalkan oleh masyarakat Bali. Saat ini masyarakat Bali sudah memakai busana tertutup, artinya masyarakat sudah memakai busana lengkap, baik bagian atas maupun bawah.
3. Transportasi Gedebeg
Alat transportasi gedebeg merupakan sarana transportasi yang dimiliki oleh masyarakat Bali pada jaman dulu. Alat transportasi ini berbentuk gerobak, yang terbuat dari kayu yang dipergunakan untuk mengangkut barang, terbuat dari kayu yang berbentuk rumah kecil dan tenaga yang digunakan sebagai penarik transportasi ini adalah seekor kerbau. alat transportasi ini biasanya digunakan untuk mengankut hasil pertanian atau barang dagangan yang akan dibawa ke pasar. Seiring perkembanggan jaman dan teknologi alat transportasi ini sudah ditinggalkan karena kurang evisiensi waktu.
Budaya Bali yang Sudah Rapuh
ReplyDeleteBudaya Bali yang merapuh adalah budaya milik masyarakat Bali yang keberadaannya mulai ditinggalkan oleh masyarakat bali.
1. Subak di Bali
Subak Bali diputuskan menjadi Warisan Dunia oleh UNESCO pada Jumat, 29 Juni 2012. Akademisi Pertanian I Wayan Windia merupakan salah satu anggota komite yang mendorong adanya pengakuan sistem irigasi subak dari Bali. Subak dapat memertahankan nilai asli budaya masyarakat Bali dan tradisi kuno subak perlu dilestarikan. Subak tidak hanya berfungsi sebagai sistem irigasi, tapi juga merupakan bagian dari keyakinan rohani. Pengakuan dari UNESCO dapat mendorong pemerintah dan petani lokal untuk tetap menjaga dan memertahankan subak.
Ironisnya, setiap tahun sekira 1.000 hektare lahan pertanian di Bali telah diubah menjadi hotel dan rumah. Karena itu, perlu adanya perlindungan khusus dari pihak internasional agar subak tidak hilang begitu saja. Pariwisata di Bali sebenarnya bisa mengancam kelestarian subak. Pasalnya, adanya pengembangan wisata di sekitar subak membuat harga properti di sekitarnya naik sehingga petani harus membayar pajak mahal. Tradisi yang selama ini hidup dikhawatirkan juga hilang yaitu contohnya di Gunung Sari yang setiap tahunnya dilaksanakan ritual panen. Petani akan berkumpul untuk berdoa meminta keselamatan dan hasil panen yang baik. Bila Subak hilang, budaya Bali juga akan hilang. Subak sangat penting karena merupakan dasar dari budaya Bali.
2. Permainan Tradisional Bali
Permainan Tradisional Bali sekarang jarang bisa kita temukan apalagi di daerah perkotaan, perkembangan tekhnologi yang pesat hampir menenggelamkan mereka. Ada puluhan bahkan ratusa permainan tradisional yang ada, orang tua juga seolah-olah tidak memperhatikan dan cenderung tidak mampu mengarahkan anak-anak mereka dalam melakukan permainan yang memang ternyata cukup susah, karena permainan tradisional lebih menonjolkan permainan berkelompok yang membutuhkan kekompakan dan kebersamaan dan secara tidak langsung mendidik anak itu lebih bisa mengenal lingkungannya yang majemuk, bergaul dengan tidak memandang status sosial dan kebersamaanya, kesetiakawanan dengan suasana ceria di lingkungan mereka.
Banyak permainan tradisional yang ada di Bali seperti; meong-meongan, megoak-goakana, metajog, nyen durine nyongkok, engkeb–engkeban, main gangsing, main tajog. Dengan perkembangan iptek yang pesat, anak-anak cenderung menggunakan tekhnologi yang ada seperti video games yang bisa dimainkan dari handphone, play station dan melalui internet. Mereka sepertinya lebih asik bermain alat tersebut, tidak lagi berinteraksi dengan lingkungan dengan teman sesamanya. Mereka hanya terfokus untuk menang mengumpat kalau kalah. Anak-anak sampai kecanduan dan tidak fokus belajar, apalagi permainan yang menggunakan handphone yang katanya ada ‘radiasi‘ yang bisa mempengaruhi sel-sel tubuh dan perkembangan otak, ini tentunya akan sangat berbahaya bagi perkembangan anak. Peran aktif orang tua sangat dibutuhkan dalam mengarahkan dan membimbing mereka.
3. Alat pembajak sawah
Keunikan Budaya Bali dan Pesatnya Pariwisata Bali kita tidak bisa terlepas dari sebuah dunia yang disebut Pertanian Bali. Pertanian di bali memiliki pertalian yang erat antara Budaya, Agama, Alam Bali dan Pariwisata di Bali. “metekap” adalah istilah orang Bali dalam membajak sawah mereka, peralatan tradisional yang mereka pakai terdiri dari "UGA" ditaruh pada leher kedua ekor sapi yang kemudian di ikat pada "TENGALA" dan "LAMPIT" yang berfungsi untuk membajak sawah.
Seiring perkembangan jaman dan teknologi kegiatan “matekap” sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat Bali, karena dengan kemajuan teknologi yang menghasilkan alat pembajak sawah yang disebut dengan “Traktor” telah menggantikan alat-alat tradisional Bali. Dengan “traktor” pekerjaan membajak sawah menjadi lebih mudah dan cepat. Dengan adanya alat moderen inilah masyarakat menjadi lebih dimannjakan, dan mulai meninggalkan budaya “matekap”.
. Budaya Bali yang Bertahan
ReplyDeleteSelain budaya yang menghilang dan merapuh, Bali juga masih memiliki budaya yang tetap bertahan hingga saat ini, antara lain sebagai berikut.
1. Upacara Pengabenan
Pulau Bali yang juga dikenal sebagai “Pulau Seribu Pura” memiliki ritual khusus dalam memperlakukan leluhur atau sanak saudara yang telah meninggal. Apabila di tempat lain orang yang meninggal umumnya dikubur, tidak demikian dengan masyarakat Hindu di Bali. Sebagaimana penganut Hindu di India, mereka akan menyelenggarakan upacara kremasi yang disebut Ngaben, yaitu ritual pembakaran mayat sebagai simbol penyucian roh orang yang meninggal.
Tradisi budaya ngaben ini merupakan warisan leluhur masyarakat Bali dan diteruskan secara turun temurun ke anak cucunya. Upacara pengabenan ini juga menjadi salah satu penarik wisatawan di Bali karena keunikan dan keseniannya.
2. Ogoh-ogoh
Ogoh-ogoh merupakan karya seni patung dalam kebudayaan Bali. Budaya Ogoh-ogoh ini tetap bertahan hingga saat ini. Ogoh-ogoh ini kebudayaan yang menggambarkan kepribadian “Bhuta Kala” dan sudah menjadi ikon ritual yang secara tradisi sangat penting dalam penyambutan Hari Raya Nyepi atau Tahun Baru Saka. Seluruh umat Hindu Dharma akan bersukaria menyambut kehadiran tahun baru itu dengan mengarak-arakan “ogoh-ogoh” yang dibarengi dengan perenungan tentang yang telah terjadi dan sudah dilakukan selama ini pada saat “Pangerupukan” atau sehari setelah menjelang Hari Raya Nyepi, peristiwa dan prosesinya setiap tahunnya sama yaitu pada setiap banjar membuat ogoh-ogoh.
Mengingat pentingnya Budaya ogoh-ogoh ini, sampai sekarang masih tetap bertahan dan lestari. Disamping itu dengan keberadaan arak-arakan “Ogoh-ogoh” yang sudah menjadi tradisi inilah yang menambah daya tarik wisata. Balipun memiliki budaya yang menjadi salah satu andalan kepariwisataan.
Ni Luh Kusuma Wardani
ReplyDelete12.01.1.1.999
Semester 6 Reg. Sore
Berdasarkan Artikel di atas, maka saya menanggapinya dengan mengambil salah satu contoh yaitu adanya Kasta yang ada di Bali.
SISTEM KASTA DI BALI DAN PERKEMBANGANNYA
Sistem Kasta Bali adalah suatu sistem organisasi sosial yang mirip dengan sistem kasta India. Kemiripan ini bisa terjadi karena kedua sistem ini berasal dari akar yang sama, yaitu kekeliruan dalam penerapan sistem Warna yang bersumber dari Veda. Akan tetapi, sistem kasta India jauh lebih rumit daripada Bali, dan hanya ada empat kasta dalam sistem kasta Bali. Kasta merupakan sesuatu yang tampak sebagai bagian yang identik dengan tradisi atau kultur budaya masyarakat Bali, dan bahkan tampak dekat dengan ajaran Hindu. Sehingga begitu identiknya sering disebut Hindu mengenal sistem kasta sebagai bagian dari ajarannya.
Konon, kasta mulai kental di Bali pada zaman penjajahan Belanda, karena dengan membuat sistem kasta kental, maka penjajah dapat membuat jarak pemisah antara raja dan rakyatnya, sehingga mudah diadu domba dalam politik devide et impera pihak kolonial.
Timbulnya istilah kasta dalam masyarakat Hindu adalah karena adanya proses sosial (perkembangan masyarakat) yang mengaburkan pengertian warna. Pengaburan pengertian warna ini melahirkan tradisi kasta yang membagi tingkatan seseorang di masyarakat berdasarkan kelahiran dan status keluarganya. Istilah "kasta" tidak diatur di dalam kitab suci Weda. Kata "Kasta" itu sendiri dalam bahasa Sanskerta berarti "kayu".
Pembagian kasta yang mengikuti sistem kasta di India, yaitu Brahmāna, Kşatriya, Waisya, dan Sudra. Selain itu, Bali juga mengenal istilah jaba atau "luar", yaitu orang-orang yang berada di luar keempat kasta tersebut.
Di dalam masyarakat Hindu dikenal adanya sistem warna,yaitu suatu sistem pengelompokan masyarakat berdasarkan profesi yang ditekuni, bakat dan keahlian yang dikuasai. Pada perkembangannya, sistem warna dari agama Hindu ini sering diselewengkan oleh penguasa penguasa feodal dan pengikut pengikutnya untuk melanggengkan pengaruh politisnya dimasyarakat. Sistem warna yang merupakan pengelompokan orang berdasarkan tugas dan kewajiban yang dijalankan di dalam kehidupan bermasyarakat berubah menjadi tingkatan-tingkatan yang membedakan derajat seseorang berdasarkan keturunan. Ide dasar dari sistem ini, yaitu pengelompokan masyarakat berdasarkan profesi dan keahlian, sering atau bahkan terabaikan sama sekali. Tingkatan-tingkatan kelas inilah yang kemudian disebut dengan kasta. Kasta itu dibuat dan dikemas sesuai dengan garis keturunan Patrinial, diantaranya:
1. Kasta brahmana merupakan kasta yang memiliki kedudukan tertinggi, dalam generasi kasta brahmana ini biasanya akan selalu ada yang menjalankan kependetaan. Dalam pelaksanaanya seseorang yang berasal dari kasta brahmana yang telah menjadi seorang pendeta akan memiliki sisya, dimana sisya-sisya inilah yang akan memperhatikan kesejahteraan dari pendeta tersebut, dan dalam pelaksanaan upacara-upacara keagamaan yang dilaksanakan oleh anggota sisya tersebut dan bersifat upacara besar akan selalu menghadirkan pendeta tersebut untuk muput upacara tersebut. Dari segi nama seseorang akan diketahui bahwa dia berasal dari golongan kasta brahmana, biasanya seseorang yang berasal dari keturunan kasta brahmana ini akan memiliki nama depan “Ida Bagus untuk anak laki-laki, Ida Ayu untuk anak perempuan, ataupun hanya menggunakan kata Ida untuk anak laki-laki maupun perempuan”. Dan untuk sebutan tempat tinggalnya disebut dengan "Griya".
LANJUTAN,,,,,,,
ReplyDelete2. Kasta Ksatriya merupakan kasta yang memiliki posisi yang sangat penting dalam pemerintahan dan politik tradisional di Bali, karena orang-orang yang berasal dari kasta ini merupakan keturuna dari Raja-raja di Bali pada zaman kerajaan. Namun sampai saat ini kekuatan hegemoninya masih cukup kuat, sehingga terkadang beberapa desa masih merasa abdi dari keturunan Raja tersebut. Dari segi nama yang berasal dari keturunan kasta ksariya ini akan menggunakan nama “Anak Agung, Dewa Agung, Tjokorda, dan ada juga yang menggunakan nama Dewa”. Dan untuk nama tempat tinggalnya disebut dengan "Puri". Sedangkan Masyarakat yang berasal dari keturunan abdi-abdi kepercayaan Raja, prajurit utama kerajaan, namun terkadang ada juga yang merupakan keluarga Puri yang ditempatkan diwilayah lain dan diposisikan agak rendah dari keturunan asalnya karena melakukan kesalahan sehingga statusnya diturunkan. Dari segi nama kasta ini menggunakan nama seperti I Gusti Agung, I Gusti Bagus, I Gusti Ayu, ataupun I Gusti. Dimana untuk penyebutan tempat tinggalnya disebut dengan "Jero".
3. Kasta Sudra (Jaba) merupakan kasta yang mayoritas di Bali, namun memiliki kedudukan sosial yang paling rendah, dimana masyarakat yang berasal dari kasta ini harus berbicara dengan Sor Singgih Basa dengan orang yang berasal dari kasta yang lebih tinggi atau yang disebut dengan Tri Wangsa - Brahmana, Ksatria dan Ksatria (yang dianggap Waisya). Sampai saat ini masyarakat yang berasal dari kasta ini masih menjadi parekan dari golongan Tri Wangsa. Dari segi nama warga masyarakat dari kasta Sudra akan menggunakan nama seperti berikut : Wayan, Made, Nyoman dan Ketut. Dan dalam penamaan rumah dari kasta ini disebut dengan "umah".
KASTA DALAM PERNIKAHAN
Kasta juga sangat sering menjadi pro dan kontra, terutama dalam masalah pernikahan. Pada jaman dulu, masyarakat Bali tidak diperbolehkan menikah dengan kasta yang berbeda, layaknya pernikahan beda agama dalam Islam. Seiring perkembangan jaman, aturan tersebut seharusnya sudah tidak berlaku lagi. Namun sebagian penduduk Bali masih ada yang mempermasalahkan pernikahan beda kasta.
Pernikahan dengan kasta yg berbeda dibolehkan dengan syarat kasta yang perempuan harus mengikuti yg laki-laki. Jika kasta perempuan dari kasta yg tinggi, menikah dng kasta yg lebih rendah, maka kasta si perempuan akan turun mengikuti suaminya. Begitu juga sebaliknya, Karena di Bali laki-lakilah yg menjadi ahli waris dari generasi sebelumnya.
LANJUTAN,,,,,
ReplyDeletePernikahan beda kasta sendiri ada dua macam, yaitu :
Kasta istri lebih rendah dari kasta suami. Pernikahan beda kasta ini-lah yang sudah sering terjadi di Bali. Pernikahan semacam ini biasanya memberikan kebanggan tersendiri bagi keluarga perempuan, karena putri mereka berhasil mendapatkan pria dari kasta yang lebih tinggi. Dan secara otomatis kasta sang istri juga akan naik mengikuti kasta suami. Tetapi, sang istri harus siap mendapatkan perlakuan yang tidak sejajar oleh keluarga suami. Saat upacara pernikahan, biasanya batenan untuk mempelai wanita diletakan terpisah, atau dibawah. Bahkan dibeberapa daerah, sang istri harus rela melayani para ipar dan keluarga suami yang memiliki kasta lebih tinggi. Walaupun jaman sekarang hal tersebut sudah jarang dilakukan, tapi masih ada beberapa orang yang masih kental kasta-nya menegakan prinsip tersebut demi menjaga kedudukan kasta-nya.
Kasta istri tinggi dari kasta suami. Pernikahan beda kasta seperti ini sangat dihindari oleh penduduk Bali. Karena pihak perempuan biasanya tidak akan mengijinkan putri mereka menikah dengan lelaki yang memiliki kasta lebih rendah. Maka dari itu, biasanya pernikahan ini terjadi secara sembunyi-sembunyi atau biasa disebut sebagai "ngemaling" atau kawin lari sebagai alternatifnya. Kemudian, perempuan yang menikahi laki-laki yang berkasta lebih rendah akan mengalami turun kasta mengikuti kasta suaminya, yang disebut sebagai "nyerod". Menurut kabar, sebagian besar penduduk bali lebih menyukai dan lebih dapat menerima laki-laki yang bukan orang Bali sebagai menantu, dari pada menikah dengan laki-laki berkasta lebih rendah, dan mengalami penurunan kasta.
Sampai saat ini umat Hindu di Indonesia khususnya di Bali masih mengalami polemik. Hal ini menyebabkan ketidaksetaraan status sosial diantara masyarakat Hindu. Masalah ini muncul karena pengetahuan dan pemahaman yang dangkal tentang ajaran Agama Hindu dan Kitab Suci Weda yang merupakan pedoman yang paling ampuh bagi umat Hindu agar menjadi manusia yang beradab yaitu memiliki kemampuan bergerak (bayu), bersuara (sabda) dan berpikir (idep). Akan tetapi seiring berkembangnya zaman, Kasta di Bali tidak terlalu diperhitungkan. Karena jika masyarakat Bali masih fanatik terhadap Kasta, maka perpecahan tidak akan bisa dihindari.
SEKIAN DAN TERIMA KASIH.
Nama : Gusti Agung Ayu Priti Matalia
ReplyDeleteNim : 13.01.1.1.192
Kelas : Eksekutif
Beberapa Perubahan Paling Drastis Dalam Masyarakat Bali Dulu dan Kini
Arus perubahan tidak bisa dihindari. Seperti masyarakat di daerah lain, Bali juga mengalami perubahan, dan itu terjadi sudah sejak dahulu. Hanya saja, perubahan masyarakat Bali beberapa tahun belakangan ini tergolong drastis.
Dahulu, Bali tergolong pulau agraris dimana sebagian besar masyarakatnya bertani dan berkebun. Lalu berubah menjadi pariwisata. Beberapa tahun belakangan ini, tidak lagi sekedar pariwisata, sudah bergeser menjadi multi-profesi dan multi-aktivitas.
Ada 2 faktor utama yang mendorong terjadinya perubahan drastis di Bali, belakangan ini, yaitu:
• Pengaruh Global; dan
• Pengaruh Nasional
Di kancah dunia, Bali tergolong salah satu tujuan wisata favorit, sejak dahulu. Disamping keindahan panorama dan kelestarian budayanya, Bali juga terkenal dengan masyarakatnya yang rata-rata kreatif dan memiliki talenta seni mulai dari seni tari, seni tabuh, lukis, pahat (ukir dan patung) hingga seni tattoo tubuh. Lengkap.
Saat ini, sudah banyak wisatawan yang tidak sekedar tertarik untuk menikmati indahnya Danau Batur atau melihat-lihat Gallery di Ubud, melainkan juga ingin menikmati kedamaian, bermukim dan menetap di Bali, sembari mengubah kreativitas masyarakat Bali yang dahulunya hanya sebatas berkesenian menjadi aktivitas bisnis.
Hubungan masyarakat Bali dengan masyarakat global saat ini tidak lagi sekedar ‘guide-dan-turis’ atau ‘seniman-dan-penikmat seni’, melainkan sudah berubah menjadi hubungan antara ‘bawahan-dan-atasan’ atau ‘pedagang-dan-pelanggan’ atau ‘pebisnis-dan-partner bisnis’. Tak sedikit juga yang berupa hubungan ‘pasien-dan-dokter’ atau ‘fotografer-dan-model’ atau ‘murid-dan-guru’, bahkan ‘tetangga-dan-tetangga ekspatriat’.
Perubahan frekwensi dan intensitas hubungan antara masyarakat Bali dan masyarakat global (baca: orang asing) yang kian meningkat, tidak sekedar melahirkan orang bule yang ‘ke Bali-Balian’dalam jumlah relative sedikit, melainkan juga melahirkan orang Bali ‘ke bule-bule an’ yang justru lebih banyak.
Sebagai bagian dari Indonesia, Bali juga mendapat pengaruh dari perubahan-perubahan yang terjadi di tingkat nasional—teknologi, komunikasi, ekonomi, politik hingga budaya. Perubahan dari era pemerintahan Soeharto (orde baru) ke era pemerintahan pasca-Soeharto (reformasi) misalnya, membawa pengaruh kuat bagi kehidupan sosial dan politik di Bali, yang pada akhirnya mendorong terjadinya perubahan dalam berbagai aspek.
Begitu banyak perubahan dalam masyarakat Bali belakangan ini. Ada perubahan yang menurut sebagian orang bisa jadi positive, ada juga yang negative. Ada perubahan yang menurut sebagian orang bisa jadi baik, ada juga yang tidak baik.
Pop Bali merangkum perubahan-perubahan tersebut, per 2013 ini, menjadi sepuluh perubahan yang paling drastis sehingga sangat terasa, dan layak untuk dicatat.
Inilah “Beberapa Perubahan Paling Drastis Dalam Masyarakat Bali Per 2013”
1. Perubahan Aktivitas dan Etos Kerja
Dalam era dimana sebagian besar masyarakat berstatus petani, etos kerja masyarakat Bali mungkin terlihat lamban dan cenderung santai. Tentu saja, karena aktivitas bertani memang tidak bisa diburu-buru, semua memakai hitungan masa (misalnya: padi baru bisa dipanen setelah berusia 3 bulan, tidak bisa dipercepat).
lanjutan 1....
ReplyDeleteBanyaknya waktu luang inilah yang membuat masyarakat Bali, di era itu, selalu punya waktu untuk aktivitas-aktivitas berkesenian dan melestarikan budaya (misalnya: mekekawin, megeguritan, megenjekan, megambel, menari, main arja, ngerindik, meniup seruling, membaca lontar, dlsb). Sehingga bagi orang di luar Bali, etos kerja masayarakt Bali pada saat itu dianggap santai.
Etos kerja masyarakat Bali saat ini sudah berubah drastis, menjadi super sibuk, “time-is-money” kata mereka. Perubahan ini tentu terjadi akibat perubahan mata pencaharian yang begitu drastis dan ledakan angkatan kerja yang mengakibatkan kempetisi menjadi begitu ketat. Libur sehari untuk menengok upacara keluarga misalnya, jatah antrean nyupir di halaman hotel sudah diambil-alih orang lain. Tutup kantor sekali, pelanggan sudah marah-marah.
Sehingga, hampir sudah tidak ada waktu lagi untuk ‘menyama-braya’. Melihat orang bertegur sapa di jalanan, saat ini, adalah kejadian langka, ajaib, atau malah dipandang aneh (“terlalu basa-basi, lebian tutur,” kata mereka), kecuali di desa-desa yang jauh di kaki bukit sana.
2. Perubahan Nama
Mungkin bisa diperdebatkan. Tetapi ini fakta bahwa perubahan penggunaan nama di kalangan masyarakat Bali, dewasa ini, tergolong drastis.
Generasi yang lahir sebelum tahun 70an masih banyak yang menggunakan nama yang menurut masyarakat di luar Bali, unik. Disebut unik karena benar-benar hanya ada di Bali. Misalnya: I Wayan Konten, I Made Simpen, I Gede Dokar, Ni Luh Pujut, Anak Agung Gede Raka, I Putu Danu, AA Putu Keramas, Ni Nyoman Ceraki.
Di Era 70-80, penamaan anak sudah mulai bergeser ke nasional, meniru nama artis ibu kota atau tokoh publik: I Gede Doni (aktor Doni Damara), I Kadek Toni (artis Toni Koeswoyo), Anak Agung Jhoni (aktor Jhoni Indo), Ida Ayu Mariana (artis Dina Mariana), I Putu Deni, I Kadek Edi, Putu Gede Budianto, dan lain sebagainya.
Sekarang, perubahan penamaan anak sangat drastis. Ada 2 trend yang paling menonjol menurut Pop Bali, yaitu:
• nama yang mengarah ke ‘kebarat-baratan’ (mereka menyebutnya “international name”); atau
• nama yang ‘ke-india-indiaan‘ (konon “kembali ke Hindu murni yang berpusat di India”)
Yang mungkin menjadi aneh bagi masyarakat di luar Bali terutama yang pernah tinggal lama di Bali adalah adanya kecenderungan untuk tidak menggunakan “I” atau “Ni” di depan nama, sehingga namanya menjadi: Made Joddie Sijatmika, Luh Cyntia Nugraha, Ayu Michelle Arianta, Putu Ambrose Kusuma, atau Nyoman Sri Siva Kemala Devi, Ida Bagus Krishna Aditama, Anak Agung Istri Vedayanti Uttari.
Yang tak kalah menariknya, dahulu banyak orang tua yang dipanggil dengan menggunakan nama si kecil (anaknya), misalnya: I Gede Batur yang punya anak perempuan Ni Ronji dipanggil “Pan Ronji”, dan istrinya dipanggil “Men Ronji”.
Sekarang kebalikannya; nama Ayah atau keluarga besar (biasanya yang paling terkenal) yang dijadikan nama belakang oleh si anak, atau nama suami yang dijadikan nama belakang oleh si Istri layaknya ‘family name’ dalam budaya barat. Misalnya: Ayu Michelle Arianta di atas adalah puterinya yang terhormat bapak anggota dewan I Putu Arianta, SSos, MM. Dahulu Bali tidak mengenal istilah “nama keluarga (besar)”, sekarang kenal.
Ciri khas nama orang Bali, kini, nyaris tak berbekas kecuali Putu, Wayan, Made, Nyoman, Nengah, dan Ketut yang masih digunakan, itupun tanpa “I” atau “Ni” di depannya. Konon, menurut pendapat sebagian orang, “supaya kelak si anak siap menyongsong era globalisasi.” Semoga.
lanjutan2...
ReplyDelete3. Perubahan Bahasa
Sepuluh tahun lalu kita masih sering mendengar percakapan, di warung-warung atau terminal, yang menggunakan bahasa Bali murni tanpa dicampur dengan bahas lain. Saat ini, sulit ditemukan. Satu-satunya wilayah dimana bahasa Bali cukup sering digunakan hanya di desa-desa, itupun sudah bercampur-campur, sejak siaran sinetron TV nasional mulai merambah hingga ke pelosok-pelosok. Sebagian besar masyarakat Bali sudah lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia.
Beruntung karena sampai saat ini sekolah masih mengajarkan bahasa Bali, meskipun dalam porsi waktu yang sangat minimal.
Disamping masalah efektifitas (berbahasa Bali konon “ribet”), banyak juga yang beralasan bahwa menggunakan bahasa Indonesia bisa meminimalkan kesalahan dalam menggunakan bahasa ‘sor-madia-singgih’.
4. Perubahan Busana
Dahulu, yang namanya ‘kamen’ (kain) adalah pakaian sehari-hari. Saat ini kamen hanya digunakan dalam acar-acara tertentu seperti: persembahyangan atau upacara dan upakara adat. Selebihnya, pria dan wanita Bali sudah seperti layaknya pria dan wanita modern—memakai celana panjang atau pendek.
Dahulu, pakaian adat Bali menggunakan pakem tertentu, setiap detail pakaian mengandung makna simbolis. Sekarang, pakaian pengantin pria Bali misalnya, sudah sulit dibedakan dengan pakaian adat Sumtera yang menggunakan ‘Baju Bodo’ atau boleronya Aziz Gagap di acara OVJ. Sudah jauh dari pakem aslinya.
Perubahan ini, tentu tak lepas dari proses industrilisasi secara umum—dimana makin cepat perubahan, makin pendek siklus, makin tinggi permintaan, makin banyak yang bisa diproduksi, makin banyak uang mengalir ke dalam rekening.
5. Perubahan Makanan dan Minuman
Selera makan orang Bali juga sudah banyak mengalami perubahan. Makanan khas Bali biasanya pedas, banyak merica dan rempah. Sekarang sudah tidak ada bedanya dengan masakan jawa atau padang, cenderung manis atau sedang. Itupun belum cukup bagi masyarakat Bali saat ini; dagang bakso dan soto selalu lebih ramai dibandingkan dagang nasi lawar atau siobak Buleleng. Ini jelas representasi dari pergeseran selera makanan.
Yang namanya ‘berem’, sudah langka. Selera minum orang Bali saat ini adalah beer atau wine. Dahulu orang Bali tak kenal yang namanya ‘kebab turki’ atau ‘sashimi’. Sekarang, gerai makanan cepat saji seperti ini telah menjamur dan selalu dipadati oleh masyarakat Bali.
6. Perubahan Gaya Hidup dan Pergaulan
Mata pencaharian dan profesi yang berubah juga berakibat pada perubahan gaya hidup. Aktivitas dan kehidupan masyarakat Bali di jaman dahulu yang lebih banyak berada di sekitar desa dan balai banjar kini sudah jauh bergeser.
Atu Aji, Gung Aji dan Pak De yang dahulu selalu punya waktu untuk mekekawin di balai Banjar, kini sudah lebih sering nongkrong di “Kudeta” atau “Blue Eyes”—untuk entertain relasi bisnis. Pak Wayan, Pak Made dan Pak Ketut yang dahulu sering main Arja sekarang sudah sibuk seminar ini-itu dan sosialiasi ini-itu, untuk menggalang simpati, suara dan dukungan pileg dan pilkada.
Atu Biyang dan Bik I Luh yang dahulu sering terlihat ‘nyait tamas’, kini lebih sering pergi ke pusat-pusat perbelanjaan, butiq atau SPA. Gus Tu, Gung De dan Yan Ajus yang dahulu rajin megambel sekarang sudah lebih sering track-trackan di lapangan Renon atau balapa mobil gelap di Bypass Ngurah Rai ala film “Fast and Furious”.
lanjutan3...
ReplyDelete7. Perubahan Orientasi dan Pola Pikir
Ledakan pertumbuhan penduduk ditambah transmigran dari luar pulau, membuat kompetisi hidup di Bali menjadi semakin ketat. Diantara masalah-masalah hidup lainnya, survivalitas kini telah menjadi perioritas utama. Masyarakat Balipun tidak terkecuali.
Orang Bali dahulu, yang dikagumi oleh orang barat, menempatkan norma di atas segalanya, apa-apa menggunakan ukuran normatif, mereka memegang prinsip “lek” (malu, nggak enak), bahkan untuk mengambil sesuatu yang menjadi haknya sekalipun. Itu sebabnya orang asing senang dan percaya sepenuhnya dengan orang Bali. Bukan karena orang asingnya pelit atau memanfaatkan sifat pemalunya orang Bali jaman dahulu, melainkan karena sangat menghargai pola pikir dan orientasi orang Bali yang jauh dari ketamakan.
Orang Bali yang sekarang, cenderung pragmatis; kalau sudah urusan uang/harta tak ada istilah “lek”. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana para pedagang acung, di daerah wisata, yang kerap setengah memaksa turis untuk membeli barang dagangannya. Ada juga kasus dimana orang Bali yang dipercaya mengelola perusahaan oleh orang asing, mengambil-alih perusahaan tersebut karena namanya dipakai di dalam akte perusahaan. Contoh lainnya adalah penjualan barang-barang pusaka warisan leluhur, pencurian ‘pretima’, dan lain sebagainya.
Ada pergeseran pola pikir dan orientasi yang sangat drastis di Bali. Yang namanya ‘saling asah-asih-dan-asuh’, saat ini, hanya bisa di temukan di lontar-lontar atau acara ‘dharma wacana’ (kotbah), sulit kita temukan dalam pelaksanaan sehari-hari.
Ajakan “Lan dum pada mebedik” (=meskipun sedikit ayo kita bagi bersama) sudah kian jarang terdengar. Individualitis mendominasi kebersamaan. Keuntungan diri sendiri dan kelompok adalah segalanya. ‘Pang kuala untung’ (=yang penting untung), ‘pang kuala maan pis’ (yang penting dapat uang), ‘pang kuala menang’ (=yang penting menang), akhirnya ‘pang kuala misi kenehe’ (=yang penting segala ambisi keturutan).
Apa-apa yang penting untung. Apa-apa yang penting uang. Ketidaksanggupan ‘ngayah’ (gotong royong) misalnya, sekarang sudah bisa diganti dengan ‘dosa’ dalam bentuk uang, yang penting ‘nu maan susuk’ (=masih dapat selisih antara penghasilan dengan bayar denda). Kesibukan berupacara dan berupakara, saat ini, tidak harus mengundang banjar, sudah bisa digantikan oleh event organizer dan catering—yang penting punya uang.
Entah disadari atau tidak, kekaguman dan kepercayaan orang asing terhadap kesederhanaan pola pikir dan orientasi orang Bali saat ini, sudah jauh merosot dibandingkan dahulu. Dahulu, banyak orang asing yang mengadopsi orang Bali untuk dijadikan anak atau saudara, bahka sampai mewariskan harta bendanya. Sekarang? Jarang atau mungkin memang sudah tidak pernah ada lagi.
8. Perubahan Etika
Seiring dengan gaya hidup, orientasi, dan pola pikir, etikapun mengalami perubahan yang cukup drastis baik dari ucapan maupun perilaku.
Figur seorang ‘guru’ (rupaka, pengajian dan wisesa) dahulu adalah sosok yang sangat dihormati di Bali, di dengarkan wejangan dan arahannya, dimanapun berada. Saat ini, sudah nyaris tanpa batas.
Guru Rupaka (ayah dan ibu) hanya terhormat bila mampu membelikan berbagai fasilitas yang diinginkan oleh anak. Guru Pengajian (guru sekolah) hanya disegani di lingkungan sekolah, di luar sekolah sudah tidak dianggap siapa-siapa. Guru Wisesa (pemerintah) hanya dihormati saat masih pegang stempel institusi menjabat. Begitu tidak berkuasa, sudah tidak dihormati lagi.
Tentu degradasi etika ini bukan salah generasi muda semata. Bagaimanapun juga mereka banyak mencontoh perilaku sang guru. Anak-anak menjadi tidak mendengar ucapan orang tua karena acapkali ucapan ayah dan ibu tidak bisa dipegang, plin-plan dan membuat
lanjutan4..
ReplyDeletepengecualian-pengecualian untuk kenyamanan diri sendiri. Kebutuhan akan kehangatan orang tua digantikan dengan benda mati. Otonan sudah digantikan dengan hadiah pesta ulang tahun di cafe, mobil dan ticket berlibur.
Murid menjadi tak segan di luar sekolah karena para guru menempatkan anak didik bukan sebagai anak asuh, melainkan sebagai pelanggan yang membayar uang sekolah dalam jumlah tinggi.
9. Perubahan Agama
Bukan hanya bagian luar, perubahan drastis juga terjadi hingga ke bagian dalam, yaitu: agama.
Di kalangan orang Bali sendiri banyak yang mengkhawatirkan kemungkinan perubahan status Bali sebagai “pulau seribu Pura” sebentar lagi tinggal kenangan.
Ada 2 perubahan, dalam hal agama yang dianut oleh orang Bali, yang menonjol belakangan ini, yaitu:
• Pertama, munculnya perbedaan sekte-sekte diantara penganut Hindu sendiri, yang kian tajam belakangan ini. Dahulu nyaris tak ada perbedaan sekte-sekte, yang ada hanya “Hindu Bali”. Kesadaran masyarakat Bali untuk konon “kembali ke Hindu murni” yang berpusat di India, justru menimbulkan sekte-sekte. Bahkan konon ada yang sampai tidak ‘mesebelan’ (berdukacita) ketika ada anggota keluarga beda sekte meninggal.
• Kedua, adanya konversi orang Bali yang semula penganut Hindu ke non-Hindu yang juga massif terjadi di Bali. Konversi yang paling menonjol adalah dari Hindu ke Katolik dan Kristen. Konversi dari Hindu ke Islam pun belakangan ini juga kian meningkat—terutama melalui proses pernikahan.
Dahulu, bagi mereka yang ada di luar Bali, setiap orang yang menggunakan nama I Putu, I Gusti, Anak Agung, atau Ida Bagus, Ni Luh, Gusti Ayu, Agung Ayu, sudah pasti penganut Hindu. Saat ini? Belum tentu. Bali yang sekarang sudah sangat kompleks. Untuk melihat apa agama yang dianut oleh orang Bali masa kini, tidak cukup hanya mengetahui namanya, masih perlu melihat hal-hal lain, misalnya: apakah lengannya mengenakan benang ‘Tri Datu’ (gelang benang berwarna ‘merah-hitam-putih’)? Apakah pernah menggunakan ‘bija’ (bijih beras) di dahinya?
Itulah sepuluh perubahan paling drastis, dalam masyarakat Bali per 2013 ini, yang berhasil dirangkum dan dicatat oleh Pop Bali. Apakah itu perubahan positive atau negative? Apakah perlu dikoreksi atau tidak? Pop Bali hanya bisa membeberkan, anda pembaca (khususnya masyarakat Bali sendiri)-lah yang berhak menilai.
SELESAI..
Nama:Susi Suryani
ReplyDeleteNim :12.01.1.1.992
Smester:VI Manajemen Ekonomi (Reg. Sore)
1. Pengertian Budaya Orang Bali
Dalam setiap bangsa dipastikan memiliki adat dan kebudayaannya masing-masing. Untuk itu, mereka memiliki kewajiban untuk melestarikan dan mengimplementasikan segala adat dan kebudayaannya tersebut secara sungguh-sungguh. Demikian halnya dengan adat dan kebudayaan yang ada di Pulau Dewata Bali yang hingga kinipun masih dipegang teguh secara konsisten oleh masyarakatnya.Adat dan kebudayaan yang ada pada masyarakat Bali sangat erat kaitannya dengan agama dan kehidupan relijius masyarakat Hindu. Dalam konfigurasi tersebut tertuang aspek berupa esensi keagamaan, pola kehidupan, lembaga kemasyarakatan, maupun kesenian yang ada didalam masyarakatBali.
Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui adanya perbedaaan ( rwa bhineda ), yang sering ditentukan oleh faktor ruang ( desa ), waktu ( kala ) dan kondisi riil di lapangan ( patra ). Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh kebudayaan luar. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa komunikasi dan interaksi antara kebudayaan Bali dan budaya luar seperti India (Hindu), Cina, dan Barat khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan kreatifitas baru dalam seni rupa maupun seni pertunjukkan. Tema-tema dalam seni lukis, seni rupa dan seni pertunjukkan banyak dipengaruhi oleh budaya India. Demikian pula budaya Cina dan Barat/Eropa memberi nuansa batu pada produk seni di Bali. Kebudayaan Bali sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi mengenai hubungan manusia dengan Tuhan ( parhyangan ), hubungan sesama manusia ( pawongan ), dan hubungan manusia dengan lingkungan ( palemahan ), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan). Apabila manusia mampu menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis dengan ketiga aspek tersebut maka kesejahteraan akan terwujud.
Agama Bali
Mayoritas masyarakat Bali menganut ajaran Hindu yang mempunyai kerangka dasar dengan meliputi tiga hal; filsafat, upacara, dan Tata Susila. Secara hakikat ajaran Bindu merupakan Panca Cradha yang memiliki arti lima keyakinan yakni Widhi Cradha ialah keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa, Atma Cradha ialah keyakinan akan adanya atman atau jiwa pada setiap makhluk, Karma Pala Cradha ialah keyakinan terhadap hukum perbuatan, Punarbhawa Cradha adalah keyakinan terhadap adanya reinkarnasi atau kelahiran kembali setelah kematian, Moksa Cradha adalah keyakinan terhadap moksa yaitu kebahagiaan yang kekal abadi.
Pola Kehidupan Masyarakat
ola kehidupan masyarakat Bali sangat rigid dan terikat pada norma-norma baik agama maupun sosial. Dalam konteks norma agama misalnya, setiap pemeluk Hindu Bali wajib untuk melaksanakan sembahyang atau pemujaan pada pura tertentu diwajibkan pada satu tempat tinggal bersama dalam komunitas, dalam kepemilikan tanah pertanian diwajibkan dalam satu subak tertentu, diwajibkan dalam status sosial berdasarkan warna, pada ikatan kekerabatan diwajibkan menurut prinsip patrilineal.
Pola Pemukiman
Struktur pemukiman masyarakat Bali dapat dibedakan dalam dua jenis yaitu pemukiman pola kosentris seperti yang terjadi pada masyarakat Bali yang tinggal di pegunungan dan pemukiman menyebar seperti yang terjadi pada masyarakat Bali yang berada di dataran rendah. Pada pola kosentris, desa adat yang menjadi titik sentral. Sedangkan pada pola menyebar, desa terbagi-bagi kedalam satu kesatuan wilayah yang lebih kecil yang disebut Banjar.
Nama:Susi Suryani
ReplyDeleteNim :12.01.1.1.992
Smester:VI Manajemen Ekonomi (Reg. Sore)
2. Analisis Budaya Bali Dulu Dan Kini
Jaman ipidan jaman jukut jepang,
Bajang-bajange liunan mekepang,
Jamane jani jaman jukut plecing,
Bajang-bajange gaya merebonding,
Hehehe... ini lirik lagu yang memperlihatkan budaya bali dulu dan kini. Lanjut ke tugas...
Arus perubahan tidak bisa dihindari. Seperti masyarakat di daerah lain, Bali juga mengalami perubahan, dan itu terjadi sudah sejak dahulu. Hanya saja, perubahan masyarakat Bali beberapa tahun belakangan ini tergolong drastis.
Dahulu, Bali tergolong pulau agraris dimana sebagian besar masyarakatnya bertani dan berkebun. Lalu berubah menjadi pariwisata. Beberapa tahun belakangan ini, tidak lagi sekedar pariwisata, sudah bergeser menjadi multi-profesi dan multi-aktivitas.Ada 2 faktor utama yang mendorong terjadinya perubahan drastis di Bali, belakangan ini, yaitu:
• Pengaruh global; dan
• Pengaruh nasional
Di kancah dunia, Bali tergolong salah satu tujuan wisata favorit, sejak dahulu. Disamping keindahan panorama dan kelestarian budayanya, Bali juga terkenal dengan masyarakatnya yang rata-rata kreatif dan memiliki talenta seni—mulai dari seni tari, seni tabuh, lukis, pahat (ukir dan patung) hingga seni tattoo tubuh. Lengkap.
Saat ini, sudah banyak wisatawan yang tidak sekedar tertarik untuk menikmati indahnya Danau Batur atau melihat-lihat Gallery di Ubud, melainkan juga ingin menikmati kedamaian, bermukim dan menetap di Bali, sembari mengubah kreativitas masyarakat Bali—yang dahulunya hanya sebatas berkesenian—menjadi aktivitas bisnis.
Hubungan masyarakat Bali dengan masyarakat global saat ini tidak lagi sekedar ‘guide-dan-turis’ atau ‘seniman-dan-penikmat seni’, melainkan sudah berubah menjadi hubungan antara ‘bawahan-dan-atasan’ atau ‘pedagang-dan-pelanggan’ atau ‘pebisnis-dan-partner bisnis’. Tak sedikit juga yang berupa hubungan ‘pasien-dan-dokter’ atau ‘fotografer-dan-model’ atau ‘murid-dan-guru’, bahkan ‘tetangga-dan-tetangga ekspatriat’.
Perubahan frekwensi dan intensitas hubungan antara masyarakat Bali dan masyarakat global (baca: orang asing) yang kian meningkat, tidak sekedar melahirkan orang bule yang ‘ke-Bali-Balian’—dalam jumlah relative sedikit, melainkan juga melahirkan orang Bali ‘ke-bule-bule-an’ yang justru lebih banyak.
Sebagai bagian dari Indonesia, Bali juga mendapat pengaruh dari perubahan-perubahan yang terjadi di tingkat nasional—teknologi, komunikasi, ekonomi, politik hingga budaya. Perubahan dari era pemerintahan Soeharto (orde baru) ke era pemerintahan pasca-Soeharto (reformasi) misalnya, membawa pengaruh kuat bagi kehidupan sosial dan politik di Bali, yang pada akhirnya mendorong terjadinya perubahan dalam berbagai aspek.
Begitu banyak perubahan dalam masyarakat Bali belakangan ini. Ada perubahan yang menurut sebagian orang bisa jadi positive, ada juga yang negative. Ada perubahan yang menurut sebagian orang bisa jadi baik, ada juga yang tidak baik.
Berikut beberapa perubahan-perubahan yang paling drastis sehingga sangat terasa, dan layak untuk dicatat :
1. Perubahan Mata Pencaharian
Sebelum era 70an, mata pencaharian masyarakat Bali lebih banyak sebagai petani dan sebagian kecilnya pedagang. Di era 80an, mata pencaharian mulai bergeser ke pegawai pariwisata (pegawai hotel, travel, guide, sopir travel, dlsb) dan pengerajin. Belakangan ini, berbagai macam profesi di jalani oleh masyarakat Bali; mulai dari pedagang HP hingga pedagang narkoba, mulai dari pengusaha hotel hingga pengusaha café remang-remang, mulai dari calo tanah sampai calo perkara, mulai dari moderator talk show sampai key speaker seminar, mulai dari tukang parkir sampai tukang tagih (debt-collector). Silahkan periksa status pekerjaan yang tercantum di KTP, berapa orang yang masih mencantumkan “petani”? Hanya ada di desa-desa sana, itupun mungkin jumlahnya sudah sangat sedikit.
Nama:Susi Suryani
ReplyDeleteNim :12.01.1.1.992
Smester:VI Manajemen Ekonomi (Reg. Sore)
2. Perubahan Nama
Mungkin bisa diperdebatkan. Tetapi ini fakta bahwa perubahan penggunaan nama di kalangan masyarakat Bali, dewasa ini, tergolong drastis.
Generasi yang lahir sebelum tahun 70an masih banyak yang menggunakan nama yang menurut masyarakat di luar Bali, unik. Disebut unik karena benar-benar hanya ada di Bali. Misalnya: I Wayan Konten, I Made Simpen, I Gede Dokar, Ni Luh Pujut, Anak Agung Gede Raka, I Putu Danu, AA Putu Keramas, Ni Nyoman Ceraki.
Di Era 70-80, penamaan anak sudah mulai bergeser ke nasional, meniru nama artis ibu kota atau tokoh publik: I Gede Doni (aktor Doni Damara), I Kadek Toni (artis Toni Koeswoyo), Anak Agung Jhoni (aktor Jhoni Indo), Ida Ayu Mariana (artis Dina Mariana), I Putu Deni, I Kadek Edi, Putu Gede Budianto, dan lain sebagainya.
Sekarang, perubahan penamaan anak sangat drastis. Ada 2 trend yang paling menonjol menurut Pop Bali, yaitu:
• nama yang mengarah ke ‘kebarat-baratan’ (mereka menyebutnya “international name”); atau
• nama yang ‘ke-india-indiaan‘ (konon “kembali ke Hindu murni yang berpusat di India”)
Yang mungkin menjadi aneh bagi masyarakat di luar Bali—terutama yang pernah tinggal lama di Bali—adalah adanya kecenderungan untuk tidak menggunakan “I” atau “Ni” di depan nama, sehingga namanya menjadi: Made Joddie Sijatmika, Luh Cyntia Nugraha, Ayu Michelle Arianta, Putu Ambrose Kusuma, atau Nyoman Sri Siva Kemala Devi, Ida Bagus Krishna Aditama, Anak Agung Istri Vedayanti Uttari.
Yang tak kalah menariknya, dahulu banyak orang tua yang dipanggil dengan menggunakan nama si kecil (anaknya), misalnya: I Gede Batur yang punya anak perempuan Ni Ronji dipanggil “Pan Ronji”, dan istrinya dipanggil “Men Ronji”.
Sekarang kebalikannya; nama Ayah atau keluarga besar (biasanya yang paling terkenal) yang dijadikan nama belakang oleh si anak, atau nama suami yang dijadikan nama belakang oleh si Istri—layaknya ‘family name’ dalam budaya barat. Misalnya: Ayu Michelle Arianta di atas adalah puterinya yang terhormat bapak anggota dewan I Putu Arianta, SSos, MM. Dahulu Bali tidak mengenal istilah “nama keluarga (besar)”, sekarang kenal.
Ciri khas nama orang Bali, kini, nyaris tak berbekas kecuali Putu, Wayan, Made, Nyoman, Nengah, dan Ketut yang masih digunakan, itupun tanpa “I” atau “Ni” di depannya. Konon, menurut pendapat sebagian orang, “supaya kelak si anak siap menyongsong era globalisasi.” Semoga.
3. Perubahan Busana
Dahulu, yang namanya ‘kamen’ (kain) adalah pakaian sehari-hari. Saat ini kamen hanya digunakan dalam acar-acara tertentu seperti: persembahyangan atau upacara dan upakara adat. Selebihnya, pria dan wanita Bali sudah seperti layaknya pria dan wanita modern—memakai celana panjang atau pendek.
Dahulu, pakaian adat Bali menggunakan pakem tertentu, setiap detail pakaian mengandung makna simbolis. Sekarang, pakaian pengantin pria Bali misalnya, sudah sulit dibedakan dengan pakaian adat Sumtera yang menggunakan ‘Baju Bodo’ atau boleronya Aziz Gagap di acara OVJ. Sudah jauh dari pakem aslinya.
Perubahan ini, tentu tak lepas dari proses industrilisasi secara umum—dimana makin cepat perubahan, makin pendek siklus, makin tinggi permintaan, makin banyak yang bisa diproduksi, makin banyak uang mengalir ke dalam rekening.
Nama:Susi Suryani
ReplyDeleteNim :12.01.1.1.992
Smester:VI Manajemen Ekonomi (Reg. Sore)
4. Perubahan Gaya Hidup dan Pergaulan
Mata pencaharian dan profesi yang berubah juga berakibat pada perubahan gaya hidup. Aktivitas dan kehidupan masyarakat Bali di jaman dahulu yang lebih banyak berada di sekitar desa dan balai banjar kini sudah jauh bergeser.
Atu Aji, Gung Aji dan Pak De yang dahulu selalu punya waktu untuk mekekawin di balai Banjar, kini sudah lebih sering nongkrong di “Kudeta” atau “Blue Eyes”—untuk entertain relasi bisnis. Pak Wayan, Pak Made dan Pak Ketut yang dahulu sering main Arja sekarang sudah sibuk seminar ini-itu dan sosialiasi ini-itu, untuk menggalang simpati, suara dan dukungan pileg dan pilkada.
Atu Biyang dan Bik I Luh yang dahulu sering terlihat ‘nyait tamas’, kini lebih sering pergi ke pusat-pusat perbelanjaan, butiq atau SPA. Gus Tu, Gung De dan Yan Ajus yang dahulu rajin megambel sekarang sudah lebih sering track-trackan di lapangan Renon atau balapa mobil gelap di Bypass Ngurah Rai ala film “Fast and Furious”.
5. Perubahan Aktivitas dan Etos Kerja
Dalam era dimana sebagian besar masyarakat berstatus petani, etos kerja masyarakat Bali mungkin terlihat lamban dan cenderung santai. Tentu saja, karena aktivitas bertani memang tidak bisa diburu-buru, semua memakai hitungan masa (misalnya: padi baru bisa dipanen setelah berusia 3 bulan, tidak bisa dipercepat).
Banyaknya waktu luang inilah yang membuat masyarakat Bali, di era itu, selalu punya waktu untuk aktivitas-aktivitas berkesenian dan melestarikan budaya (misalnya: mekekawin, megeguritan, megenjekan, megambel, menari, main arja, ngerindik, meniup seruling, membaca lontar, dlsb). Sehingga bagi orang di luar Bali, etos kerja masayarakt Bali pada saat itu dianggap santai.
Etos kerja masyarakat Bali saat ini sudah berubah drastis, menjadi super sibuk, “time-is-money” kata mereka. Perubahan ini tentu terjadi akibat perubahan mata pencaharian yang begitu drastis dan ledakan angkatan kerja yang mengakibatkan kempetisi menjadi begitu ketat. Libur sehari untuk menengok upacara keluarga misalnya, jatah antrean nyupir di halaman hotel sudah diambil-alih orang lain. Tutup kantor sekali, pelanggan sudah marah-marah.
Sehingga, hampir sudah tidak ada waktu lagi untuk ‘menyama-braya’. Melihat orang bertegur sapa di jalanan, saat ini, adalah kejadian langka, ajaib, atau malah dipandang aneh (“terlalu basa-basi, lebian tutur,” kata mereka), kecuali di desa-desa yang jauh di kaki bukit sana.
Sekian dan terimakasih
Nama : Putu Aristya Purnama Astri
ReplyDeleteNim :12.01.1.1.978
Smester:VI Manajemen Ekonomi (Reg. Sore)
Pengertian Budaya orang Bali
Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui adanya perbedaaan ( rwa bhineda ), yang sering ditentukan oleh faktor ruang ( desa ), waktu ( kala ) dan kondisi riil di lapangan ( patra ). Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh kebudayaan luar. Kebudayaan Bali sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi mengenai hubungan manusia dengan Tuhan ( parhyangan ), hubungan sesama manusia ( pawongan ), dan hubungan manusia dengan lingkungan ( palemahan ), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan). Apabila manusia mampu menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis dengan ketiga aspek tersebut maka kesejahteraan akan terwujud.
Selain nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi, dalam kebudayaan Bali juga dikenal adanya konsep tri semaya yakni persepsi orang Bali terhadap waktu. Menurut orang Bali masa lalu ( athita ), masa kini ( anaghata ) dan masa yang akan datang ( warthamana ) merupakan suatu rangkaian waktu yang tidak dapt dipisahkan satu dengan lainnya.
Perubahan Paling Drastis Dalam Masyarakat Bali :
1. Desain bangunan
Desain rumah masyarakat Bali seperti gambar diatas terlihat bahwa bentuk rumah yang sangat sederhana. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembutan rumah juga sangat sederhana. Bahan-bahan yang digunakan anatara lain tanah yang ditumpuk-tumpuk sehingga berwujud tembok dan atap rumahnya menggunakan rumput lalang atau daun kelapa. Tradisi rumah ini mulai ditinggalkan saat ada pengaruh dari luar dan pengaruh jaman dan teknologi seperti sekarang ini. Saat ini masyarakat khususnya di Bali menganggap bangunan seperti itu sudah "ketinggalan jaman". Masyarakat seolah-olah berlomba membuat bangunan rumah senyaman mungkin. Mengenai tata ruang bangunanpun saat ini sudah tidak diperhatikan lagi. Masyarakan sekreatif mungkin membuat bangunan yang menarik tanpa memperhatikan tata ruang yang biasa dibuat oleh masyarakat jaman dulu.
2. Busana/Pakaian Masyarakat Bali
Jaman dahulu, masyarakat Bali memiliki Budaya berbusana . Hampir semua masyarakat bali hanya memakai busana pada bagian bawah saja, yaitu dari perut sampai ke kaki. Busana tersebut berbahan kain yang di pakai dan diikat dengan sebuah selendang sehingga berbentuk kamben. Sedangkan bagian atas, bisanya masyarakat Bali jarang menggunakan pakaian sehingga tubuh bagian atas tetap telanjang. Seiring kemajuan jaman dan teknologi, budaya berbusana ini ditinggalkan oleh masyarakat Bali. Saat ini masyarakat Bali sudah memakai busana tertutup, artinya masyarakat sudah memakai busana lengkap, baik bagian atas maupun bawah.
3. Transportasi Gedebeg
Alat transportasi gedebeg merupakan sarana transportasi yang dimiliki oleh masyarakat Bali pada jaman dulu. Alat transportasi ini berbentuk gerobak, yang terbuat dari kayu yang dipergunakan untuk mengangkut barang, terbuat dari kayu yang berbentuk rumah kecil dan tenaga yang digunakan sebagai penarik transportasi ini adalah seekor kerbau. alat transportasi ini biasanya digunakan untuk mengankut hasil pertanian atau barang dagangan yang akan dibawa ke pasar. Seiring perkembanggan jaman dan teknologi alat transportasi ini sudah ditinggalkan karena kurang evisiensi waktu.\
Nama : Putu Aristya Purnama Astri
ReplyDeleteNim :12.01.1.1.978
Smester:VI Manajemen Ekonomi (Reg. Sore)
Lanjutan...
2. Budaya Bali yang Sudah Rapuh
Budaya Bali yang merapuh adalah budaya milik masyarakat Bali yang keberadaannya mulai ditinggalkan oleh masyarakat bali.
1. Subak di Bali
Ironisnya, setiap tahun sekira 1.000 hektare lahan pertanian di Bali telah diubah menjadi hotel dan rumah. Karena itu, perlu adanya perlindungan khusus dari pihak internasional agar subak tidak hilang begitu saja. Pariwisata di Bali sebenarnya bisa mengancam kelestarian subak. Pasalnya, adanya pengembangan wisata di sekitar subak membuat harga properti di sekitarnya naik sehingga petani harus membayar pajak mahal. Tradisi yang selama ini hidup dikhawatirkan juga hilang yaitu contohnya di Gunung Sari yang setiap tahunnya dilaksanakan ritual panen. Petani akan berkumpul untuk berdoa meminta keselamatan dan hasil panen yang baik. Bila Subak hilang, budaya Bali juga akan hilang. Subak sangat penting karena merupakan dasar dari budaya Bali.
2. Permainan Tradisional Bali
Banyak permainan tradisional yang ada di Bali seperti; meong-meongan, megoak-goakana, metajog, nyen durine nyongkok, engkeb–engkeban, main gangsing, main tajog. Dengan perkembangan iptek yang pesat, anak-anak cenderung menggunakan tekhnologi yang ada seperti video games yang bisa dimainkan dari handphone, play station dan melalui internet. Mereka sepertinya lebih asik bermain alat tersebut, tidak lagi berinteraksi dengan lingkungan dengan teman sesamanya. Mereka hanya terfokus untuk menang mengumpat kalau kalah. Anak-anak sampai kecanduan dan tidak fokus belajar, apalagi permainan yang menggunakan handphone yang katanya ada ‘radiasi‘ yang bisa mempengaruhi sel-sel tubuh dan perkembangan otak, ini tentunya akan sangat berbahaya bagi perkembangan anak. Peran aktif orang tua sangat dibutuhkan dalam mengarahkan dan membimbing mereka
3. Alat pembajak sawah
Keunikan Budaya Bali dan Pesatnya Pariwisata Bali kita tidak bisa terlepas dari sebuah dunia yang disebut Pertanian Bali. Pertanian di bali memiliki pertalian yang erat antara Budaya, Agama, Alam Bali dan Pariwisata di Bali. “metekap” adalah istilah orang Bali dalam membajak sawah mereka, peralatan tradisional yang mereka pakai terdiri dari "UGA" ditaruh pada leher kedua ekor sapi yang kemudian di ikat pada "TENGALA" dan "LAMPIT" yang berfungsi untuk membajak sawah.
Seiring perkembangan jaman dan teknologi kegiatan “matekap” sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat Bali, karena dengan kemajuan teknologi yang menghasilkan alat pembajak sawah yang disebut dengan “Traktor” telah menggantikan alat-alat tradisional Bali. Dengan “traktor” pekerjaan membajak sawah menjadi lebih mudah dan cepat. Dengan adanya alat moderen inilah masyarakat menjadi lebih dimannjakan, dan mulai meninggalkan budaya “matekap”.
Selain budaya yang menghilang dan merapuh, Bali juga masih memiliki budaya yang tetap bertahan hingga saat ini, antara lain sebagai berikut.
1. Upacara Pengabenan
Sebagaimana penganut Hindu di India, mereka akan menyelenggarakan upacara kremasi yang disebut Ngaben, yaitu ritual pembakaran mayat sebagai simbol penyucian roh orang yang meninggal.
Tradisi budaya ngaben ini merupakan warisan leluhur masyarakat Bali dan diteruskan secara turun temurun ke anak cucunya. Upacara pengabenan ini juga menjadi salah satu penarik wisatawan di Bali karena keunikan dan keseniannya.
2. Ogoh-ogoh
Mengingat pentingnya Budaya ogoh-ogoh ini, sampai sekarang masih tetap bertahan dan lestari. Disamping itu dengan keberadaan arak-arakan “Ogoh-ogoh” yang sudah menjadi tradisi inilah yang menambah daya tarik wisata. Balipun memiliki budaya yang menjadi salah satu andalan kepariwisataan
NAMA : LUH PUTU EKA DEWI PARAMITHA
ReplyDeleteNIM : 13.01.1.1.245
AMPULEN
Jaman ipidan jaman jukut jepang,
Bajang-bajange liunan mekepang,
Jamane jani jaman jukut plecing,
Bajang-bajange gaya merebonding,
Hehehe... ini lirik lagu yang memperlihatkan budaya bali dulu dan kini. Lanjut ke tugas...
Arus perubahan tidak bisa dihindari. Seperti masyarakat di daerah lain, Bali juga mengalami perubahan, dan itu terjadi sudah sejak dahulu. Hanya saja, perubahan masyarakat Bali beberapa tahun belakangan ini tergolong drastis.
Dahulu, Bali tergolong pulau agraris dimana sebagian besar masyarakatnya bertani dan berkebun. Lalu berubah menjadi pariwisata. Beberapa tahun belakangan ini, tidak lagi sekedar pariwisata, sudah bergeser menjadi multi-profesi dan multi-aktivitas.Ada 2 faktor utama yang mendorong terjadinya perubahan drastis di Bali, belakangan ini, yaitu:
• Pengaruh global; dan
• Pengaruh nasional
Di kancah dunia, Bali tergolong salah satu tujuan wisata favorit, sejak dahulu. Disamping keindahan panorama dan kelestarian budayanya, Bali juga terkenal dengan masyarakatnya yang rata-rata kreatif dan memiliki talenta seni—mulai dari seni tari, seni tabuh, lukis, pahat (ukir dan patung) hingga seni tattoo tubuh. Lengkap.
Saat ini, sudah banyak wisatawan yang tidak sekedar tertarik untuk menikmati indahnya Danau Batur atau melihat-lihat Gallery di Ubud, melainkan juga ingin menikmati kedamaian, bermukim dan menetap di Bali, sembari mengubah kreativitas masyarakat Bali—yang dahulunya hanya sebatas berkesenian—menjadi aktivitas bisnis.
Hubungan masyarakat Bali dengan masyarakat global saat ini tidak lagi sekedar ‘guide-dan-turis’ atau ‘seniman-dan-penikmat seni’, melainkan sudah berubah menjadi hubungan antara ‘bawahan-dan-atasan’ atau ‘pedagang-dan-pelanggan’ atau ‘pebisnis-dan-partner bisnis’. Tak sedikit juga yang berupa hubungan ‘pasien-dan-dokter’ atau ‘fotografer-dan-model’ atau ‘murid-dan-guru’, bahkan ‘tetangga-dan-tetangga ekspatriat’.
Perubahan frekwensi dan intensitas hubungan antara masyarakat Bali dan masyarakat global (baca: orang asing) yang kian meningkat, tidak sekedar melahirkan orang bule yang ‘ke-Bali-Balian’—dalam jumlah relative sedikit, melainkan juga melahirkan orang Bali ‘ke-bule-bule-an’ yang justru lebih banyak.
Sebagai bagian dari Indonesia, Bali juga mendapat pengaruh dari perubahan-perubahan yang terjadi di tingkat nasional—teknologi, komunikasi, ekonomi, politik hingga budaya. Perubahan dari era pemerintahan Soeharto (orde baru) ke era pemerintahan pasca-Soeharto (reformasi) misalnya, membawa pengaruh kuat bagi kehidupan sosial dan politik di Bali, yang pada akhirnya mendorong terjadinya perubahan dalam berbagai aspek.
Begitu banyak perubahan dalam masyarakat Bali belakangan ini. Ada perubahan yang menurut sebagian orang bisa jadi positive, ada juga yang negative. Ada perubahan yang menurut sebagian orang bisa jadi baik, ada juga yang tidak baik.
Berikut beberapa perubahan-perubahan yang paling drastis sehingga sangat terasa, dan layak untuk dicatat :
1. Perubahan Mata Pencaharian
Sebelum era 70an, mata pencaharian masyarakat Bali lebih banyak sebagai petani dan sebagian kecilnya pedagang. Di era 80an, mata pencaharian mulai bergeser ke pegawai pariwisata (pegawai hotel, travel, guide, sopir travel, dlsb) dan pengerajin. Belakangan ini, berbagai macam profesi di jalani oleh masyarakat Bali; mulai dari pedagang HP hingga pedagang narkoba, mulai dari pengusaha hotel hingga pengusaha café remang-remang, mulai dari calo tanah sampai calo perkara, mulai dari moderator talk show sampai key speaker seminar, mulai dari tukang parkir sampai tukang tagih (debt-collector). Silahkan periksa status pekerjaan yang tercantum di KTP, berapa orang yang masih mencantumkan “petani”? Hanya ada di desa-desa sana, itupun mungkin jumlahnya sudah sangat sedikit
NAMA : ketut surini
ReplyDeleteNIM : 12.01.1.1.959
1.Pengertian Budaya Orang Bali
Dalam setiap bangsa dipastikan memiliki adat dan kebudayaannya masing-masing. Untuk itu, mereka memiliki kewajiban untuk melestarikan dan mengimplementasikan segala adat dan kebudayaannya tersebut secara sungguh-sungguh. Demikian halnya dengan adat dan kebudayaan yang ada di Pulau Dewata Bali yang hingga kinipun masih dipegang teguh secara konsisten oleh masyarakatnya.Adat dan kebudayaan yang ada pada masyarakat Bali sangat erat kaitannya dengan agama dan kehidupan relijius masyarakat Hindu. Dalam konfigurasi tersebut tertuang aspek berupa esensi keagamaan, pola kehidupan, lembaga kemasyarakatan, maupun kesenian yang ada didalam masyarakatBali.
Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui adanya perbedaaan ( rwa bhineda ), yang sering ditentukan oleh faktor ruang ( desa ), waktu ( kala ) dan kondisi riil di lapangan ( patra ). Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh kebudayaan luar. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa komunikasi dan interaksi antara kebudayaan Bali dan budaya luar seperti India (Hindu), Cina, dan Barat khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan kreatifitas baru dalam seni rupa maupun seni pertunjukkan. Tema-tema dalam seni lukis, seni rupa dan seni pertunjukkan banyak dipengaruhi oleh budaya India. Demikian pula budaya Cina dan Barat/Eropa memberi nuansa batu pada produk seni di Bali. Kebudayaan Bali sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi mengenai hubungan manusia dengan Tuhan ( parhyangan ), hubungan sesama manusia ( pawongan ), dan hubungan manusia dengan lingkungan ( palemahan ), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan). Apabila manusia mampu menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis dengan ketiga aspek tersebut maka kesejahteraan akan terwujud.
Agama Bali
Mayoritas masyarakat Bali menganut ajaran Hindu yang mempunyai kerangka dasar dengan meliputi tiga hal; filsafat, upacara, dan Tata Susila. Secara hakikat ajaran Bindu merupakan Panca Cradha yang memiliki arti lima keyakinan yakni Widhi Cradha ialah keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa, Atma Cradha ialah keyakinan akan adanya atman atau jiwa pada setiap makhluk, Karma Pala Cradha ialah keyakinan terhadap hukum perbuatan, Punarbhawa Cradha adalah keyakinan terhadap adanya reinkarnasi atau kelahiran kembali setelah kematian, Moksa Cradha adalah keyakinan terhadap moksa yaitu kebahagiaan yang kekal abadi.
Pola Kehidupan Masyarakat
ola kehidupan masyarakat Bali sangat rigid dan terikat pada norma-norma baik agama maupun sosial. Dalam konteks norma agama misalnya, setiap pemeluk Hindu Bali wajib untuk melaksanakan sembahyang atau pemujaan pada pura tertentu diwajibkan pada satu tempat tinggal bersama dalam komunitas, dalam kepemilikan tanah pertanian diwajibkan dalam satu subak tertentu, diwajibkan dalam status sosial berdasarkan warna, pada ikatan kekerabatan diwajibkan menurut prinsip patrilineal.
Pola Pemukiman
Struktur pemukiman masyarakat Bali dapat dibedakan dalam dua jenis yaitu pemukiman pola kosentris seperti yang terjadi pada masyarakat Bali yang tinggal di pegunungan dan pemukiman menyebar seperti yang terjadi pada masyarakat Bali yang berada di dataran rendah. Pada pola kosentris, desa adat yang menjadi titik sentral. Sedangkan pada pola menyebar, desa terbagi-bagi kedalam satu kesatuan wilayah yang lebih kecil yang disebut BanjaR.
NAMA: LUH JUNET ANGGA PUSPITA
ReplyDeleteNIM:12.01.1.1.957
SMT 6 REG SORE
1. Pengertian budaya orang bali
Kebudayaan Bali dilandasi dengan nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu, yang mengakui adanya perbedaan namun tetap menghargai satu sama lain meskipun memiliki perbedaan yang sering disebut dengan Desa Kala Patra, adat yang dilakukan sesuai dengan tradisi yang ada didaerahnya yang tidak melupakan jati diri masing-masing, hal tersebutla yang menyebabkan kebudayaan bali bersifat fleksibel karena menerima keudayaan yang berbeda dari luar.
Meskipun di bali dikenal dengan Desa Kala Patra Kebudayaan bali tetap menjungjung tinggi nilai-nilai saling menghargai seperti hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan tuhan.
Adapun contoh kebudayaan orang bali alam melakukan upacara pernikahan atau pawiwahan dengan rangkaian tahapan seperti:
a. upacara ngekeb yang bertujuan untuk mempersiapkan calon pengantin wanita dari kehidupan remaja menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga memohon doa restu kepada Tuhan Yang Maha Esa agar bersedia menurunkan kebahagiaan kepada pasangan ini serta nantinya mereka diberikan anugerah berupa keturunan yang baik.
b. Mungkah Lawang ( Buka Pintu ) biasanya terdapat pesan yang mengatakan jika pengantin pria telah datang menjemput pengantin wanita dan memohon agar segera dibukakan pintu.
c. Upacara Mesegehagung Sesampainya kedua pengantin di pekarangan rumah pengantin pria, keduanya turun dari tandu untuk bersiap melakukan upacara Mesegehagung yang tak lain bermakna sebagai ungkapan selamat datang kepada pengantin wanita. kemudian keduanya ditandu lagi menuju kamar pengantin. Ibu dari pengantin pria akan memasuki kamar tersebut dan mengatakan kepada pengantin wanita bahwa kain kuning yang menutupi tubuhnya akan segera dibuka untuk ditukarkan dengan uang kepeng satakan yang ditusuk dengan tali benang Bali dan biasanya berjumlah dua ratus kepeng
d. Madengen–dengen Upacara ini bertujuan untuk membersihkan diri atau mensucikan kedua pengantin dari energi negatif dalam diri keduanya.
e. Mewidhi Widana Acara ini merupakan penyempurnaan pernikahan adat bali untuk meningkatkan pembersihan diri pengantin yang telah dilakukan pada acara – acara sebelumnya. Selanjutnya, keduanya menuju merajan yaitu tempat pemujaan untuk berdoa mohon izin dan restu Yang Kuasa. Acara ini dipimpin oleh seorang pemangku merajan
f. mejauman Ngabe Tipat Bantal Acara ini dilakukan untuk memohon pamit kepada kedua orang tua serta sanak keluarga pengantin wanita, terutama kepada para leluhur, bahwa mulai saat itu pengantin wanita telah sah menjadi bagian dalam keluarga besar suaminya.
Kekerabatan
Adat menetap diBali sesudah menikah mempengaruhi pergaulan kekerabatan dalam suatu masyarakat. Ada macam 2 adat menetap yang sering berlaku diBali yaitu adat virilokal adalah adat yang membenarkan pengantin baru menetap disekitar pusat kediaman kaum kerabat suami,dan adat neolokal adalah adat yang menentukan pengantin baru tinggal sendiri ditempat kediaman yang baru. Di Bali ada 3 kelompok klen utama (triwangsa) yaitu: Brahmana sebagai pemimpin upacara, Ksatria yaitu : kelompok-klompok khusus seperti arya Kepakisan dan Jaba yaitu sebagai pemimpin keagamaan.
Kemasyarakatan
Desa, suatu kesatuan hidup komunitas masyarakat bali mencakup pada 2 pengertian yaitu: desa adat dan desa dinas (administratif). Keduanya merupakan suatu kesatuan wilayah dalam hubungannya dengan keagamaan atau pun adat istiadat, sedangkan desa dinas adalah kesatuan admistratif. Kegiatan desa adat terpusat pada bidang upacara adat dan keagamaan, sedangkan desa dinas terpusat pada bidang administrasi, pemerintahan dan pembangunan.
LANJUTAN...
ReplyDeleteKekerabatan
Adat menetap diBali sesudah menikah mempengaruhi pergaulan kekerabatan dalam suatu masyarakat. Ada macam 2 adat menetap yang sering berlaku diBali yaitu adat virilokal adalah adat yang membenarkan pengantin baru menetap disekitar pusat kediaman kaum kerabat suami,dan adat neolokal adalah adat yang menentukan pengantin baru tinggal sendiri ditempat kediaman yang baru. Di Bali ada 3 kelompok klen utama (triwangsa) yaitu: Brahmana sebagai pemimpin upacara, Ksatria yaitu : kelompok-klompok khusus seperti arya Kepakisan dan Jaba yaitu sebagai pemimpin keagamaan.
Kemasyarakatan
Desa, suatu kesatuan hidup komunitas masyarakat bali mencakup pada 2 pengertian yaitu: desa adat dan desa dinas (administratif). Keduanya merupakan suatu kesatuan wilayah dalam hubungannya dengan keagamaan atau pun adat istiadat, sedangkan desa dinas adalah kesatuan admistratif. Kegiatan desa adat terpusat pada bidang upacara adat dan keagamaan, sedangkan desa dinas terpusat pada bidang administrasi, pemerintahan dan pembangunan.
2. Budaya bali jaman dulu dan kini
Budaya Bali adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh masyarakat Bali dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan karya seni.
Bahasa juga merupakan budaya bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. manusia berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Budaya memiliki sifat yang tidak kekal, seiring perkembangan jaman suatu dapat berubah-ubah sesuai dengan pengaruh atau atau kemajuan ilmu dan teknologi.
Begitu pula dengan budaya yang terdapat dibali seiring dengan perkembangan jaman, budaya dibali sudah mulai menghilang adapun budaya bali yang telah menghilang diantaranya seperti;
a. Desain bangunan
Desain rumah masyarakat Bali dulu sangat sederhana. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembutan rumah juga sangat sederhana. Bahan-bahan yang digunakan anatara lain tanah yang ditumpuk-tumpuk sehingga berwujud tembok dan atap rumahnya menggunakan rumput lalang atau daun kelapa. Tradisi rumah ini mulai ditinggalkan saat ada pengaruh dari luar dan pengaruh jaman dan teknologi seperti sekarang ini. Saat ini masyarakat khususnya di Bali menganggap bangunan seperti itu sudah "ketinggalan jaman". Masyarakat seolah-olah berlomba membuat bangunan rumah senyaman mungkin. Mengenai tata ruang bangunanpun saat ini sudah tidak memperhatikan asta kosala kosali yang menjadi panutan sebagai tata letak ruangan.
b. Busana atau Pakaian
Jaman dahulu, masyarakat Bali hanya memakai busana pada bagian bawah saja, yaitu dari perut sampai ke kaki. Busana tersebut berbahan kain yang di pakai dan diikat dengan sebuah selendang sehingga berbentuk kamben. Sedangkan bagian atas, bisanya masyarakat Bali jarang menggunakan pakaian sehingga tubuh bagian atas tetap telanjang. Seiring kemajuan jaman dan teknologi, budaya berbusana ini ditinggalkan oleh masyarakat Bali. Saat ini masyarakat Bali sudah memakai busana tertutup, artinya masyarakat sudah memakai busana lengkap, baik bagian atas maupun bawah seperti celana jeans dan baju kaos maupun kemeja.
LANJUTAN...
ReplyDelete• Selain budaya sudah menghilang budaya bali juga terdapat budaya yang sudah mulai rapuh diantaranya seperti:
a. Permainan tradisional bali
Permainan Tradisional Bali sekarang jarang bisa kita temukan apalagi di daerah perkotaan, hal ini diakibatkan oleh perkembangan tekhnologi. Banyak permainan tradisional yang ada di Bali seperti; meong-meongan, megoak-goakan, engkeb -engkeban, main gangsing, main tajog. Dengan perkembangan iptek yang pesat, namun dengan perkembangan jaman di era sekarang orang-orang tidak lagi bermain dengan permainan tradisional melainkan lebih memilih untuk menggunakan tekhnologi yang ada seperti video games yang bisa dimainkan dari handphone, play station dan melalui internet.
b. Alat pembajak sawah
Pertanian di bali memiliki pertalian yang erat antara Budaya, Agama, Alam Bali dan Pariwisata di Bali. “metekap” adalah istilah orang Bali dalam membajak sawah mereka, peralatan tradisional yang mereka pakai terdiri dari "UGA" ditaruh pada leher kedua ekor sapi yang kemudian di ikat pada "TENGALA" dan "LAMPIT" yang berfungsi untuk membajak sawah. Seiring perkembangan jaman dan teknologi kegiatan “matekap” sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat Bali, karena dengan kemajuan teknologi yang menghasilkan alat pembajak sawah yang disebut dengan “Traktor” telah menggantikan alat-alat tradisional Bali. Dengan “traktor” pekerjaan membajak sawah menjadi lebih mudah dan cepat. Dengan adanya alat moderen inilah masyarakat menjadi lebih dimanjakan, dan mulai meninggalkan budaya “matekap”.
Selain memiliki budaya yang menghilang dan merapuh bali juga memiliki budaa yang tetap bertahan diantaranya seperti;
a. Upacara pengabenan
Pulau Bali yang juga dikenal sebagai “Pulau Seribu Pura” memiliki ritual khusus dalam memperlakukan leluhur atau sanak saudara yang telah meninggal. Apabila di tempat lain orang yang meninggal umumnya dikubur, tidak demikian dengan masyarakat Hindu di Bali. Yang menyelenggarakan upacara kremasi yang disebut Ngaben, yaitu ritual pembakaran mayat sebagai simbol penyucian roh orang yang meninggal. Tradisi budaya ngaben ini merupakan warisan leluhur masyarakat Bali dan diteruskan secara turun temurun ke anak cucunya. Upacara pengabenan ini juga menjadi salah satu penarik wisatawan di Bali karena keunikan dan keseniannya.
b. Ogoh-ogoh
Ogoh-ogoh merupakan karya seni patung dalam kebudayaan Bali. Ogoh-ogoh ini kebudayaan yang menggambarkan kepribadian “Bhuta Kala” dan sudah menjadi ikon ritual yang secara tradisi sangat penting dalam penyambutan Hari Raya Nyepi atau Tahun Baru Saka. Seluruh umat Hindu Dharma akan bersukaria menyambut kehadiran tahun baru itu dengan mengarak-arakan “ogoh-ogoh” yang dibarengi dengan perenungan tentang yang telah terjadi dan sudah dilakukan selama ini pada saat “Pangerupukan”atau sehari setelah menjelang Hari Raya Nyepi, peristiwa dan prosesinya setiap tahunnya sama yaitu pada setiap banjar membuat ogoh-ogoh.
c. Tradisi omed-omedan
Tradisi omed-omedan merupakan warisan nenek moyang sejak dulu dan dilakukan secara turun temurun. Dahulu, omed-omedan hanya dilakukan hanya dengan tarik-tarikan, perkembangan jaman yang pesat lalu berubah ada ciuman. Pada saat sedang berciuman, air diguyur agar peserta tidak kepanasan dan ciumannya tidak menjadi lebih lama. Tradisi omed-omedan ini, dilakukan oleh dua kelompok yakni muda dan mudi. Pemuda berdiri membentuk barisan ke belakang dan saling berpelukan pada pinggang orang yang di depan. Demikian pula dengan kelompok pemudi. Jumlahnya tidak dibatasi. Pada saat dikasih aba-aba maka kelompok dua kelompok ini saling tarik menarik ke belakang, bertumpuh pada kaki dengan lengan di pingggang. Orang yang mengambil posisi di depan harus mampu berjalan ke depan sementara yang lain menarik berlawanan ke belakang. Saat orang yang di depan berhasil maju ke depan bertemu, disaat itulah keduanya berpelukan dan berciuman.
NAMA : ketut surini
ReplyDeleteNIM : 12.01.1.1.959
lanjutan.
Begitu banyak perubahan dalam masyarakat Bali belakangan ini. Ada perubahan yang menurut sebagian orang bisa jadi positive, ada juga yang negative. Ada perubahan yang menurut sebagian orang bisa jadi baik, ada juga yang tidak baik.
10 Perubahan Paling Drastis Dalam Masyarakat Bali
1. Perubahan Mata Pencaharian
Sebelum era 70an, mata pencaharian masyarakat Bali lebih banyak sebagai petani dan sebagian kecilnya pedagang. Di era 80an, mata pencaharian mulai bergeser ke pegawai pariwisata (pegawai hotel, travel, guide, sopir travel, dlsb) dan pengerajin.
Belakangan ini, berbagai macam profesi di jalani oleh masyarakat Bali; mulai dari pedagang HP hingga pedagang narkoba, mulai dari pengusaha hotel hingga pengusaha café remang-remang, mulai dari calo tanah sampai calo perkara, mulai dari moderator talk show sampai key speaker seminar, mulai dari tukang parkir sampai tukang tagih (debt-collector).
Silahkan periksa status pekerjaan yang tercantum di KTP, berapa orang yang masih mencantumkan “petani”? Hanya ada di desa-desa sana, itupun mungkin jumlahnya sudah sangat sedikit.
2. Perubahan Aktivitas dan Etos Kerja
Dalam era dimana sebagian besar masyarakat berstatus petani, etos kerja masyarakat Bali mungkin terlihat lamban dan cenderung santai. Tentu saja, karena aktivitas bertani memang tidak bisa diburu-buru, semua memakai hitungan masa (misalnya: padi baru bisa dipanen setelah berusia 3 bulan, tidak bisa dipercepat)..
Etos kerja masyarakat Bali saat ini sudah berubah drastis, menjadi super sibuk, “time-is-money” kata mereka. Perubahan ini tentu terjadi akibat perubahan mata pencaharian yang begitu drastis dan ledakan angkatan kerja yang mengakibatkan kempetisi menjadi begitu ketat. Libur sehari untuk menengok upacara keluarga misalnya, jatah antrean nyupir di halaman hotel sudah diambil-alih orang lain. Tutup kantor sekali, pelanggan sudah marah-marah.
Sehingga, hampir sudah tidak ada waktu lagi untuk ‘menyama-braya’. Melihat orang bertegur sapa di jalanan, saat ini, adalah kejadian langka, ajaib, atau malah dipandang aneh (“terlalu basa-basi, lebian tutur,” kata mereka), kecuali di desa-desa yang jauh di kaki bukit sana.
Permainan Tradisional Bali sekarang jarang bisa kita temukan apalagi di daerah perkotaan, perkembangan tekhnologi yang pesat hampir menenggelamkan mereka. Ada puluhan bahkan ratusa permainan tradisional yang ada, orang tua juga seolah-olah tidak memperhatikan dan cenderung tidak mampu mengarahkan anak-anak mereka dalam melakukan permainan yang memang ternyata cukup susah, karena permainan tradisional lebih menonjolkan permainan berkelompok yang membutuhkan kekompakan dan kebersamaan dan secara tidak langsung mendidik anak itu lebih bisa mengenal lingkungannya yang majemuk, bergaul dengan tidak memandang status sosial dan kebersamaanya, kesetiakawanan dengan suasana ceria di lingkungan mereka.
perkembangan otak, ini tentunya akan sangat berbahaya bagi perkembangan anak. Peran aktif orang tua sangat dibutuhkan dalam mengarahkan dan membimbing mereka.
3. Perubahan Nama
Mungkin bisa diperdebatkan. Tetapi ini fakta bahwa perubahan penggunaan nama di kalangan masyarakat Bali, dewasa ini, tergolong drastis.
Generasi yang lahir sebelum tahun 70an masih banyak yang menggunakan nama yang menurut masyarakat di luar Bali, unik. Disebut unik karena benar-benar hanya ada di Bali. Misalnya: I Wayan Konten, I Made Simpen, I Gede Dokar, Ni Luh Pujut, Anak Agung Gede Raka, I Putu Danu, AA Putu Keramas, Ni Nyoman Ceraki.
Nama : Dwi Kurnia Kartika Lestari
ReplyDeleteNim : 12.01.1.1.989
Semester : 6
Reguler Sore
Hampir semua penduduk didunia ini pasti mengenal Bali dengan baik. Bali merupakan suatu pulau yang tidak dapat dipungkiri keunikannya dan keindahannya yang bersumber dari kebudayaan setempat berpadu dengan keindahan alamnya. Nama pulau ini mungkin bisa dikatakan jauh lebih masyur dibandingkan dengan nama Indonesia sendiri yang sebenarnya merupakan induk dari pulau ini.Keunikan dan keindahan Bali sudah tersebar sejak jaman nenek moyang. Hingga kini Bali masih memancarkan pesonanya, walau pancaran pesonanya kini jauh berbeda dengan pancaran pesona masa lampau. Dulu Bali terkenal dengan seni budayanya yang sakral dan keutuhan budaya leluhur yang masih ditanam sempurna dan diaplikasikan dalam norma kehidupannya. Lihat saja, sebagian besar warga Bali pedesaan masih menanamkan secara ketat budaya leluhurnya dengan sistem-sistem yang ada. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa kini budaya leluhur tersebut sudah mulai terkikis dengan kemoderenan jaman. Kebudayaan yang kental tersebut dianggap sebagai suatu aset yang bernilai jual yang berharga sehingga berdatanganlah para pelancong dari seluruh pelosok dunia. Lambat laun Bali semakin terkenal seperti kini. Namun keterkenalannya itu mulai merambah ke berbagai aspek, bukan hanya di budaya saja tetapi merambah ke aspek hiburan. Beragam fasilitas hiburan yang mengusung tema kebudayaan yang modern mulai merambah Bali sehingga jujugan para pelancong kini semakin bergeser kearah hiburan dan eksplorasi alam. Lihat saja, seminyak-kuta dan banyak lagi pesisir Bali kini menggeliat menjadi icon wisata di Bali.
Kawasan hiburan dan pusat perbelanjaan yang berupaya mengusung tema seni juga menjadi jujugan pelancong. Pelancong menjadi sangat konsumtif di Bali dan Balipun menggeliat dan mulai terlena dengan icon wisata seperti itu yang dianggap menguntungkan. Tanpa disadari, geliat semacam itu justru membuat kita sebagai pelancong seakaan terlena dengan fasilitas hiburan yang ditawarkan tanpa memandang aspek budaya dan sejarah setempat yang sebenarnya merupakan awal mula dari ketenaran Bali itu sendiri. Kalau saya ambil contoh simple, ketika pelancong belanja di pasar seni sukawati kebanggaan yang mereka dapatkan adalah : seberapa murah harga barang seni yang berhasil mereka tawar tanpa mau tahu asal,nama dan jenis barang seni tersebut. Serta tanpa menghiraukan seberapa sulit kehidupan para pengrajin seni yang merupakan pelestari budaya itu menciptakan hasil karya seni tersebut. Pelancong seakan-akan datang keBali bukan karena budayanya (seninya) tetapi karena kemurahan harganya. Mengenai budaya dan sejarah budaya itu sendiri, tidak ada yang mau tahu..pokoknya murah-pokoknya senang dan pokoknya sudah ke Bali. Padahal, hal yang paling penting yang harus diketahui dari Bali adalah budayanya dan sejarah budaya. Karena budaya itulah yang merupakan awal mula dan sumber kemajuan Bali seperti sekarang ini.
Beberapa desa tradisional yang keturunannya merupakan penduduk asli pulau Bali masih tersebar di pulau tersebut. Beberapa diantaranya adalah Desa Bayung Gede, Desa Adat Pengotan, Desa Penglipuran, Desa Tradisional Bugbug, Desa Adat Tenganan,Desa adat Bungaya, Desa Adat Tengkudak, Desa adat Taro dan Desa adat Pinggan. Desa-desa tersebutlah merupakan cikal bakal kehidupan Bali yang berbudaya serta beradat istiadat unik yang sebagian diantaranya masih ada hingga kini. Penduduk desa tersebutlah yang kemudian beasimilasi dan berpadu dengan kebudayaan penduduk Jawa yang berekspedisi ratusan tahun lampau menghasilkan suatu kebudayaan yang luhur seperti yang dapat kita nikmati di Bali pada masa kini. Kebudayaan yang beragam tersebutlah yang harus kita lestarikan dan jaga agar tidak punah tergerus oleh budaya modernisasi yang berkiblat pada negara Barat. Karena Budaya asli itulah yang menjadi alasan kenapa Bali bisa seterkenal seperti saat ini.
ReplyDeleteBali yang kini menjelma menjadi Bali yang modern pasti berawal dari Bali masa Kuno,Bali yang lampau yang sebenarnya masih bisa kita nikmati kini kalau kita bisa menghormati dan melestarikan akar budaya tersebut. Bali tidak tiba-tiba menjadi sebuah pulau gemerlap nan modern seperti masa kini, tetapi Bali bermula dari suatu sejarah kebudayaan lampau yang setidaknya harus kita hormati karena bagian dari kekayaan budaya negara kita Indonesia.
Nama :Putu Nita Aradi
ReplyDeleteNim : 12.01.1.1.985
Semester 6 reguler sore
Menurut pendapat saya tentang artikel di atas adalah
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif.
Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Budaya memiliki sifat yang tidak kekal, seiring perkembangan jaman suatu dapat berubah-ubah sesuai dengan pengaruh atau atau kemajuan ilmu dan teknologi.
A. Budaya Bali yang Sudah Hilang
Adapun budaya Bali yang telah menghilang, antara lain sebagai berikut.
1. Desain bangunan
Desain rumah masyarakat Bali seperti gambar diatas terlihat bahwa bentuk rumah yang sangat sederhana. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembutan rumah juga sangat sederhana. Bahan-bahan yang digunakan anatara lain tanah yang ditumpuk-tumpuk sehingga berwujud tembok dan atap rumahnya menggunakan rumput lalang atau daun kelapa. Tradisi rumah ini mulai ditinggalkan saat ada pengaruh dari luar dan pengaruh jaman dan teknologi seperti sekarang ini. Saat ini masyarakat khususnya di Bali menganggap bangunan seperti itu sudah "ketinggalan jaman". Masyarakat seolah-olah berlomba membuat bangunan rumah senyaman mungkin. Mengenai tata ruang bangunanpun saat ini sudah tidak diperhatikan lagi. Masyarakan
Nama :Putu Nita Aradi
ReplyDeleteNim : 12.01.1.1.985
Semester 6 reguler sore
Menurut pendapat saya tentang artikel di atas adalah
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif.
Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Budaya memiliki sifat yang tidak kekal, seiring perkembangan jaman suatu dapat berubah-ubah sesuai dengan pengaruh atau atau kemajuan ilmu dan teknologi.
A. Budaya Bali yang Sudah Hilang
Adapun budaya Bali yang telah menghilang, antara lain sebagai berikut.
1. Desain bangunan
Desain rumah masyarakat Bali seperti gambar diatas terlihat bahwa bentuk rumah yang sangat sederhana. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembutan rumah juga sangat sederhana. Bahan-bahan yang digunakan anatara lain tanah yang ditumpuk-tumpuk sehingga berwujud tembok dan atap rumahnya menggunakan rumput lalang atau daun kelapa. Tradisi rumah ini mulai ditinggalkan saat ada pengaruh dari luar dan pengaruh jaman dan teknologi seperti sekarang ini. Saat ini masyarakat khususnya di Bali menganggap bangunan seperti itu sudah "ketinggalan jaman". Masyarakat seolah-olah berlomba membuat bangunan rumah senyaman mungkin. Mengenai tata ruang bangunanpun saat ini sudah tidak diperhatikan lagi. Masyarakan
lanjutan
ReplyDeletesekreatif mungkin membuat bangunan yang menarik tanpa memperhatikan tata ruang yang biasa dibuat oleh masyarakat jaman dulu.
2. Busana/Pakaian Masyarakat Bali
Jaman dahulu, masyarakat Bali memiliki Budaya berbusana . Hampir semua masyarakat bali hanya memakai busana pada bagian bawah saja, yaitu dari perut sampai ke kaki. Busana tersebut berbahan kain yang di pakai dan diikat dengan sebuah selendang sehingga berbentuk kamben. Sedangkan bagian atas, bisanya masyarakat Bali jarang menggunakan pakaian sehingga tubuh bagian atas tetap telanjang. Seiring kemajuan jaman dan teknologi, budaya berbusana ini ditinggalkan oleh masyarakat Bali. Saat ini masyarakat Bali sudah memakai busana tertutup, artinya masyarakat sudah memakai busana lengkap, baik bagian atas maupun bawah.
3. Transportasi Gedebeg
Alat transportasi gedebeg merupakan sarana transportasi yang dimiliki oleh masyarakat Bali pada jaman dulu. Alat transportasi ini berbentuk gerobak, yang terbuat dari kayu yang dipergunakan untuk mengangkut barang, terbuat dari kayu yang berbentuk rumah kecil dan tenaga yang digunakan sebagai penarik transportasi ini adalah seekor kerbau. alat transportasi ini biasanya digunakan untuk mengankut hasil pertanian atau barang dagangan yang akan dibawa ke pasar. Seiring perkembanggan jaman dan teknologi alat transportasi ini sudah ditinggalkan karena kurang evisiensi waktu.
NAMA: LUH GAMIARSI
ReplyDeleteNIM: 12.01.1.1.968
SMST:VI (ENAM)
S1 MANAJEMEN REG.SOREDalam setiap bangsa dipastikan memiliki adat dan kebudayaannya masing-masing. Untuk itu, mereka memiliki kewajiban untuk melestarikan dan mengimplementasikan segala adat dan kebudayaannya tersebut secara sungguh-sungguh. Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui adanya perbedaaan ( rwa bhineda ), yang sering ditentukan oleh faktor ruang ( desa ), waktu ( kala ) dan kondisi riil di lapangan ( patra ). Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh kebudayaan luar. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa komunikasi dan interaksi antara kebudayaan Bali dan budaya luar seperti India (Hindu), Cina, dan Barat khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan kreatifitas baru dalam seni rupa maupun seni pertunjukkan. Tema-tema dalam seni lukis, seni rupa dan seni pertunjukkan banyak dipengaruhi oleh budaya India. Demikian pula budaya Cina dan Barat/Eropa memberi nuansa batu pada produk seni di Bali. Proses akulturasi tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan adaptif khususnya dalam kesenian sehingga tetap mampu bertahan dan tidak kehilangan jati diri (Mantra 1996). Kebudayaan Bali sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi mengenai hubungan manusia dengan Tuhan ( parhyangan ), hubungan sesama manusia ( pawongan ), dan hubungan manusia dengan lingkungan ( palemahan ), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan). Apabila manusia mampu menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis dengan ketiga aspek tersebut maka kesejahteraan akan terwujud. Selain nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi, dalam kebudayaan Bali juga dikenal adanya konsep tri semaya yakni persepsi orang Bali terhadap waktu. Menurut orang Bali masa lalu ( athita ), masa kini ( anaghata ) dan masa yang akan datang ( warthamana ) merupakan suatu rangkaian waktu yang tidak dapt dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan manusia pada saat ini ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini juga menentukan kehidupan di masa yang akan datang. Dalam ajaran hukum karma phala disebutkan tentang sebab-akibat dari suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil yang baik. Demikian pula seBaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya juga buruk atau tidak baik bagi yang bersangkutan. Kebudayaan Bali juga memiliki identitas yang jelas yaitu budaya ekspresif yang termanifestasi secara konfiguratif yang emncakup nilai-nilai dasar yang dominan sepert: nilai religius, nilai estetika, nilai solidaritas, nilai harmoni, dan nilai keseimbangan (Geriya 2000: 129). Kelima nilai dasar tersebut ditengarai mampu bertahan dan berlanjut menghadapi berbagai tantangan.
1. Pengertian budaya orang Bali
Lanjutan
ReplyDelete2. Analisis budaya orang bali dulu dan kini
Dahulu, Bali tergolong pulau agraris dimana sebagian besar masyarakatnya bertani dan berkebun. Lalu berubah menjadi pariwisata. Beberapa tahun belakangan ini, tidak lagi sekedar pariwisata, sudah bergeser menjadi multi-profesi dan multi-aktivitas. Masyarakat dan kebudayaan Bali tidak luput dari perubahan di era gloBalisasi ini. Seperti dikatakan oleh Adrian Vickers (2002) bahwa orang Bali kini tengah mengalami suatu paradok yakni cenderung mengadopsi kebudayaan modern yang mendunia (kosmopolitan), namun di sisi lain juga sedang mengalami proses parokialisme atau kepicikan yang timbul karena fokus beralih pada lokalitas, khususnya kepada desa adat. Adapun budaya yang menghilang antara lain:
1. Desain bangunan
Desain rumah masyarakat Bali dahulu bentuk rumah yang sangat sederhana. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembutan rumah juga sangat sederhana. Bahan-bahan yang digunakan anatara lain tanah yang ditumpuk-tumpuk sehingga berwujud tembok dan atap rumahnya menggunakan rumput lalang atau daun kelapa. Tradisi rumah ini mulai ditinggalkan saat ada pengaruh dari luar dan pengaruh jaman dan teknologi seperti sekarang ini. Saat ini masyarakat khususnya di Bali menganggap bangunan seperti itu sudah "ketinggalan jaman". Masyarakat seolah-olah berlomba membuat bangunan rumah senyaman mungkin. Mengenai tata ruang bangunanpun saat ini sudah tidak diperhatikan lagi. Masyarakan sekreatif mungkin membuat bangunan yang menarik tanpa memperhatikan tata ruang yang biasa dibuat oleh masyarakat jaman dulu.
2. Busana/pakaian
Jaman dahulu, masyarakat Bali memiliki Budaya berbusana hampir semua masyarakat bali hanya memakai busana pada bagian bawah saja, yaitu dari perut sampai ke kaki. Busana tersebut berbahan kain yang di pakai dan diikat dengan sebuah selendang sehingga berbentuk kamben. Sedangkan bagian atas, bisanya masyarakat Bali jarang menggunakan pakaian sehingga tubuh bagian atas tetap telanjang. Seiring kemajuan jaman dan teknologi, budaya berbusana ini ditinggalkan oleh masyarakat Bali. Saat ini masyarakat Bali sudah memakai busana tertutup, artinya masyarakat sudah memakai busana lengkap, baik bagian atas maupun bawah.
3. Transportasi Gedebeg
Alat transportasi gedebeg merupakan sarana transportasi yang dimiliki oleh masyarakat Bali pada jaman dulu. Alat transportasi ini berbentuk gerobak, yang terbuat dari kayu yang dipergunakan untuk mengangkut barang, terbuat dari kayu yang berbentuk rumah kecil dan tenaga yang digunakan sebagai penarik transportasi ini adalah seekor kerbau. alat transportasi ini biasanya digunakan untuk mengankut hasil pertanian atau barang dagangan yang akan dibawa ke pasar. Seiring perkembanggan jaman dan teknologi alat transportasi ini sudah ditinggalkan karena kurang evisiensi waktu.
4. permainan tradsional bali
ReplyDeletePermainan Tradisional Bali sekarang jarang bisa kita temukan apalagi di daerah perkotaan, perkembangan tekhnologi yang pesat hampir menenggelamkan mereka. Ada puluhan bahkan ratusa permainan tradisional yang ada, orang tua juga seolah-olah tidak memperhatikan dan cenderung tidak mampu mengarahkan anak-anak mereka dalam melakukan permainan yang memang ternyata cukup susah, karena permainan tradisional lebih menonjolkan permainan berkelompok yang membutuhkan kekompakan dan kebersamaan dan secara tidak langsung mendidik anak itu lebih bisa mengenal lingkungannya yang majemuk, bergaul dengan tidak memandang status sosial dan kebersamaanya, kesetiakawanan dengan suasana ceria di lingkungan mereka.
Banyak permainan tradisional yang ada di Bali seperti; meong-meongan, megoak-goakana, metajog, nyen durine nyongkok, engkeb–engkeban, main gangsing, main tajog. Dengan perkembangan iptek yang pesat, anak-anak cenderung menggunakan tekhnologi yang ada seperti video games yang bisa dimainkan dari handphone, play station dan melalui internet. Mereka sepertinya lebih asik bermain alat tersebut, tidak lagi berinteraksi dengan lingkungan dengan teman sesamanya. Mereka hanya terfokus untuk menang mengumpat kalau kalah. Anak-anak sampai kecanduan dan tidak fokus belajar, apalagi permainan yang menggunakan handphone yang katanya ada ‘radiasi‘ yang bisa mempengaruhi sel-sel tubuh dan perkembangan otak, ini tentunya akan sangat berbahaya bagi perkembangan anak. Peran aktif orang tua sangat dibutuhkan dalam mengarahkan dan membimbing mereka.
5. Alat Pembajak sawah
ReplyDeleteKeunikan Budaya Bali dan Pesatnya Pariwisata Bali kita tidak bisa terlepas dari sebuah dunia yang disebut Pertanian Bali. Pertanian di bali memiliki pertalian yang erat antara Budaya, Agama, Alam Bali dan Pariwisata di Bali. “metekap” adalah istilah orang Bali dalam membajak sawah mereka, peralatan tradisional yang mereka pakai terdiri dari "UGA" ditaruh pada leher kedua ekor sapi yang kemudian di ikat pada "TENGALA" dan "LAMPIT" yang berfungsi untuk membajak sawah. Seiring perkembangan jaman dan teknologi kegiatan “matekap” sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat Bali, karena dengan kemajuan teknologi yang menghasilkan alat pembajak sawah yang disebut dengan “Traktor” telah menggantikan alat-alat tradisional Bali. Dengan “traktor” pekerjaan membajak sawah menjadi lebih mudah dan cepat. Dengan adanya alat moderen inilah masyarakat menjadi lebih dimannjakan, dan mulai meninggalkan budaya “matekap”.
Nama : Luh Dharmayanti
ReplyDeleteNim : 12.01.1.1.1044
Semester 6/ Eksekutive Sore
1. Pengertian Budaya Orang Bali
Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui adanya perbedaaan ( rwa bhineda ), yang sering ditentukan oleh faktor ruang ( desa ), waktu ( kala ) dan kondisi riil di lapangan (patra ). Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh kebudayaan luar. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa komunikasi dan interaksi antara kebudayaan Bali dan budaya luar seperti India (Hindu), Cina, dan Barat khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan kreatifitas baru dalam seni rupa maupun seni pertunjukkan. Tema-tema dalam seni lukis, seni rupa dan seni pertunjukkan banyak dipengaruhi oleh budaya India. Demikian pula budaya Cina dan Barat/Eropa memberi nuansa batu pada produk seni di Bali. Proses akulturasi tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan adaptif khususnya dalam kesenian sehingga tetap mampu bertahan dan tidak kehilangan jati diri.
Kebudayaan Bali sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi mengenai hubungan manusia dengan Tuhan ( parhyangan ), hubungan sesama manusia (pawongan ), dan hubungan manusia dengan lingkungan ( palemahan ), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan). Apabila manusia mampu menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis dengan ketiga aspek tersebut maka kesejahteraan akan terwujud.
Selain nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi, dalam kebudayaan Bali juga dikenal adanya konsep tri semaya yakni persepsi orang Bali terhadap waktu. Menurut orang Bali masa lalu (athita ), masa kini ( anaghata ) dan masa yang akan datang ( warthamana ) merupakan suatu rangkaian waktu yang tidak dapt dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan manusia pada saat ini ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini juga menentukan kehidupan di masa yang akan datang. Dalam ajaran hukum karma phala disebutkan tentang sebab-akibat dari suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil yang baik. Demikian pula sebaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya juga buruk atau tidak baik bagi yang bersangkutan.
2. Menurut saya melihat perkembangan orang bali Dulu dan Kini dilihat dari aspek Perubahan sosial masyarakat Bali yaitu Orang Bali dengan tatanan nilai tradisionalnya tidak dapat menghindarkan diri dan harus berhadapan dengan nilai-nilai kebaruan dalam tatanan ekonomi global dan konteks pariwisata. Mempertentangkan nilai tradisional dengan modernisasi dan globalisasi dalam konteks pariwisata adalah suatu wacana yang kontraproduktif. Mengingat keduanya harus dilihat sebagai kekuatan yang saling melengkapi karena dua nilai yang paradoks bukan berarti tidak mungkin dibuat harmoni. Modernisasi dan globalisasi dalam konteks pariwisata, pertama-tama haruslah dihadapi dengan sikap kritis dengan melakukan reinterpretasi terhadap nilai tradisional yang kurang relevan dan fungsional. Oleh karena itu pengenalan terhadap nilai baru dengan budaya deferensial memerlukan tindakan strategis dalam menginterpretasi dan memahami serta mereposisi nilai tradisi Bali agar dapat menciptakan harmoni peradaban.
Memahami perubahan masyarakat setidak-tidaknya dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu sosial dan kebudayaan. Dikatakan demikian karena perubahan sosial pada prinsipnya menyangkut tranformasi bidang-bidang kehidupan masyarakat manusia, yaitu perubahan peradaban, perubahan budaya, dan perubahan sosial.
Nama : Ni Gusti Made Oka Astrini
ReplyDeleteNIM : 12.01.1.1.1020
Kelas : Eksekutif
Semester : VI ( Enam )
Budaya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Bali berasal dari kata “Bal” dalam bahasa Sansekerta berarti “Kekuatan”, dan “Bali” berarti “Pengorbanan” yang berarti supaya kita tidak melupakan kekuatan kita. Supaya kita selalu siap untuk berkorban.
Budaya orang bali merupakan Adat istiadat pada masyarakat Bali hindu Yang sangat erat kaitannya dengan agama dan kehidupan religius masyarakat Hindu atau dengan kata lain budaya orang Bali yaitu Kebiasaan orang –orang yang ada di Bali.
Kajian dari budaya orang Bali dengan era kekinian
Dari definisi diatas budaya merupakan suatu kebiasaan yang dimiliki orang Bali, kalau dikaitkan dengan era masa kini, budaya yang dahulu dengan yang sekarang sudah banyak mengalami perubahan/ akulturasi. Banyak budaya orang Bali yang sudah berubah seperti cara berbusana, gaya hidup, makanan dan minuman, mata pencaharian, dan masih banyak lagi perubahan budaya yang terjadi. Hal tersebut terjadi akhibat banyak budaya asing yang masuk ke Bali. Masuknya budaya asing ke Bali menimbulkan dampak positif maupun negatif. Adapun dampak positifnya yaitu dapat mengembangkan perekonomian di Bali, mengetahui budaya daerah lain. Akan tetapi ada juga dampak negatf dari masuknya budaya asing, seperti budaya yang ada di Bali menjadi kurang kesakralannya, banyak masyarakat bali yang meniru budaya orang asing, seperti gaya berbusana yang sudah menyalahi aturan, pemakaian kain dan kebaya yang sudah jauh dari kesakralan, gaya hidup masyarakat menjadi lebih konsumtif dan masih banyak lagi dampak-dampak lain yang ditimbulkan akhibat perubahan budaya saat ini.
Lanjutan....
ReplyDeleteBerdasarkan pandangan tersebut perubahan sosial orang Bali yang disebabkan aktivitas pariwisata dalam perspektif perubahan sosial yang mengacu pada sistem sosial, setidak-tidaknya mengandung enam komponen, yaitu perubahan komposisi, perubahan struktur, perubahan fungsi, perubahan batas, perubahan hubungan antarsubsistem, dan perubahan lingkungan. Ini sebabnya perubahan sosial bisa terjadi pada berbagai tingkat kehidupan, seperti antara lain individual, interaksi, organisasi, institusi sosial, komunitas, dan global. Di samping dimensi kebudayaannya perubahan orang Bali dalam hubungannya dengan pariwisata juga dapat dicermati melalui dimensi sosial terutama dengan teori sistem sosial ini. Mengingat fenomena sosial dan budaya merupakan dua gejala dari satu realitas, yaitu sistem tindakan manusia berdasarkan sistem pengetahuannya yang di dalamnya tidak bisa dipisahkan adanya hubungan antarsesama manusia dan alam serta kebudayaannya (Berger, 1994). Dalam hal ini dapat diasumsikan bahwa setiap tindakan sosial dan budaya senantiasa berlangsung dalam setting keruangan, karena itu komponen perubahan lingkungan dibahas tersendiri sebagai perubahan fisikal. Orang Bali dengan tatanan nilai-nilai tradisinya tidak dapat menghindarkan diri harus berhadapan dengan nilai-nilai baru dalam tatanan ekonomi global terutama dalam konteks pariwisata. Mempertentangkan nilai-nilai tradisional dengan nilai-nilai modernisme dan globalisasi dalam konteks pariwisata adalah suatu wacana yang kontraproduktif. Keduanya harus dilihat sebagai kekuatan yang saling melengkapi dan menyempurnakan. Modernisme dan globalisasi dalam konteks pariwisata, pertama-tama haruslah dihadapi dengan sikap kritis dan dalam waktu yang bersamaan melakukan reinterpretasi terhadap nilai-nilai tradisi yang kurang relevan dan fungsional. Artinya, penggairahan kehidupan adat dan tradisi merupakan suatu keharusan, sementara itu, adaptasi modernitas juga bukanlah sesuatu yang harus ditabukan.
Kehadiran pariwisata harus dilihat bukan saja sebagai tantangan, tetapi juga sekaligus sebagai peluang bagi proses kreatif orang Bali dalam menyikapi perubahan-perubahan yang terjadi. Dengan demikian Hindu, baik sebagai agama maupun kebudayaan mendapat nafas segar dalam mempertahankan eksistensinya. Hindu sebagai spirit orang Bali yang menggunakan sistem budaya Bali sebagai wahana bersemi tetap mampu merangkum pengalaman kreatif orang Bali di tengah-tengah pariwisata dalam beragamamnya nilai-nilai modernisme. Dengan demikian tradisi Bali sebagai kesatuan komitmen yang berlaku pada zamannya, bukan sesuatu yang bebas konflik dan tidak mengalami perubahan, melainkan sistem nilai budaya yang aktif dan dinamis terlibat dalam pergulatan tatanan nilai global sejalan dengan kebutuhan orang Bali yang berkembang setiap saat.
Nama : Putu Mertayana
ReplyDeleteNim : 12.01.1.1.1014
Semester 6/ Eksekutive
KEBUDAYAAN BALI
Bali berasal dari kata “Bal” dalam bahasa Sansekerta berarti “Kekuatan”, dan “Bali” berarti “Pengorbanan” yang berarti supaya kita tidak melupakan kekuatan kita. Supaya kita selalu siap untuk berkorban. Bali mempunyai 2 pahlawan nasional yang sangat berperan dalam mempertahankan daerahnya yaitu I Gusti Ngurah Rai dan I Gusti Ketut Jelantik.
Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui adanya perbedaaan ( rwa bhineda ), yang sering ditentukan oleh faktor ruang ( desa ), waktu ( kala ) dan kondisi riil di lapangan (patra ). Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh kebudayaan luar. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa komunikasi dan interaksi antara kebudayaan Bali dan budaya luar seperti India (Hindu), Cina, dan Barat khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan kreatifitas baru dalam seni rupa maupun seni pertunjukkan. Tema-tema dalam seni lukis, seni rupa dan seni pertunjukkan banyak dipengaruhi oleh budaya India. Demikian pula budaya Cina dan Barat/Eropa memberi nuansa batu pada produk seni di Bali. Proses akulturasi tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan adaptif khususnya dalam kesenian sehingga tetap mampu bertahan dan tidak kehilangan jati diri (Mantra 1996).
Hubungan masyarakat Bali dengan masyarakat global saat ini tidak lagi sekedar guide-dan-turis, melainkan sudah berubah menjadi hubungan antara bawahan-dan-atasan . Perubahan hubungan antara masyarakat Bali dan masyarakat global yang kian meningkat, tidak sekedar melahirkan orang bule yang ke-Bali-Balian dalam jumlah relative sedikit, melainkan juga melahirkan orang Bali ke-bule-bule-an yang justru lebih banyak. Begitu banyak perubahan dalam masyarakat Bali belakangan ini. Ada perubahan yang menurut sebagian orang bisa jadi positive, ada juga yang negative.
Nama : nyoman manik merta
ReplyDeleteNim : 12.01.1.1.1007
Menurut pendapat saya tentang artikel di atas adalah
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku.
Hubungan masyarakat Bali dengan masyarakat global saat ini tidak lagi sekedar guide-dan-turis, melainkan sudah berubah menjadi hubungan antara bawahan-dan-atasan . Perubahan hubungan antara masyarakat Bali dan masyarakat global yang kian meningkat, tidak sekedar melahirkan orang bule yang ke-Bali-Balian dalam jumlah relative sedikit, melainkan juga melahirkan orang Bali ke-bule-bule-an yang justru lebih banyak. Begitu banyak perubahan dalam masyarakat Bali belakangan ini. Ada perubahan yang menurut sebagian orang bisa jadi positive, ada juga yang negative. Bali yang kini menjelma menjadi Bali yang modern pasti berawal dari Bali masa Kuno,Bali yang lampau yang sebenarnya masih bisa kita nikmati kini kalau kita bisa menghormati dan melestarikan akar budaya tersebut. Bali tidak tiba-tiba menjadi sebuah pulau gemerlap nan modern seperti masa kini, tetapi Bali bermula dari suatu sejarah kebudayaan lampau yang setidaknya harus kita hormati karena bagian dari kekayaan budaya negara kita Indonesia.
Ni Nyoman Swarni Pratiwi
ReplyDelete12.01.1.1.1013
Berikut ini adalah pengertian dan definisi budaya menurut beberapa ahli :
# KROEBER dan KLUCKHOHN Budaya menurut definisi deskriptif: cenderung melihat budaya sebagai totalitas komprehensif yang menyusun keseluruhan hidup sosial sekaligus menunjukkan sejumlah ranah (bidang kajian) yang membentuk budaya
Budaya menurut difinisi historis :cenderung melihat budaya sebagai warisan yang dialihturunkan dari generasi satu ke generasi berikutnya
Budaya menurut definisi normatif: bisa mengambil 2 bentuk. Yang pertama, budaya adalah aturan atau jalan hidup yang membentuk pola-pola perilaku dan tindakn yang konkret. Yang kedua, menekankan peran gugus nilai tanpa mengacu pada perilaku
Budaya menurut definisi psikologis: cenderung memberi tekanan pada peran budaya sebagai piranti pemecahan masalah yang membuat orang bisa berkomunikasi, belajar, atau memenuhi kebutuhan material maupun emosionalnya
Budaya menurut definisi struktural: mau menunjuk pada hubungan atau keterkaitan antara aspek-aspek yang terpisah dari budaya sekaligus menyoroti fakta bahwa budaya adalah abstraksi yang berbeda dari perilaku konkret
Budaya dilihat dari definisi genetis: definisi budaya yang melihat asal usul bagaimana budaya itu bisa eksis atau tetap bertahan. Definisi ini cenderung melihat budaya lahir dari interaksi antar manusia dan tetap bisa bertahan karena ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya
# LEHMAN, HIMSTREET, dan BATTY Budaya diartikan sebagai sekumpulan pengalaman hidup yang ada dalam masyarakat mereka sendiri. Pengalaman hidup masyarakat tentu saja sangatlah banyak dan variatif, termasuk di dalamnya bagaimana perilaku dan keyakinan atau kepercayaan masyarakat itu sendiri
# MOFSTEDE
Budaya diartikan sebagai pemrograman kolektif atas pikiran yang membedakan anggota-anggota suatu kategori orang dari kategori lainnya. Dalam hal ini, bisa dikatan juga bahwa budaya adalah pemrograman kolektif yang menggambarkan suatu proses yang mengikat setiap orang segera setelah kita lahir di dunia
# BOVEE dan THILL
Budaya adalah system sharing atas simbol - simbol, kepercayaan, sikap, nilai-nilai, harapan, dan norma-norma untuk berperilaku
# MURPHY dan HILDEBRANDT
Budaya diartikan sebagai tipikal karakteristik perilaku dalam suatu kelompok. Pengertian in juga mengindikasikan bahwa komunikasi verbal dan non verbal dalam suatu kelompok juga merupakan tipikal dari kelompok tersebut dan cenderung unik atau berbeda dengan yang lainnya
# MITCHEL
Budaya merupakan seperangkat nilai-nilai inti, kepercayaan, standar , pengetahuan, moral hukum, dan perilaku yang disampaikan oleh individu - individu dan masyarakat, yang menentukan bagaimana seseorang bertindak, berperasaan, dan memandang dirinya serta orang lain.
Dari beberapa definisi budaya menurut para ahli diatas, bisa diambil kesimpulan tentang beberapa hal penting yang dicakup dalam arti budaya yaitu: sekumpulan pengalaman hidup, pemrograman kolektif, system sharing, dan tipikal karakteristik perilaku setiap individu yang ada dalam suatu masyarakat, termasuk di dalamnya tentang bagaimana sistem nilai, norma, simbol-simbol dan kepercayaan atau keyakinan mereka masing-masing dalam hal ini adalah orag bali.
lanjutan ....
ReplyDeleteBali dulu dan kini tidak pernah berubah dalam memagang konsep tri hita karana di mana semunya harus bersinergi positif inilah yang dari dulu hingga sekarng masih di pegang teguh meskipun mengalami banyak perubahan dalam ritualnya namun makna yang di sampaikan tidak pernah berubah, bali adalah temapt yang paling lues di mana semuanya tidak selalu monoton begitu saja namun konsep yang dari dulu yang sangat tidak pernah di tinggalkan oleh orang bali dari dulu hingga kini adalah mengenai karma sehingga orang bali akan selalu berhati hati dalam melaksanakan segala sesuatu yang akan di kerjakan. Masyarakat bali dulu dan kini terus mengalami moderenisasi namun masyarakat bali dulu dan kini selalu ingat akan siapa dia dan dari mana dia berasal oelh sebab itu bali memang tidak bisa di pungkiri di kuasai oleh investor asing dari laur bali namunmasyarakat bali akan selalu memegang teguh kebaliannya meskipun bali dulu pasti berbeda dengan bali kini.
Nama : Niluh Mirawati
ReplyDeleteNim : 12.01.1.11016
Kelas : eksekutif
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Budaya Bali adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh masyarakat Bali dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Budaya memiliki sifat yang tidak kekal, seiring perkembangan jaman suatu dapat berubah-ubah sesuai dengan pengaruh atau atau kemajuan ilmu dan teknologi.
Selain nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi, dalam kebudayaan Bali juga dikenal adanya konsep tri semaya yakni persepsi orang Bali terhadap waktu. Menurut orang Bali masa lalu (athita ), masa kini ( anaghata ) dan masa yang akan datang ( warthamana ) merupakan suatu rangkaian waktu yang tidak dapt dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan manusia pada saat ini ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini juga menentukan kehidupan di masa yang akan datang. Dalam ajaran hukum karma phala disebutkan tentang sebab-akibat dari suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil yang baik. Demikian pula sebaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya juga buruk atau tidak baik bagi yang bersangkutan.
Dari definisi diatas budaya merupakan suatu kebiasaan yang dimiliki orang Bali, kalau dikaitkan dengan era masa kini, budaya yang dahulu dengan yang sekarang sudah banyak mengalami perubahan/ akulturasi. Banyak budaya orang Bali yang sudah berubah seperti cara berbusana, gaya hidup, makanan dan minuman, mata pencaharian, dan masih banyak lagi perubahan budaya yang terjadi. Hal tersebut terjadi akhibat banyak budaya asing yang masuk ke Bali. Masuknya budaya asing ke Bali menimbulkan dampak positif maupun negatif
Nama : Niluh Mirawati
ReplyDeleteNim : 12.01.1.11016
Kelas : eksekutif
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Budaya Bali adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh masyarakat Bali dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Budaya memiliki sifat yang tidak kekal, seiring perkembangan jaman suatu dapat berubah-ubah sesuai dengan pengaruh atau atau kemajuan ilmu dan teknologi.
Selain nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi, dalam kebudayaan Bali juga dikenal adanya konsep tri semaya yakni persepsi orang Bali terhadap waktu. Menurut orang Bali masa lalu (athita ), masa kini ( anaghata ) dan masa yang akan datang ( warthamana ) merupakan suatu rangkaian waktu yang tidak dapt dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan manusia pada saat ini ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini juga menentukan kehidupan di masa yang akan datang. Dalam ajaran hukum karma phala disebutkan tentang sebab-akibat dari suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil yang baik. Demikian pula sebaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya juga buruk atau tidak baik bagi yang bersangkutan.
Dari definisi diatas budaya merupakan suatu kebiasaan yang dimiliki orang Bali, kalau dikaitkan dengan era masa kini, budaya yang dahulu dengan yang sekarang sudah banyak mengalami perubahan/ akulturasi. Banyak budaya orang Bali yang sudah berubah seperti cara berbusana, gaya hidup, makanan dan minuman, mata pencaharian, dan masih banyak lagi perubahan budaya yang terjadi. Hal tersebut terjadi akhibat banyak budaya asing yang masuk ke Bali. Masuknya budaya asing ke Bali menimbulkan dampak positif maupun negatif
Nama : Luh Putu Sariastini
ReplyDeleteNIM : 12.01.1.1.1005
Semester : VI Manajemen Reguler Sore
1. Budaya Orang Bali
Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui adanya perbedaaan ( rwa bhineda ), yang sering ditentukan oleh faktor ruang ( desa ), waktu ( kala ) dan kondisi riil di lapangan (patra ). Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh kebudayaan luar. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa komunikasi dan interaksi antara kebudayaan Bali dan budaya luar seperti India (Hindu), Cina, dan Barat khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan kreatifitas baru dalam seni rupa maupun seni pertunjukkan. Tema-tema dalam seni lukis, seni rupa dan seni pertunjukkan banyak dipengaruhi oleh budaya India. Demikian pula budaya Cina dan Barat/Eropa memberi nuansa batu pada produk seni di Bali. Proses akulturasi tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan adaptif khususnya dalam kesenian sehingga tetap mampu bertahan dan tidak kehilangan jati diri (Mantra 1996).
Kebudayaan Bali sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi mengenai hubungan manusia dengan Tuhan ( parhyangan ), hubungan sesama manusia (pawongan ), dan hubungan manusia dengan lingkungan ( palemahan ), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan). Apabila manusia mampu menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis dengan ketiga aspek tersebut maka kesejahteraan akan terwujud.
Selain nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi, dalam kebudayaan Bali juga dikenal adanya konsep tri semaya yakni persepsi orang Bali terhadap waktu. Menurut orang Bali masa lalu (athita ), masa kini ( anaghata ) dan masa yang akan datang ( warthamana ) merupakan suatu rangkaian waktu yang tidak dapt dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan manusia pada saat ini ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini juga menentukan kehidupan di masa yang akan datang. Dalam ajaran hukum karma phaladisebutkan tentang sebab-akibat dari suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil yang baik. Demikian pula seBaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya juga buruk atau tidak baik bagi yang bersangkutan.
lanjutan..
Delete2. Analisis Budaya Orang Bali Dulu dan Kini
Arus perubahan tidak bisa dihindari. Seperti masyarakat di daerah lain, Bali juga mengalami perubahan, dan itu terjadi sudah sejak dahulu. Hanya saja, perubahan masyarakat Bali beberapa tahun belakangan ini tergolong drastis.
Dahulu, Bali tergolong pulau agraris dimana sebagian besar masyarakatnya bertani dan berkebun. Lalu berubah menjadi pariwisata. Beberapa tahun belakangan ini, tidak lagi sekedar pariwisata, sudah bergeser menjadi multi-profesi dan multi-aktivitas.
Ada 2 faktor utama yang mendorong terjadinya perubahan drastis di Bali, belakangan ini, yaitu:
Pengaruh global; dan
Pengaruh nasional
Di kancah dunia, Bali tergolong salah satu tujuan wisata favorit, sejak dahulu. Disamping keindahan panorama dan kelestarian budayanya, Bali juga terkenal dengan masyarakatnya yang rata-rata kreatif dan memiliki talenta seni—mulai dari seni tari, seni tabuh, lukis, pahat (ukir dan patung) hingga seni tattoo tubuh.
Perubahan frekwensi dan intensitas hubungan antara masyarakat Bali dan masyarakat global (baca: orang asing) yang kian meningkat, tidak sekedar melahirkan orang bule yang ‘ke-Bali-Balian’—dalam jumlah relative sedikit, melainkan juga melahirkan orang Bali ‘ke-bule-bule-an’ yang justru lebih banyak.
Sebagai bagian dari Indonesia, Bali juga mendapat pengaruh dari perubahan-perubahan yang terjadi di tingkat nasional—teknologi, komunikasi, ekonomi, politik hingga budaya. Perubahan dari era pemerintahan Soeharto (orde baru) ke era pemerintahan pasca-Soeharto (reformasi) misalnya, membawa pengaruh kuat bagi kehidupan sosial dan politik di Bali, yang pada akhirnya mendorong terjadinya perubahan dalam berbagai aspek.
Begitu banyak perubahan dalam masyarakat Bali belakangan ini. Ada perubahan yang menurut sebagian orang bisa jadi positive, ada juga yang negative. Ada perubahan yang menurut sebagian orang bisa jadi baik, ada juga yang tidak baik.
Inilah “10 Perubahan Paling Drastis Dalam Masyarakat Bali Per 2013”
Delete1. Perubahan Mata Pencaharian
Sebelum era 70an, mata pencaharian masyarakat Bali lebih banyak sebagai petani dan sebagian kecilnya pedagang. Di era 80an, mata pencaharian mulai bergeser ke pegawai pariwisata (pegawai hotel, travel, guide, sopir travel, dlsb) dan pengerajin.
Belakangan ini, berbagai macam profesi di jalani oleh masyarakat Bali; mulai dari pedagang HP hingga pedagang narkoba, mulai dari pengusaha hotel hingga pengusaha café remang-remang, mulai dari calo tanah sampai calo perkara, mulai dari moderator talk show sampai key speaker seminar, mulai dari tukang parkir sampai tukang tagih (debt-collector).
Silahkan periksa status pekerjaan yang tercantum di KTP, berapa orang yang masih mencantumkan “petani”? Hanya ada di desa-desa sana, itupun mungkin jumlahnya sudah sangat sedikit.
2. Perubahan Aktivitas dan Etos Kerja
Etos Kerja
Dalam era dimana sebagian besar masyarakat berstatus petani, etos kerja masyarakat Bali mungkin terlihat lamban dan cenderung santai. Tentu saja, karena aktivitas bertani memang tidak bisa diburu-buru, semua memakai hitungan masa (misalnya: padi baru bisa dipanen setelah berusia 3 bulan, tidak bisa dipercepat).
Banyaknya waktu luang inilah yang membuat masyarakat Bali, di era itu, selalu punya waktu untuk aktivitas-aktivitas berkesenian dan melestarikan budaya (misalnya: mekekawin, megeguritan, megenjekan, megambel, menari, main arja, ngerindik, meniup seruling, membaca lontar, dlsb). Sehingga bagi orang di luar Bali, etos kerja masayarakt Bali pada saat itu dianggap santai.
Etos kerja masyarakat Bali saat ini sudah berubah drastis, menjadi super sibuk, “time-is-money” kata mereka. Perubahan ini tentu terjadi akibat perubahan mata pencaharian yang begitu drastis dan ledakan angkatan kerja yang mengakibatkan kempetisi menjadi begitu ketat. Libur sehari untuk menengok upacara keluarga misalnya, jatah antrean nyupir di halaman hotel sudah diambil-alih orang lain. Tutup kantor sekali, pelanggan sudah marah-marah.
Sehingga, hampir sudah tidak ada waktu lagi untuk ‘menyama-braya’. Melihat orang bertegur sapa di jalanan, saat ini, adalah kejadian langka, ajaib, atau malah dipandang aneh (“terlalu basa-basi, lebian tutur,” kata mereka), kecuali di desa-desa yang jauh di kaki bukit sana.
3. Perubahan Nama
Mungkin bisa diperdebatkan. Tetapi ini fakta bahwa perubahan penggunaan nama di kalangan masyarakat Bali, dewasa ini, tergolong drastis.
Generasi yang lahir sebelum tahun 70an masih banyak yang menggunakan nama yang menurut masyarakat di luar Bali, unik. Disebut unik karena benar-benar hanya ada di Bali. Misalnya: I Wayan Konten, I Made Simpen, I Gede Dokar, Ni Luh Pujut, Anak Agung Gede Raka, I Putu Danu, AA Putu Keramas, Ni Nyoman Ceraki.
Di Era 70-80, penamaan anak sudah mulai bergeser ke nasional, meniru nama artis ibu kota atau tokoh publik: I Gede Doni (aktor Doni Damara), I Kadek Toni (artis Toni Koeswoyo), Anak Agung Jhoni (aktor Jhoni Indo), Ida Ayu Mariana (artis Dina Mariana), I Putu Deni, I Kadek Edi, Putu Gede Budianto, dan lain sebagainya.
Sekarang, perubahan penamaan anak sangat drastis. Ada 2 trend yang paling menonjol menurut Pop Bali, yaitu:
nama yang mengarah ke ‘kebarat-baratan’ (mereka menyebutnya “international name”); atau
nama yang ‘ke-india-indiaan‘ (konon “kembali ke Hindu murni yang berpusat di India”)
Yang mungkin menjadi aneh bagi masyarakat di luar Bali—terutama yang pernah tinggal lama di Bali—adalah adanya kecenderungan untuk tidak menggunakan “I” atau “Ni” di depan nama, sehingga namanya menjadi: Made Joddie Sijatmika, Luh Cyntia Nugraha, Ayu Michelle Arianta, Putu Ambrose Kusuma, atau Nyoman Sri Siva Kemala Devi, Ida Bagus Krishna Aditama, Anak Agung Istri Vedayanti Uttari.
Yang tak kalah menariknya, dahulu banyak orang tua yang dipanggil dengan menggunakan nama si kecil (anaknya), misalnya: I Gede Batur yang punya anak perempuan Ni Ronji dipanggil “Pan Ronji”, dan istrinya dipanggil “Men Ronji”.
Sekarang kebalikannya; nama Ayah atau keluarga besar (biasanya yang paling terkenal) yang dijadikan nama belakang oleh si anak, atau nama suami yang dijadikan nama belakang oleh si Istri—layaknya ‘family name’ dalam budaya barat. Misalnya: Ayu Michelle Arianta di atas adalah puterinya yang terhormat bapak anggota dewan I Putu Arianta, SSos, MM. Dahulu Bali tidak mengenal istilah “nama keluarga (besar)”, sekarang kenal.
DeleteCiri khas nama orang Bali, kini, nyaris tak berbekas kecuali Putu, Wayan, Made, Nyoman, Nengah, dan Ketut yang masih digunakan, itupun tanpa “I” atau “Ni” di depannya. Konon, menurut pendapat sebagian orang, “supaya kelak si anak siap menyongsong era globalisasi.” Semoga.
4. Perubahan Bahasa
Sepuluh tahun lalu kita masih sering mendengar percakapan, di warung-warung atau terminal, yang menggunakan bahasa Bali murni tanpa dicampur dengan bahas lain. Saat ini, sulit ditemukan. Satu-satunya wilayah dimana bahasa Bali cukup sering digunakan hanya di desa-desa, itupun sudah bercampur-campur, sejak siaran sinetron TV nasional mulai merambah hingga ke pelosok-pelosok. Sebagian besar masyarakat Bali sudah lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia.
Beruntung karena sampai saat ini sekolah masih mengajarkan bahasa Bali, meskipun dalam porsi waktu yang sangat minimal.
Disamping masalah efektifitas (berbahasa Bali konon “ribet”), banyak juga yang beralasan bahwa menggunakan bahasa Indonesia bisa meminimalkan kesalahan dalam menggunakan bahasa ‘sor-madia-singgih’.
5. Perubahan Busana
Dahulu, yang namanya ‘kamen’ (kain) adalah pakaian sehari-hari. Saat ini kamen hanya digunakan dalam acar-acara tertentu seperti: persembahyangan atau upacara dan upakara adat. Selebihnya, pria dan wanita Bali sudah seperti layaknya pria dan wanita modern—memakai celana panjang atau pendek.
Dahulu, pakaian adat Bali menggunakan pakem tertentu, setiap detail pakaian mengandung makna simbolis. Sekarang, pakaian pengantin pria Bali misalnya, sudah sulit dibedakan dengan pakaian adat Sumtera yang menggunakan ‘Baju Bodo’ atau boleronya Aziz Gagap di acara OVJ. Sudah jauh dari pakem aslinya.
Perubahan ini, tentu tak lepas dari proses industrilisasi secara umum—dimana makin cepat perubahan, makin pendek siklus, makin tinggi permintaan, makin banyak yang bisa diproduksi, makin banyak uang mengalir ke dalam rekening.
6. Perubahan Makanan dan Minuman
Selera makan orang Bali juga sudah banyak mengalami perubahan. Makanan khas Bali biasanya pedas, banyak merica dan rempah. Sekarang sudah tidak ada bedanya dengan masakan jawa atau padang, cenderung manis atau sedang. Itupun belum cukup bagi masyarakat Bali saat ini; dagang bakso dan soto selalu lebih ramai dibandingkan dagang nasi lawar atau siobak Buleleng. Ini jelas representasi dari pergeseran selera makanan.
Yang namanya ‘berem’, sudah langka. Selera minum orang Bali saat ini adalah beer atau wine. Dahulu orang Bali tak kenal yang namanya ‘kebab turki’ atau ‘sashimi’. Sekarang, gerai makanan cepat saji seperti ini telah menjamur dan selalu dipadati oleh masyarakat Bali.
7. Perubahan Gaya Hidup dan Pergaulan
Mata pencaharian dan profesi yang berubah juga berakibat pada perubahan gaya hidup. Aktivitas dan kehidupan masyarakat Bali di jaman dahulu yang lebih banyak berada di sekitar desa dan balai banjar kini sudah jauh bergeser.
Atu Aji, Gung Aji dan Pak De yang dahulu selalu punya waktu untuk mekekawin di balai Banjar, kini sudah lebih sering nongkrong di “Kudeta” atau “Blue Eyes”—untuk entertain relasi bisnis. Pak Wayan, Pak Made dan Pak Ketut yang dahulu sering main Arja sekarang sudah sibuk seminar ini-itu dan sosialiasi ini-itu, untuk menggalang simpati, suara dan dukungan pileg dan pilkada.
Atu Biyang dan Bik I Luh yang dahulu sering terlihat ‘nyait tamas’, kini lebih sering pergi ke pusat-pusat perbelanjaan, butiq atau SPA. Gus Tu, Gung De dan Yan Ajus yang dahulu rajin megambel sekarang sudah lebih sering track-trackan di lapangan Renon atau balapa mobil gelap di Bypass Ngurah Rai ala film “Fast and Furious”.
8. Perubahan Orientasi dan Pola Pikir
DeleteLedakan pertumbuhan penduduk ditambah transmigran dari luar pulau, membuat kompetisi hidup di Bali menjadi semakin ketat. Diantara masalah-masalah hidup lainnya, survivalitas kini telah menjadi perioritas utama. Masyarakat Balipun tidak terkecuali.
Orang Bali dahulu, yang dikagumi oleh orang barat, menempatkan norma di atas segalanya, apa-apa menggunakan ukuran normatif, mereka memegang prinsip “lek” (malu, nggak enak), bahkan untuk mengambil sesuatu yang menjadi haknya sekalipun. Itu sebabnya orang asing senang dan percaya sepenuhnya dengan orang Bali. Bukan karena orang asingnya pelit atau memanfaatkan sifat pemalunya orang Bali jaman dahulu, melainkan karena sangat menghargai pola pikir dan orientasi orang Bali yang jauh dari ketamakan.
Orang Bali yang sekarang, cenderung pragmatis; kalau sudah urusan uang/harta tak ada istilah “lek”. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana para pedagang acung, di daerah wisata, yang kerap setengah memaksa turis untuk membeli barang dagangannya. Ada juga kasus dimana orang Bali yang dipercaya mengelola perusahaan oleh orang asing, mengambil-alih perusahaan tersebut karena namanya dipakai di dalam akte perusahaan. Contoh lainnya adalah penjualan barang-barang pusaka warisan leluhur, pencurian ‘pretima’, dan lain sebagainya.
Ada pergeseran pola pikir dan orientasi yang sangat drastis di Bali. Yang namanya ‘saling asah-asih-dan-asuh’, saat ini, hanya bisa di temukan di lontar-lontar atau acara ‘dharma wacana’ (kotbah), sulit kita temukan dalam pelaksanaan sehari-hari.
Ajakan “Lan dum pada mebedik” (=meskipun sedikit ayo kita bagi bersama) sudah kian jarang terdengar. Individualitis mendominasi kebersamaan. Keuntungan diri sendiri dan kelompok adalah segalanya. ‘Pang kuala untung’ (=yang penting untung), ‘pang kuala maan pis’ (yang penting dapat uang), ‘pang kuala menang’ (=yang penting menang), akhirnya ‘pang kuala misi kenehe’ (=yang penting segala ambisi keturutan).
Apa-apa yang penting untung. Apa-apa yang penting uang. Ketidaksanggupan ‘ngayah’ (gotong royong) misalnya, sekarang sudah bisa diganti dengan ‘dosa’ dalam bentuk uang, yang penting ‘nu maan susuk’ (=masih dapat selisih antara penghasilan dengan bayar denda). Kesibukan berupacara dan berupakara, saat ini, tidak harus mengundang banjar, sudah bisa digantikan oleh event organizer dan catering—yang penting punya uang.
Entah disadari atau tidak, kekaguman dan kepercayaan orang asing terhadap kesederhanaan pola pikir dan orientasi orang Bali saat ini, sudah jauh merosot dibandingkan dahulu. Dahulu, banyak orang asing yang mengadopsi orang Bali untuk dijadikan anak atau saudara, bahka sampai mewariskan harta bendanya. Sekarang? Jarang atau mungkin memang sudah tidak pernah ada lagi.
9. Perubahan Etika
DeleteSeiring dengan gaya hidup, orientasi, dan pola pikir, etikapun mengalami perubahan yang cukup drastis—baik dari ucapan maupun perilaku.
Figur seorang ‘guru’ (rupaka, pengajian dan wisesa) dahulu adalah sosok yang sangat dihormati di Bali, di dengarkan wejangan dan arahannya, dimanapun berada. Saat ini, sudah nyaris tanpa batas.
Guru Rupaka (ayah dan ibu) hanya terhormat bila mampu membelikan berbagai fasilitas yang diinginkan oleh anak. Guru Pengajian (guru sekolah) hanya disegani di lingkungan sekolah, di luar sekolah sudah tidak dianggap siapa-siapa. Guru Wisesa (pemerintah) hanya dihormati saat masih pegang stempel institusi—menjabat. Begitu tidak berkuasa, sudah tidak dihormati lagi.
Tentu degradasi etika ini bukan salah generasi muda semata. Bagaimanapun juga mereka banyak mencontoh perilaku sang guru. Anak-anak menjadi tidak mendengar ucapan orang tua karena acapkali ucapan ayah dan ibu tidak bisa dipegang, plin-plan dan membuat pengecualian-pengecualian untuk kenyamanan diri sendiri. Kebutuhan akan kehangatan orang tua digantikan dengan benda mati. Otonan sudah digantikan dengan hadiah pesta ulang tahun di cafe, mobil dan ticket berlibur.
Murid menjadi tak segan di luar sekolah karena para guru menempatkan anak didik bukan sebagai anak asuh, melainkan sebagai pelanggan yang membayar uang sekolah dalam jumlah tinggi.
10. Perubahan Agama
Bukan hanya bagian luar, perubahan drastis juga terjadi hingga ke bagian dalam, yaitu: agama.
Di kalangan orang Bali sendiri banyak yang mengkhawatirkan kemungkinan perubahan status Bali sebagai “pulau seribu Pura” sebentar lagi tinggal kenangan.
Ada 2 perubahan, dalam hal agama yang dianut oleh orang Bali, yang menonjol belakangan ini, yaitu:
Pertama, munculnya perbedaan sekte-sekte diantara penganut Hindu sendiri, yang kian tajam belakangan ini. Dahulu nyaris tak ada perbedaan sekte-sekte, yang ada hanya “Hindu Bali”. Kesadaran masyarakat Bali untuk konon “kembali ke Hindu murni” yang berpusat di India, justru menimbulkan sekte-sekte. Bahkan konon ada yang sampai tidak ‘mesebelan’ (berdukacita) ketika ada anggota keluarga beda sekte meninggal.
Kedua, adanya konversi orang Bali yang semula penganut Hindu ke non-Hindu yang juga massif terjadi di Bali. Konversi yang paling menonjol adalah dari Hindu ke Katolik dan Kristen. Konversi dari Hindu ke Islam pun belakangan ini juga kian meningkat—terutama melalui proses pernikahan.
Dahulu, bagi mereka yang ada di luar Bali, setiap orang yang menggunakan nama I Putu, I Gusti, Anak Agung, atau Ida Bagus, Ni Luh, Gusti Ayu, Agung Ayu, sudah pasti penganut Hindu. Saat ini? Belum tentu. Bali yang sekarang sudah sangat kompleks. Untuk melihat apa agama yang dianut oleh orang Bali masa kini, tidak cukup hanya mengetahui namanya, masih perlu melihat hal-hal lain, misalnya: apakah lengannya mengenakan benang ‘Tri Datu’ (gelang benang berwarna ‘merah-hitam-putih’)? Apakah pernah menggunakan ‘bija’ (bijih beras) di dahinya..
Sekian dan terima kasih…
Nama : Komang Nyanyi Romayanti
ReplyDeleteNim ; 120111997
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Budaya Bali adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh masyarakat Bali dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Budaya memiliki sifat yang tidak kekal, seiring perkembangan jaman suatu dapat berubah-ubah sesuai dengan pengaruh atau atau kemajuan ilmu dan teknologi. Arus perubahan tidak bisa dihindari. Seperti masyarakat di daerah lain, Bali juga mengalami perubahan, dan itu terjadi sudah sejak dahulu. Hanya saja, perubahan masyarakat Bali beberapa tahun belakangan ini tergolong drastis. Dahulu, Bali tergolong pulau agraris dimana sebagian besar masyarakatnya bertani dan berkebun. Lalu berubah menjadi pariwisata. Beberapa tahun belakangan ini, tidak lagi sekedar pariwisata, sudah bergeser menjadi multi-profesi dan multi-aktivitas.
Ada 2 faktor utama yang mendorong terjadinya perubahan drastis di Bali, belakangan ini, yaitu:
• Pengaruh global; dan
• Pengaruh nasional
Di kancah dunia, Bali tergolong salah satu tujuan wisata favorit, sejak dahulu. Disamping keindahan panorama dan kelestarian budayanya, Bali juga terkenal dengan masyarakatnya yang rata-rata kreatif dan memiliki talenta seni—mulai dari seni tari, seni tabuh, lukis, pahat (ukir dan patung) hingga seni tattoo tubuh. Saat ini, sudah banyak wisatawan yang tidak sekedar tertarik untuk menikmati indahnya Danau Batur atau melihat-lihat Gallery di Ubud, melainkan juga ingin menikmati kedamaian, bermukim dan menetap di Bali, sembari mengubah kreativitas masyarakat Bali—yang dahulunya hanya sebatas berkesenian—menjadi aktivitas bisnis. Hubungan masyarakat Bali dengan masyarakat global saat ini tidak lagi sekedar ‘guide-dan-turis’ atau ‘seniman-dan-penikmat seni’, melainkan sudah berubah menjadi hubungan antara ‘bawahan-dan-atasan’ atau ‘pedagang-dan-pelanggan’ atau ‘pebisnis-dan-partner bisnis’. Tak sedikit juga yang berupa hubungan ‘pasien-dan-dokter’ atau ‘fotografer-dan-model’ atau ‘murid-dan-guru’, bahkan ‘tetangga-dan-tetangga ekspatriat’.Perubahan frekwensi dan intensitas hubungan antara masyarakat Bali dan masyarakat global (baca: orang asing) yang kian meningkat, tidak sekedar melahirkan orang bule yang ‘ke-Bali-Balian’—dalam jumlah relative sedikit, melainkan juga melahirkan orang Bali ‘ke-bule-bule-an’ yang justru lebih banyak. Sebagai bagian dari Indonesia, Bali juga mendapat pengaruh dari perubahan-perubahan yang terjadi di tingkat nasional—teknologi, komunikasi, ekonomi, politik hingga budaya. Perubahan dari era pemerintahan Soeharto (orde baru) ke era pemerintahan pasca-Soeharto (reformasi) misalnya, membawa pengaruh kuat bagi kehidupan sosial dan politik di Bali, yang pada akhirnya mendorong terjadinya perubahan dalam berbagai aspek. Begitu banyak perubahan dalam masyarakat Bali belakangan ini. Ada perubahan yang menurut sebagian orang bisa jadi positive, ada juga yang negative. Ada perubahan yang menurut sebagian orang bisa jadi baik, ada juga yang tidak baik. Pop Bali merangkum perubahan-perubahan tersebut, per 2013 ini, menjadi sepuluh perubahan yang paling drastis sehingga sangat terasa, dan layak untuk dicatat.
Lanjutan ...
ReplyDeleteInilah “10 Perubahan Paling Drastis Dalam Masyarakat Bali Per 2013”
1. Perubahan Mata Pencaharia
Sebelum era 70an, mata pencaharian masyarakat Bali lebih banyak sebagai petani dan sebagian kecilnya pedagang. Di era 80an, mata pencaharian mulai bergeser ke pegawai pariwisata (pegawai hotel, travel, guide, sopir travel, dlsb) dan pengerajin. Belakangan ini, berbagai macam profesi di jalani oleh masyarakat Bali; mulai dari pedagang HP hingga pedagang narkoba, mulai dari pengusaha hotel hingga pengusaha café remang-remang, mulai dari calo tanah sampai calo perkara, mulai dari moderator talk show sampai key speaker seminar, mulai dari tukang parkir sampai tukang tagih (debt-collector).
Silahkan periksa status pekerjaan yang tercantum di KTP, berapa orang yang masih mencantumkan “petani”? Hanya ada di desa-desa sana, itupun mungkin jumlahnya sudah sangat sedikit.
2. Perubahan Aktivitas dan Etos Kerja
Dalam era dimana sebagian besar masyarakat berstatus petani, etos kerja masyarakat Bali mungkin terlihat lamban dan cenderung santai. Tentu saja, karena aktivitas bertani memang tidak bisa diburu-buru, semua memakai hitungan masa (misalnya: padi baru bisa dipanen setelah berusia 3 bulan, tidak bisa dipercepat). Banyaknya waktu luang inilah yang membuat masyarakat Bali, di era itu, selalu punya waktu untuk aktivitas-aktivitas berkesenian dan melestarikan budaya (misalnya: mekekawin, megeguritan, megenjekan, megambel, menari, main arja, ngerindik, meniup seruling, membaca lontar, dlsb). Sehingga bagi orang di luar Bali, etos kerja masayarakt Bali pada saat itu dianggap santai. Etos kerja masyarakat Bali saat ini sudah berubah drastis, menjadi super sibuk, “time-is-money” kata mereka. Perubahan ini tentu terjadi akibat perubahan mata pencaharian yang begitu drastis dan ledakan angkatan kerja yang mengakibatkan kempetisi menjadi begitu ketat. Libur sehari untuk menengok upacara keluarga misalnya, jatah antrean nyupir di halaman hotel sudah diambil-alih orang lain. Tutup kantor sekali, pelanggan sudah marah-marah. Sehingga, hampir sudah tidak ada waktu lagi untuk ‘menyama-braya’. Melihat orang bertegur sapa di jalanan, saat ini, adalah kejadian langka, ajaib, atau malah dipandang aneh (“terlalu basa-basi, lebian tutur,” kata mereka), kecuali di desa-desa yang jauh di kaki bukit sana.
3. Perubahan Nama
ReplyDeleteMungkin bisa diperdebatkan. Tetapi ini fakta bahwa perubahan penggunaan nama di kalangan masyarakat Bali, dewasa ini, tergolong drastis. Generasi yang lahir sebelum tahun 70an masih banyak yang menggunakan nama yang menurut masyarakat di luar Bali, unik. Disebut unik karena benar-benar hanya ada di Bali. Misalnya: I Wayan Konten, I Made Simpen, I Gede Dokar, Ni Luh Pujut, Anak Agung Gede Raka, I Putu Danu, AA Putu Keramas, Ni Nyoman Ceraki. Di Era 70-80, penamaan anak sudah mulai bergeser ke nasional, meniru nama artis ibu kota atau tokoh publik: I Gede Doni (aktor Doni Damara), I Kadek Toni (artis Toni Koeswoyo), Anak Agung Jhoni (aktor Jhoni Indo), Ida Ayu Mariana (artis Dina Mariana), I Putu Deni, I Kadek Edi, Putu Gede Budianto, dan lain sebagainya.
Sekarang, perubahan penamaan anak sangat drastis. Ada 2 trend yang paling menonjol menurut Pop Bali, yaitu:
• nama yang mengarah ke ‘kebarat-baratan’ (mereka menyebutnya “international name”); atau
• nama yang ‘ke-india-indiaan‘ (konon “kembali ke Hindu murni yang berpusat di India”)
Yang mungkin menjadi aneh bagi masyarakat di luar Bali—terutama yang pernah tinggal lama di Bali—adalah adanya kecenderungan untuk tidak menggunakan “I” atau “Ni” di depan nama, sehingga namanya menjadi: Made Joddie Sijatmika, Luh Cyntia Nugraha, Ayu Michelle Arianta, Putu Ambrose Kusuma, atau Nyoman Sri Siva Kemala Devi, Ida Bagus Krishna Aditama, Anak Agung Istri Vedayanti Uttari. Yang tak kalah menariknya, dahulu banyak orang tua yang dipanggil dengan menggunakan nama si kecil (anaknya), misalnya: I Gede Batur yang punya anak perempuan Ni Ronji dipanggil “Pan Ronji”, dan istrinya dipanggil “Men Ronji”. Sekarang kebalikannya; nama Ayah atau keluarga besar (biasanya yang paling terkenal) yang dijadikan nama belakang oleh si anak, atau nama suami yang dijadikan nama belakang oleh si Istri—layaknya ‘family name’ dalam budaya barat. Misalnya: Ayu Michelle Arianta di atas adalah puterinya yang terhormat bapak anggota dewan I Putu Arianta, SSos, MM. Dahulu Bali tidak mengenal istilah “nama keluarga (besar)”, sekarang kenal. Ciri khas nama orang Bali, kini, nyaris tak berbekas kecuali Putu, Wayan, Made, Nyoman, Nengah, dan Ketut yang masih digunakan, itupun tanpa “I” atau “Ni” di depannya. Konon, menurut pendapat sebagian orang, “supaya kelak si anak siap menyongsong era globalisasi.” Semoga.
4. Perubahan Bahasa
Sepuluh tahun lalu kita masih sering mendengar percakapan, di warung-warung atau terminal, yang menggunakan bahasa Bali murni tanpa dicampur dengan bahas lain. Saat ini, sulit ditemukan. Satu-satunya wilayah dimana bahasa Bali cukup sering digunakan hanya di desa-desa, itupun sudah bercampur-campur, sejak siaran sinetron TV nasional mulai merambah hingga ke pelosok-pelosok. Sebagian besar masyarakat Bali sudah lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia. Beruntung karena sampai saat ini sekolah masih mengajarkan bahasa Bali, meskipun dalam porsi waktu yang sangat minimal. Disamping masalah efektifitas (berbahasa Bali konon “ribet”), banyak juga yang beralasan bahwa menggunakan bahasa Indonesia bisa meminimalkan kesalahan dalam menggunakan bahasa ‘sor-madia-singgih’.
5. Perubahan Busana
Dahulu, yang namanya ‘kamen’ (kain) adalah pakaian sehari-hari. Saat ini kamen hanya digunakan dalam acar-acara tertentu seperti: persembahyangan atau upacara dan upakara adat. Selebihnya, pria dan wanita Bali sudah seperti layaknya pria dan wanita modern—memakai celana panjang atau pendek. Dahulu, pakaian adat Bali menggunakan pakem tertentu, setiap detail pakaian mengandung makna simbolis. Sekarang, pakaian pengantin pria Bali misalnya, sudah sulit dibedakan dengan pakaian adat Sumtera yang menggunakan ‘Baju Bodo’ atau boleronya Aziz Gagap di acara OVJ. Sudah jauh dari pakem aslinya.
Perubahan ini, tentu tak lepas dari proses industrilisasi secara umum—dimana makin cepat perubahan, makin pendek siklus, makin tinggi permintaan, makin banyak yang bisa diproduksi, makin banyak uang mengalir ke dalam rekening.
6. Perubahan Makanan dan Minuman
ReplyDeleteSelera makan orang Bali juga sudah banyak mengalami perubahan. Makanan khas Bali biasanya pedas, banyak merica dan rempah. Sekarang sudah tidak ada bedanya dengan masakan jawa atau padang, cenderung manis atau sedang. Itupun belum cukup bagi masyarakat Bali saat ini; dagang bakso dan soto selalu lebih ramai dibandingkan dagang nasi lawar atau siobak Buleleng. Ini jelas representasi dari pergeseran selera makanan.
Yang namanya ‘berem’, sudah langka. Selera minum orang Bali saat ini adalah beer atau wine. Dahulu orang Bali tak kenal yang namanya ‘kebab turki’ atau ‘sashimi’. Sekarang, gerai makanan cepat saji seperti ini telah menjamur dan selalu dipadati oleh masyarakat Bali.
7. Perubahan Gaya Hidup dan Pergaulan
Mata pencaharian dan profesi yang berubah juga berakibat pada perubahan gaya hidup. Aktivitas dan kehidupan masyarakat Bali di jaman dahulu yang lebih banyak berada di sekitar desa dan balai banjar kini sudah jauh bergeser. Atu Aji, Gung Aji dan Pak De yang dahulu selalu punya waktu untuk mekekawin di balai Banjar, kini sudah lebih sering nongkrong di “Kudeta” atau “Blue Eyes”—untuk entertain relasi bisnis. Pak Wayan, Pak Made dan Pak Ketut yang dahulu sering main Arja sekarang sudah sibuk seminar ini-itu dan sosialiasi ini-itu, untuk menggalang simpati, suara dan dukungan pileg dan pilkada. Atu Biyang dan Bik I Luh yang dahulu sering terlihat ‘nyait tamas’, kini lebih sering pergi ke pusat-pusat perbelanjaan, butiq atau SPA. Gus Tu, Gung De dan Yan Ajus yang dahulu rajin megambel sekarang sudah lebih sering track-trackan di lapangan Renon atau balapa mobil gelap di Bypass Ngurah Rai ala film “Fast and Furious”.
8. Perubahan Orientasi dan Pola Pikir
ReplyDeleteLedakan pertumbuhan penduduk ditambah transmigran dari luar pulau, membuat kompetisi hidup di Bali menjadi semakin ketat. Diantara masalah-masalah hidup lainnya, survivalitas kini telah menjadi perioritas utama. Masyarakat Balipun tidak terkecuali. Orang Bali dahulu, yang dikagumi oleh orang barat, menempatkan norma di atas segalanya, apa-apa menggunakan ukuran normatif, mereka memegang prinsip “lek” (malu, nggak enak), bahkan untuk mengambil sesuatu yang menjadi haknya sekalipun. Itu sebabnya orang asing senang dan percaya sepenuhnya dengan orang Bali. Bukan karena orang asingnya pelit atau memanfaatkan sifat pemalunya orang Bali jaman dahulu, melainkan karena sangat menghargai pola pikir dan orientasi orang Bali yang jauh dari ketamakan.
Orang Bali yang sekarang, cenderung pragmatis; kalau sudah urusan uang/harta tak ada istilah “lek”. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana para pedagang acung, di daerah wisata, yang kerap setengah memaksa turis untuk membeli barang dagangannya. Ada juga kasus dimana orang Bali yang dipercaya mengelola perusahaan oleh orang asing, mengambil-alih perusahaan tersebut karena namanya dipakai di dalam akte perusahaan. Contoh lainnya adalah penjualan barang-barang pusaka warisan leluhur, pencurian ‘pretima’, dan lain sebagainya. Ada pergeseran pola pikir dan orientasi yang sangat drastis di Bali. Yang namanya ‘saling asah-asih-dan-asuh’, saat ini, hanya bisa di temukan di lontar-lontar atau acara ‘dharma wacana’ (kotbah), sulit kita temukan dalam pelaksanaan sehari-hari. Ajakan “Lan dum pada mebedik” (=meskipun sedikit ayo kita bagi bersama) sudah kian jarang terdengar. Individualitis mendominasi kebersamaan. Keuntungan diri sendiri dan kelompok adalah segalanya. ‘Pang kuala untung’ (=yang penting untung), ‘pang kuala maan pis’ (yang penting dapat uang), ‘pang kuala menang’ (=yang penting menang), akhirnya ‘pang kuala misi kenehe’ (=yang penting segala ambisi keturutan).
Apa-apa yang penting untung. Apa-apa yang penting uang. Ketidaksanggupan ‘ngayah’ (gotong royong) misalnya, sekarang sudah bisa diganti dengan ‘dosa’ dalam bentuk uang, yang penting ‘nu maan susuk’ (=masih dapat selisih antara penghasilan dengan bayar denda). Kesibukan berupacara dan berupakara, saat ini, tidak harus mengundang banjar, sudah bisa digantikan oleh event organizer dan catering—yang penting punya uang. Entah disadari atau tidak, kekaguman dan kepercayaan orang asing terhadap kesederhanaan pola pikir dan orientasi orang Bali saat ini, sudah jauh merosot dibandingkan dahulu. Dahulu, banyak orang asing yang mengadopsi orang Bali untuk dijadikan anak atau saudara, bahka sampai mewariskan harta bendanya. Sekarang? Jarang atau mungkin memang sudah tidak pernah ada lagi.
9. Perubahan Etika
ReplyDeleteSeiring dengan gaya hidup, orientasi, dan pola pikir, etikapun mengalami perubahan yang cukup drastis—baik dari ucapan maupun perilaku. Figur seorang ‘guru’ (rupaka, pengajian dan wisesa) dahulu adalah sosok yang sangat dihormati di Bali, di dengarkan wejangan dan arahannya, dimanapun berada. Saat ini, sudah nyaris tanpa batas.Guru Rupaka (ayah dan ibu) hanya terhormat bila mampu membelikan berbagai fasilitas yang diinginkan oleh anak. Guru Pengajian (guru sekolah) hanya disegani di lingkungan sekolah, di luar sekolah sudah tidak dianggap siapa-siapa. Guru Wisesa (pemerintah) hanya dihormati saat masih pegang stempel institusi—menjabat. Begitu tidak berkuasa, sudah tidak dihormati lagi. Tentu degradasi etika ini bukan salah generasi muda semata. Bagaimanapun juga mereka banyak mencontoh perilaku sang guru. Anak-anak menjadi tidak mendengar ucapan orang tua karena acapkali ucapan ayah dan ibu tidak bisa dipegang, plin-plan dan membuat pengecualian-pengecualian untuk kenyamanan diri sendiri. Kebutuhan akan kehangatan orang tua digantikan dengan benda mati. Otonan sudah digantikan dengan hadiah pesta ulang tahun di cafe, mobil dan ticket berlibur. Murid menjadi tak segan di luar sekolah karena para guru menempatkan anak didik bukan sebagai anak asuh, melainkan sebagai pelanggan yang membayar uang sekolah dalam jumlah tinggi.
10. Perubahan Agama
Bukan hanya bagian luar, perubahan drastis juga terjadi hingga ke bagian dalam, yaitu: agama. Di kalangan orang Bali sendiri banyak yang mengkhawatirkan kemungkinan perubahan status Bali sebagai “pulau seribu Pura” sebentar lagi tinggal kenangan. Ada 2 perubahan, dalam hal agama yang dianut oleh orang Bali, yang menonjol belakangan ini, yaitu:
• Pertama, munculnya perbedaan sekte-sekte diantara penganut Hindu sendiri, yang kian tajam belakangan ini. Dahulu nyaris tak ada perbedaan sekte-sekte, yang ada hanya “Hindu Bali”. Kesadaran masyarakat Bali untuk konon “kembali ke Hindu murni” yang berpusat di India, justru menimbulkan sekte-sekte. Bahkan konon ada yang sampai tidak ‘mesebelan’ (berdukacita) ketika ada anggota keluarga beda sekte meninggal.
• Kedua, adanya konversi orang Bali yang semula penganut Hindu ke non-Hindu yang juga massif terjadi di Bali. Konversi yang paling menonjol adalah dari Hindu ke Katolik dan Kristen. Konversi dari Hindu ke Islam pun belakangan ini juga kian meningkat—terutama melalui proses pernikahan.
Dahulu, bagi mereka yang ada di luar Bali, setiap orang yang menggunakan nama I Putu, I Gusti, Anak Agung, atau Ida Bagus, Ni Luh, Gusti Ayu, Agung Ayu, sudah pasti penganut Hindu. Saat ini? Belum tentu. Bali yang sekarang sudah sangat kompleks. Untuk melihat apa agama yang dianut oleh orang Bali masa kini, tidak cukup hanya mengetahui namanya, masih perlu melihat hal-hal lain, misalnya: apakah lengannya mengenakan benang ‘Tri Datu’ (gelang benang berwarna ‘merah-hitam-putih’)? Apakah pernah menggunakan ‘bija’ (bijih beras) di dahinya? Itulah sepuluh perubahan paling drastis, dalam masyarakat Bali per 2013 ini, yang berhasil dirangkum dan dicatat oleh Pop Bali. Apakah itu perubahan positive atau negative? Apakah perlu dikoreksi atau tidak.
Thanks
KETUT MURNI
ReplyDelete12.01.1.1.964
Semester VI (reguler)
1. Pengertian Budaya Orang Bali
Bali berasal dari kata “Bal” dalam bahasa Sansekerta berarti “Kekuatan”, dan “Bali” berarti “Pengorbanan” yang berarti supaya kita tidak melupakan kekuatan kita. Supaya kita selalu siap untuk berkorban. Bali mempunyai 2 pahlawan nasional yang sangat berperan dalam mempertahankan daerahnya yaitu I Gusti Ngurah Rai dan I Gusti Ketut Jelantik.
Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui adanya perbedaaan ( rwa bhineda ), yang sering ditentukan oleh faktor ruang ( desa ), waktu ( kala ) dan kondisi riil di lapangan (patra ). Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh kebudayaan luar. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa komunikasi dan interaksi antara kebudayaan Bali dan budaya luar seperti India (Hindu), Cina, dan Barat khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan kreatifitas baru dalam seni rupa maupun seni pertunjukkan. Tema-tema dalam seni lukis, seni rupa dan seni pertunjukkan banyak dipengaruhi oleh budaya India. Demikian pula budaya Cina dan Barat/Eropa memberi nuansa batu pada produk seni di Bali. Proses akulturasi tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan adaptif khususnya dalam kesenian sehingga tetap mampu bertahan dan tidak kehilangan jati diri (Mantra 1996).
Kebudayaan Bali sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi mengenai hubungan manusia dengan Tuhan ( parhyangan ), hubungan sesama manusia (pawongan ), dan hubungan manusia dengan lingkungan ( palemahan ), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan). Apabila manusia mampu menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis dengan ketiga aspek tersebut maka kesejahteraan akan terwujud.
Selain nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi, dalam kebudayaan Bali juga dikenal adanya konsep tri semaya yakni persepsi orang Bali terhadap waktu. Menurut orang Bali masa lalu (athita ), masa kini ( anaghata ) dan masa yang akan datang ( warthamana ) merupakan suatu rangkaian waktu yang tidak dapt dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan manusia pada saat ini ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini juga menentukan kehidupan di masa yang akan datang. Dalam ajaran hukum karma phaladisebutkan tentang sebab-akibat dari suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil yang baik. Demikian pula seBaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya juga buruk atau tidak baik bagi yang bersangkutan
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteUnsur – Unsur Budaya
ReplyDeleteBahasa
Bahasa Bali adalah sebuah bahasa Austronesia dari cabang Sundik dan lebih spesifik dari anak cabang Bali-Sasak. Bahasa ini terutama dipertuturkan di pulau Bali, pulau Lombok bagian barat, dan sedikit di ujung timur pulau Jawa. Di Bali sendiri Bahasa Bali memiliki tingkatan penggunaannya, misalnya ada yang disebut Bali Alus, Bali Madya dan Bali Kasar. Yang halus dipergunakan untuk bertutur formal misalnya dalam pertemuan di tingkat desa adat, meminang wanita, atau antara orang berkasta rendah dengan berkasta lebih tinggi. Yang madya dipergunakan di tingkat masyarakat menengah misalnya pejabat dengan bawahannya, sedangkan yang kasar dipergunakan bertutur oleh orang kelas rendah misalnya kaum sudra atau antara bangsawan dengan abdi dalemnya, Di Lombok bahasa Bali terutama dipertuturkan di sekitar kota Mataram, sedangkan di pulau Jawa bahasa Bali terutama dipertuturkan di beberapa desa di kabupaten Banyuwangi. Selain itu bahasa Osing, sebuah dialek Jawa khas Banyuwangi, juga menyerap banyak kata-kata Bali. Misalkan sebagai contoh kata osing yang berarti “tidak” diambil dari bahasa Bali tusing. Bahasa Bali dipertuturkan oleh kurang lebih 4 juta jiwa.
Teknologi
Masyarakat Bali telah mengenal dan berkembang system pengairan yaitu system subak yang mengatur pengairan dan penanaman di sawah-sawah. Dan mereka juga sudah mengenal arsitektur yang mengatur tata letak ruangan dan bangunan yang menyerupai bangunan Feng Shui. Arsitektur merupakan ungkapan perlambang komunikatif dan edukatif. Bali juga memiliki senjata tradisional yaitu salah satunya keris. Selain untuk membela diri, menurut kepercayaan bila keris pusaka direndam dalam air putih dapat menyembuhkan orang yang terkena gigitan binatang berbisa.
Kesenian
Bukan hanya keindahan alamnya saja yang menarik dari Bali, namun keagungan tradisi masyarakatnya juga banyak menarik bahkan banyak dikaji oleh orang-orang diluar Bali. Sebagaimana diketahui Bali memang kaya akan berbagai kesenian tradisional, pakaian adat, bahasa, dan tradisi keagamaan yang mewarnai realitas kehidupan masyarakat Bali. Ialah Tari Barong dan Tari Kecak yang menjadi salah satu tarian tradisional khas Bali yang sudah terkenal kemana-mana.
Apa menariknya dari kedua tarian ini? Kedua tarian ini bisa dikata sebagai ikon kesenian tradisional Bali yang diangkat ke level nasional bahkan internasional. Seringkali kedua tarian ini dijadikan sebagai media promosi efektif paket-paket wisata di Bali oleh berbagai agen dan biro perjalanan wisata. Bahkan hampir seluruh agen maupun biro perjalanan wisata ke Bali selalu mengajak tamunya untuk menyaksikan Tari Barong dan Tari Kecak ini.
Religi
Agama yang di anut oleh sebagian orang Bali adalah agama Hindu sekitar 95%, dari jumlah penduduk Bali, sedangkan sisanya 5% adalah penganut agama Islam, Kristen, Katholik, Budha, dan Kong Hu Cu. Tujuan hidup ajaran Hindu adalah untuk mencapai keseimbangan dan kedamaian hidup lahir dan batin.orang Hindu percaya adanya 1 Tuhan dalam bentuk konsep Trimurti, yaitu wujud Brahmana (sang pencipta), wujud Wisnu (sang pelindung dan pemelihara), serta wujud Siwa (sang perusak). Tempat beribadah dibali disebut pura. Tempat-tempat pemujaan leluhur disebut sangga. Kitab suci agama Hindu adalah weda yang berasal dari India.
Lanjutan.....
ReplyDeleteBahasa
Bahasa bali terdiri dari 3 bahasa , yaitu bahasa bali alus (utama), bahasa bali madya, bahasa bali kasar(nista).
Contoh dari bahasa bali dari “makan” untuk ketiga bahasa tersebut dimulai dari yang paling halus adalah Ngiunan, Ngajeng, Medar.
Ketiga bahasa tersebut merupakan faktor penting pembeda antara satu kasta dengan yang lainnya. Karena, bahasa alus (utama) biasanya dipakai oleh kaum Brahmana, bahasa madya dipakai oleh Ksatria dan Waisya, dan bahasa bali kasar umumnya dipakai oleh kaum Sudra.
Ke masyarakatan
Lembaga kemasyarakatan pada masyarakat Bali adalah bersifat tradisional, yaitu Desa, Banjar, Subak dan Sekeha. Bentuk lembaga masyarakat tradisional yang berdasarkan satu kesatuan wilayah disebut Desa. Konsep Desa memiliki pengertian pada Desa Adat dan Desa Dinas. Desa Adat merupakan satu kesatuan masyarakat hubungan adat di daerah Bali yang mempunyai kesatuan tradisi dan tata karma pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga, yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan tersendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Sedangkan Desa Dinas adalah satu kesatuan wilayah administratif di bawah wilayah Kecamatan.
lanjutan.....
ReplyDelete2. Analisis dengan Era Kini
Tak di pungkiri lagi bahwa waktu mengubah segalanya, jaman akan terus berputar dari masa lampau, masa kini dan masa akan datang. Peradaban manusiapun di masyarakat akan ikut mengalami perubahan seiring perkembangan jaman yang datang mempengaruhi secara perlahan, mengubah tiap unsur-unsur budaya dan kehidupan dalam bermasyarakat.
Dahulu, Bali tergolong pulau agraris dimana sebagian besar masyarakatnya bertani dan berkebun. Lalu berubah menjadi pariwisata. Beberapa tahun belakangan ini, tidak lagi sekedar pariwisata, sudah bergeser menjadi multi-profesi dan multi-aktivitas.
Ada 2 faktor utama yang mendorong terjadinya perubahan drastis di Bali, belakangan ini, yaitu: Pengaruh global dan Pengaruh nasional
Di kancah dunia, Bali tergolong salah satu tujuan wisata favorit, sejak dahulu. Disamping keindahan panorama dan kelestarian budayanya, Bali juga terkenal dengan masyarakatnya yang rata-rata kreatif dan memiliki talenta seni mulai dari seni tari, seni tabuh, lukis, pahat (ukir dan patung) hingga seni tattoo tubuh. Lengkap.
Begitu banyak perubahan dalam masyarakat Bali belakangan ini. Ada perubahan yang menurut sebagian orang bisa jadi positive, ada juga yang negative. Ada perubahan yang menurut sebagian orang bisa jadi baik, ada juga yang tidak baik.
Perubahan-perubahan Budaya Bali diantaranya:
1. Perubahan mata pencaharian
2. Perubahan aktivitas dan etos kerja
3. Perubahan nama
4. Perubahan bahasa
5. Perubahan busana
6. Perubahan makanan dan minuman
7. Perubahan gaya hidup dan pergaulan
8. Perubahan orientasi dan pola pikir
9. Perubahan etika
10. Perubahan agama
Menurut saya perubahan Budaya sah-sah saja selama itu tidak mengurangi nilai Budaya itu sendiri maupun tidak membuat Budaya itu bernilai negatif. Karena yang kekal adalah perubahan sesuai dengan waktu, tempat dan kenyataan riil saat ini. Yang sangat saya tidak setuju adalah ketika budaya tidak dilestarikan dengan baik atau malah membawa nilai budaya menjadi negaif. Seperti yang sedang marak adalah tarian Joget, kini tarian joget semakin vulgar. Dan pakaian yang digunakan justru pakaian adat Bali. Itu salah satu contoh perubahan budaya yang negatif. Tarian seperti itu di share ke public sehingga bisa di tonton oleh orang banyak. Dan orang-orang disana terlihat bangga ketika menonton tarian joget yang vulgar seperti itu, bahkan anak kecil pun tidak dilarang untuk menonton adegang yang tidak layak di tonton oleh anak kecil. Namun terlepas dari itu semua, untungnya masih banyak budaya-budaya yang positif, yang masih menjadi daya tarik dari Bali meskipun sedikit mengalami perubahan dari Bali tempo dulu.
Sekian pendapat saya, terima kasih.
Nama : Putu Bambang Wiratama
ReplyDeleteNim : 12.01.1.1.998
Semester : VI (Reguler Sore)
Pengertian Budaya orang Bali
Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui adanya perbedaaan ( rwa bhineda ), yang sering ditentukan oleh faktor ruang ( desa ), waktu ( kala ) dan kondisi riil di lapangan ( patra ). Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh kebudayaan luar. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa komunikasi dan interaksi antara kebudayaan Bali dan budaya luar seperti India (Hindu), Cina, dan Barat khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan kreatifitas baru dalam seni rupa maupun seni pertunjukkan. Tema-tema dalam seni lukis, seni rupa dan seni pertunjukkan banyak dipengaruhi oleh budaya India. Demikian pula budaya Cina dan Barat/Eropa memberi nuansa batu pada produk seni di Bali. Proses akulturasi tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan adaptif khususnya dalam kesenian sehingga tetap mampu bertahan dan tidak kehilangan jati diri (Mantra 1996).
Kebudayaan Bali sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi mengenai hubungan manusia dengan Tuhan ( parhyangan ), hubungan sesama manusia ( pawongan ), dan hubungan manusia dengan lingkungan ( palemahan ), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan). Apabila manusia mampu menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis dengan ketiga aspek tersebut maka kesejahteraan akan terwujud.
Nama : Putu Bambang Wiratama
ReplyDeleteNim : 12.01.1.1.998
Semester : VI (Reguler Sore)
Selain nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi, dalam kebudayaan Bali juga dikenal adanya konsep tri semaya yakni persepsi orang Bali terhadap waktu. Menurut orang Bali masa lalu ( athita ), masa kini ( anaghata ) dan masa yang akan datang ( warthamana ) merupakan suatu rangkaian waktu yang tidak dapt dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan manusia pada saat ini ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini juga menentukan kehidupan di masa yang akan datang. Dalam ajaran hukum karma phala disebutkan tentang sebab-akibat dari suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil yang baik. Demikian pula seBaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya juga buruk atau tidak baik bagi yang bersangkutan.
Kebudayaan Bali juga memiliki identitas yang jelas yaitu budaya ekspresif yang termanifestasi secara konfiguratif yang emncakup nilai-nilai dasar yang dominan sepert: nilai religius, nilai estetika, nilai solidaritas, nilai harmoni, dan nilai keseimbangan (Geriya 2000: 129). Kelima nilai dasar tersebut ditengarai mampu bertahan dan berlanjut menghadapi berbagai tantangan.
Ketahanan budaya Bali juga ditentukan oleh sistem sosial yang terwu2. Analisis budaya bali zaman dulu dan kini
Bali yang kini menjelma menjadi Bali yang modern pasti berawal dari Bali masa Kuno,Bali yang lampau yang sebenarnya masih bisa kita nikmati kini kalau kita bisa menghormati dan melestarikan akar budaya tersebut. Bali tidak tiba-tiba menjadi sebuah pulau gemerlap nan modern seperti masa kini, tetapi Bali bermula dari suatu sejarah kebudayaan lampau yang setidaknya harus kita hormati karena bagian dari kekayaan budaya negara kita Indonesia.
Nama : Putu Bambang Wiratama
ReplyDeleteNim : 12.01.1.1.998
Semester : VI (Reguler Sore)
Arus perubahan tidak bisa dihindari. Seperti masyarakat di daerah lain, Bali juga mengalami perubahan, dan itu terjadi sudah sejak dahulu. Hanya saja, perubahan masyarakat Bali beberapa tahun belakangan ini tergolong drastis.
Dahulu, Bali tergolong pulau agraris dimana sebagian besar masyarakatnya bertani dan berkebun. Lalu berubah menjadi pariwisata. Beberapa tahun belakangan ini, tidak lagi sekedar pariwisata, sudah bergeser menjadi multi-profesi dan multi-aktivitas.
Ada 2 faktor utama yang mendorong terjadinya perubahan drastis di Bali, belakangan ini, yaitu:
• Pengaruh global; dan
• Pengaruh nasional
Di kancah dunia, Bali tergolong salah satu tujuan wisata favorit, sejak dahulu. Disamping keindahan panorama dan kelestarian budayanya, Bali juga terkenal dengan masyarakatnya yang rata-rata kreatif dan memiliki talenta seni—mulai dari seni tari, seni tabuh, lukis, pahat (ukir dan patung) hingga seni tattoo tubuh. Lengkap.
Saat ini, sudah banyak wisatawan yang tidak sekedar tertarik untuk menikmati indahnya Danau Batur atau melihat-lihat Gallery di Ubud, melainkan juga ingin menikmati kedamaian, bermukim dan menetap di Bali, sembari mengubah kreativitas masyarakat Bali—yang dahulunya hanya sebatas berkesenian—menjadi aktivitas bisnis.wujud dalam berbagai bentuk lembaga tradisional seperti banjar, desa adat, subak (organisasi pengairan), sekaa (perkumpulan), dan dadia (klen). Keterikatan orang Bali terhadap lembaga-lembaga tradisional tersebut baik secara sukarela maupun wajib, telah mampu berfungsi secara struktural bagi ketahanan budaya Bali. Menurut Geertz (1959) orang Bali sangat terikat oleh beberapa lembaga sosial seperti tersebut di atas. Lembaga tradisional seperti desa adat dianggap benteng terakhir dari kebertahanan budaya Bali.
2. Perubahan Nama
Mungkin bisa diperdebatkan. Tetapi ini fakta bahwa perubahan penggunaan nama di kalangan masyarakat Bali, dewasa ini, tergolong drastis.
Generasi yang lahir sebelum tahun 70an masih banyak yang menggunakan nama yang menurut masyarakat di luar Bali, unik. Disebut unik karena benar-benar hanya ada di Bali. Misalnya: I Wayan Konten, I Made Simpen, I Gede Dokar, Ni Luh Pujut, Anak Agung Gede Raka, I Putu Danu, AA Putu Keramas, Ni Nyoman Ceraki.
Di Era 70-80, penamaan anak sudah mulai bergeser ke nasional, meniru nama artis ibu kota atau tokoh publik: I Gede Doni (aktor Doni Damara), I Kadek Toni (artis Toni Koeswoyo), Anak Agung Jhoni (aktor Jhoni Indo), Ida Ayu Mariana (artis Dina Mariana), I Putu Deni, I Kadek Edi, Putu Gede Budianto, dan lain sebagainya.
Sekarang, perubahan penamaan anak sangat drastis. Ada 2 trend yang paling menonjol menurut Pop Bali, yaitu:
• nama yang mengarah ke ‘kebarat-baratan’ (mereka menyebutnya “international name”); atau
• nama yang ‘ke-india-indiaan‘ (konon “kembali ke Hindu murni yang berpusat di India”)
Yang mungkin menjadi aneh bagi masyarakat di luar Bali terutama yang pernah tinggal lama di Bali adalah adanya kecenderungan untuk tidak menggunakan “I” atau “Ni” di depan nama, sehingga namanya menjadi: Made Joddie Sijatmika, Luh Cyntia Nugraha, Ayu Michelle Arianta, Putu Ambrose Kusuma, atau Nyoman Sri Siva Kemala Devi, Ida Bagus Krishna Aditama, Anak Agung Istri Vedayanti Uttari.
Yang tak kalah menariknya, dahulu banyak orang tua yang dipanggil dengan menggunakan nama si kecil (anaknya), misalnya: I Gede Batur yang punya anak perempuan Ni Ronji dipanggil “Pan Ronji”, dan istrinya dipanggil “Men Ronji”.
Nama : Putu Bambang Wiratama
ReplyDeleteNim : 12.01.1.1.998
Semester : VI (Reguler Sore)
Sekarang kebalikannya; nama Ayah atau keluarga besar (biasanya yang paling terkenal) yang dijadikan nama belakang oleh si anak, atau nama suami yang dijadikan nama belakang oleh si Istri layaknya ‘family name’ dalam budaya barat. Misalnya: Ayu Michelle Arianta di atas adalah puterinya yang terhormat bapak anggota dewan I Putu Arianta, SSos, MM. Dahulu Bali tidak mengenal istilah “nama keluarga (besar)”, sekarang kenal.
Ciri khas nama orang Bali, kini, nyaris tak berbekas kecuali Putu, Wayan, Made, Nyoman, Nengah, dan Ketut yang masih digunakan, itupun tanpa “I” atau “Ni” di depannya. Konon, menurut pendapat sebagian orang, “supaya kelak si anak siap menyongsong era globalisasi.”
3. Ogoh-ogoh
Ogoh-ogoh merupakan karya seni patung dalam kebudayaan Bali. Budaya Ogoh-ogoh ini tetap bertahan hingga saat ini. Ogoh-ogoh ini kebudayaan yang menggambarkan kepribadian “Bhuta Kala” dan sudah menjadi ikon ritual yang secara tradisi sangat penting dalam penyambutan Hari Raya Nyepi atau Tahun Baru Saka. Seluruh umat Hindu Dharma akan bersukaria menyambut kehadiran tahun baru itu dengan mengarak-arakan “ogoh-ogoh” yang dibarengi dengan perenungan tentang yang telah terjadi dan sudah dilakukan selama ini pada saat “Pangerupukan” atau sehari setelah menjelang Hari Raya Nyepi, peristiwa dan prosesinya setiap tahunnya sama yaitu pada setiap banjar membuat ogoh-ogoh.
Mengingat pentingnya Budaya ogoh-ogoh ini, sampai sekarang masih tetap bertahan dan lestari. Disamping itu dengan keberadaan arak-arakan “Ogoh-ogoh” yang sudah menjadi tradisi inilah yang menambah daya tarik wisata. Balipun memiliki budaya yang menjadi salah satu andalan kepariwisataan.
Nama : Putu Bambang Wiratama
ReplyDeleteNim : 12.01.1.1.998
Semester : VI (Reguler Sore)
4. Tradisi Omed-omedan
Tradisi omed-omedan merupakan warisan nenek moyang sejak dulu dan dilakukan secara turun temurun. Dahulu, omed-omedan hanya dilakukan hanya dengan tarik-tarikan, perkembangan jaman yang pesat lalu berubah ada ciuman. Pada saat sedang berciuman, air diguyur agar peserta tidak kepanasan dan ciumannya tidak menjadi lebih lama. Tradisi omed-omedan ini, dilakukan oleh dua kelompok yakni muda dan mudi. Pemuda berdiri membentuk barisan ke belakang dan saling berpelukan pada pinggang orang yang di depan. Demikian pula dengan kelompok pemudi. Jumlahnya tidak dibatasi. Pada saat dikasih aba-aba maka kelompok dua kelompok ini saling tarik menarik ke belakang, bertumpuh pada kaki dengan lengan di pingggang. Orang yang mengambil posisi di depan harus mampu berjalan ke depan sementara yang lain menarik berlawanan ke belakang. Saat orang yang di depan berhasil maju ke depan bertemu, disaat itulah keduanya berpelukan dan berciuman.
Nama : Luh Wiruspandi
ReplyDeleteNim : 12.01.1.1.1047
semester : VI
Manajemen/Executif
Dahulu, Bali tergolong pulau agraris dimana sebagian besar masyarakatnya bertani dan berkebun. Lalu berubah menjadi pariwisata. Beberapa tahun belakangan ini, tidak lagi sekedar pariwisata, sudah bergeser menjadi multi-profesi dan multi-aktivitas.
Ada 2 faktor utama yang mendorong terjadinya perubahan drastis di Bali, belakangan ini, yaitu:
• Pengaruh global; dan
• Pengaruh nasional
Di kancah dunia, Bali tergolong salah satu tujuan wisata favorit, sejak dahulu. Disamping keindahan panorama dan kelestarian budayanya, Bali juga terkenal dengan masyarakatnya yang rata-rata kreatif dan memiliki talenta seni—mulai dari seni tari, seni tabuh, lukis, pahat (ukir dan patung) hingga seni tattoo tubuh. Lengkap.
Saat ini, sudah banyak wisatawan yang tidak sekedar tertarik untuk menikmati indahnya Danau Batur atau melihat-lihat Gallery di Ubud, melainkan juga ingin menikmati kedamaian, bermukim dan menetap di Bali, sembari mengubah kreativitas masyarakat Bali—yang dahulunya hanya sebatas berkesenian—menjadi aktivitas bisnis.
Hubungan masyarakat Bali dengan masyarakat global saat ini tidak lagi sekedar ‘guide-dan-turis’ atau ‘seniman-dan-penikmat seni’, melainkan sudah berubah menjadi hubungan antara ‘bawahan-dan-atasan’ atau ‘pedagang-dan-pelanggan’ atau ‘pebisnis-dan-partner bisnis’. Tak sedikit juga yang berupa hubungan ‘pasien-dan-dokter’ atau ‘fotografer-dan-model’ atau ‘murid-dan-guru’, bahkan ‘tetangga-dan-tetangga ekspatriat’.
Perubahan frekwensi dan intensitas hubungan antara masyarakat Bali dan masyarakat global (baca: orang asing) yang kian meningkat, tidak sekedar melahirkan orang bule yang ‘ke-Bali-Balian’—dalam jumlah relative sedikit, melainkan juga melahirkan orang Bali ‘ke-bule-bule-an’ yang justru lebih banyak.
Sebagai bagian dari Indonesia, Bali juga mendapat pengaruh dari perubahan-perubahan yang terjadi di tingkat nasional—teknologi, komunikasi, ekonomi, politik hingga budaya. Perubahan dari era pemerintahan Soeharto (orde baru) ke era pemerintahan pasca-Soeharto (reformasi) misalnya, membawa pengaruh kuat bagi kehidupan sosial dan politik di Bali, yang pada akhirnya mendorong terjadinya perubahan dalam berbagai aspek.
Begitu banyak perubahan dalam masyarakat Bali belakangan ini. Ada perubahan yang menurut sebagian orang bisa jadi positive, ada juga yang negative. Ada perubahan yang menurut sebagian orang bisa jadi baik, ada juga yang tidak baik.
terima kasih.
nama: rudy
ReplyDeletenim: 12.01.1.1046
jur: manajemen esekutif
1. Pengertian Budaya Orang Bali
Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui adanya perbedaaan ( rwa bhineda ), yang sering ditentukan oleh faktor ruang ( desa ), waktu ( kala ) dan kondisi riil di lapangan (patra ). Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh kebudayaan luar. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa komunikasi dan interaksi antara kebudayaan Bali dan budaya luar seperti India (Hindu), Cina, dan Barat khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan kreatifitas baru dalam seni rupa maupun seni pertunjukkan. Tema-tema dalam seni lukis, seni rupa dan seni pertunjukkan banyak dipengaruhi oleh budaya India. Demikian pula budaya Cina dan Barat/Eropa memberi nuansa batu pada produk seni di Bali. Proses akulturasi tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan adaptif khususnya dalam kesenian sehingga tetap mampu bertahan dan tidak kehilangan jati diri.
Kebudayaan Bali sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi mengenai hubungan manusia dengan Tuhan ( parhyangan ), hubungan sesama manusia (pawongan ), dan hubungan manusia dengan lingkungan ( palemahan ), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan). Apabila manusia mampu menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis dengan ketiga aspek tersebut maka kesejahteraan akan terwujud.
Selain nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi, dalam kebudayaan Bali juga dikenal adanya konsep tri semaya yakni persepsi orang Bali terhadap waktu. Menurut orang Bali masa lalu (athita ), masa kini ( anaghata ) dan masa yang akan datang ( warthamana ) merupakan suatu rangkaian waktu yang tidak dapt dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan manusia pada saat ini ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini juga menentukan kehidupan di masa yang akan datang. Dalam ajaran hukum karma phala disebutkan tentang sebab-akibat dari suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil yang baik. Demikian pula sebaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya juga buruk atau tidak baik bagi yang bersangkutan.
2. Menurut saya melihat perkembangan orang bali Dulu dan Kini dilihat dari aspek Perubahan sosial masyarakat Bali yaitu Orang Bali dengan tatanan nilai tradisionalnya tidak dapat menghindarkan diri dan harus berhadapan dengan nilai-nilai kebaruan dalam tatanan ekonomi global dan konteks pariwisata. Mempertentangkan nilai tradisional dengan modernisasi dan globalisasi dalam konteks pariwisata adalah suatu wacana yang kontraproduktif. Mengingat keduanya harus dilihat sebagai kekuatan yang saling melengkapi karena dua nilai yang paradoks bukan berarti tidak mungkin dibuat harmoni. Modernisasi dan globalisasi dalam konteks pariwisata, pertama-tama haruslah dihadapi dengan sikap kritis dengan melakukan reinterpretasi terhadap nilai tradisional yang kurang relevan dan fungsional. Oleh karena itu pengenalan terhadap nilai baru dengan budaya deferensial memerlukan tindakan strategis dalam menginterpretasi dan memahami serta mereposisi nilai tradisi Bali agar dapat menciptakan harmoni peradaban.
Memahami perubahan masyarakat setidak-tidaknya dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu sosial dan kebudayaan. Dikatakan demikian karena perubahan sosial pada prinsipnya menyangkut tranformasi bidang-bidang kehidupan masyarakat manusia, yaitu perubahan peradaban, perubahan budaya, dan perubahan sosial.
Berdasarkan pandangan tersebut perubahan sosial orang Bali yang disebabkan aktivitas pariwisata dalam perspektif perubahan sosial yang mengacu pada sistem sosial, setidak-tidaknya mengandung enam komponen, yaitu perubahan komposisi, perubahan struktur, perubahan fungsi, perubahan batas, perubahan hubungan antarsubsistem, dan perubahan lingkungan. Ini sebabnya perubahan sosial bisa terjadi pada berbagai tingkat kehidupan, seperti antara lain individual, interaksi, organisasi, institusi sosial, komunitas, dan global. Di samping dimensi kebudayaannya perubahan orang Bali dalam hubungannya dengan pariwisata juga dapat dicermati melalui dimensi sosial terutama dengan teori sistem sosial ini. Mengingat fenomena sosial dan budaya merupakan dua gejala dari satu realitas, yaitu sistem tindakan manusia berdasarkan sistem pengetahuannya yang di dalamnya tidak bisa dipisahkan adanya hubungan antarsesama manusia dan alam serta kebudayaannya (Berger, 1994). Dalam hal ini dapat diasumsikan bahwa setiap tindakan sosial dan budaya senantiasa berlangsung dalam setting keruangan, karena itu komponen perubahan lingkungan dibahas tersendiri sebagai perubahan fisikal. Orang Bali dengan tatanan nilai-nilai tradisinya tidak dapat menghindarkan diri harus berhadapan dengan nilai-nilai baru dalam tatanan ekonomi global terutama dalam konteks pariwisata. Mempertentangkan nilai-nilai tradisional dengan nilai-nilai modernisme dan globalisasi dalam konteks pariwisata adalah suatu wacana yang kontraproduktif. Keduanya harus dilihat sebagai kekuatan yang saling melengkapi dan menyempurnakan. Modernisme dan globalisasi dalam konteks pariwisata, pertama-tama haruslah dihadapi dengan sikap kritis dan dalam waktu yang bersamaan melakukan reinterpretasi terhadap nilai-nilai tradisi yang kurang relevan dan fungsional. Artinya, penggairahan kehidupan adat dan tradisi merupakan suatu keharusan, sementara itu, adaptasi modernitas juga bukanlah sesuatu yang harus ditabukan.
ReplyDeleteKehadiran pariwisata harus dilihat bukan saja sebagai tantangan, tetapi juga sekaligus sebagai peluang bagi proses kreatif orang Bali dalam menyikapi perubahan-perubahan yang terjadi. Dengan demikian Hindu, baik sebagai agama maupun kebudayaan mendapat nafas segar dalam mempertahankan eksistensinya. Hindu sebagai spirit orang Bali yang menggunakan sistem budaya Bali sebagai wahana bersemi tetap mampu merangkum pengalaman kreatif orang Bali di tengah-tengah pariwisata dalam beragamamnya nilai-nilai modernisme. Dengan demikian tradisi Bali sebagai kesatuan komitmen yang berlaku pada zamannya, bukan sesuatu yang bebas konflik dan tidak mengalami perubahan, melainkan sistem nilai budaya yang aktif dan dinamis terlibat dalam pergulatan tatanan nilai global sejalan dengan kebutuhan orang Bali yang berkembang setiap saat.
Nama : SUSANTI NUGRAHANI
ReplyDeleteNIM : 12.01.1.1.969
SMTR: VI (ENAM) MANAJEMEN EKONOMI (REG. SORE)
Orang Bali umumnya menekuni pekerjaan agraris, sebagaimana tampak melalui kebutuhan mereka terhadap penanggal Bali (pranatamangsa) untuk menggumuli iklim. Oleh karena itu mereka memiliki mentalitas budaya petani dengan sifat-sifatnya, antara lain homogen dalam pandangan; berorientasi pada masa lampau dengan sedikit variasi orientasi pada masa kini; rasa kekeluargaan dan solidaritas sosial menjadi nilai utama; pandangannya bahwa manusia tunduk pada alam dan mencoba hidup selaras dengan alam; dan mereka berada dalam kondisi ekonomi substantif. Di samping itu, juga mereka hidup dalam ikatan kesatuan sosial yang disebut banjar dan desa pakraman. Kedua lembaga ini berfungsi mengatur hal-hal yang berhubungan dengan aktivitas adat istiadat dan agama di lingkungan komunitas mereka.
Arus perubahan tidak bisa dihindari. Seperti masyarakat di daerah lain, Bali juga mengalami perubahan, dan itu terjadi sudah sejak dahulu. Hanya saja, perubahan masyarakat Bali beberapa tahun belakangan ini tergolong drastis.
Begitu banyak perubahan dalam masyarakat Bali belakangan ini. Ada perubahan yang menurut sebagian orang bisa jadi positive, ada juga yang negative. Ada perubahan yang menurut sebagian orang bisa jadi baik, ada juga yang tidak baik.
Pop Bali merangkum perubahan-perubahan tersebut, per 2013 ini, menjadi sepuluh perubahan yang paling drastis sehingga sangat terasa, dan layak untuk dicatat.
1. Perubahan Mata Pencaharian
Sebelum era 70an, mata pencaharian masyarakat Bali lebih banyak sebagai petani dan sebagian kecilnya pedagang. Di era 80an, mata pencaharian mulai bergeser ke pegawai pariwisata (pegawai hotel, travel, guide, sopir travel, dlsb) dan pengerajin.
Belakangan ini, berbagai macam profesi di jalani oleh masyarakat Bali; mulai dari pedagang HP hingga pedagang narkoba, mulai dari pengusaha hotel hingga pengusaha café remang-remang, mulai dari calo tanah sampai calo perkara, mulai dari moderator talk show sampai key speaker seminar, mulai dari tukang parkir sampai tukang tagih (debt-collector).
Silahkan periksa status pekerjaan yang tercantum di KTP, berapa orang yang masih mencantumkan “petani”? Hanya ada di desa-desa sana, itupun mungkin jumlahnya sudah sangat sedikit.
2. Perubahan Aktivitas dan Etos Kerja
Dalam era dimana sebagian besar masyarakat berstatus petani, etos kerja masyarakat Bali mungkin terlihat lamban dan cenderung santai. Tentu saja, karena aktivitas bertani memang tidak bisa diburu-buru, semua memakai hitungan masa (misalnya: padi baru bisa dipanen setelah berusia 3 bulan, tidak bisa dipercepat).
Banyaknya waktu luang inilah yang membuat masyarakat Bali, di era itu, selalu punya waktu untuk aktivitas-aktivitas berkesenian dan melestarikan budaya (misalnya: mekekawin, megeguritan, megenjekan, megambel, menari, main arja, ngerindik, meniup seruling, membaca lontar, dlsb). Sehingga bagi orang di luar Bali, etos kerja masayarakt Bali pada saat itu dianggap santai.
Etos kerja masyarakat Bali saat ini sudah berubah drastis, menjadi super sibuk, “time-is-money” kata mereka. Perubahan ini tentu terjadi akibat perubahan mata pencaharian yang begitu drastis dan ledakan angkatan kerja yang mengakibatkan kempetisi menjadi begitu ketat. Libur sehari untuk menengok upacara keluarga misalnya, jatah antrean nyupir di halaman hotel sudah diambil-alih orang lain. Tutup kantor sekali, pelanggan sudah marah-marah.
Sehingga, hampir sudah tidak ada waktu lagi untuk ‘menyama-braya’. Melihat orang bertegur sapa di jalanan, saat ini, adalah kejadian langka, ajaib, atau malah dipandang aneh (“terlalu basa-basi, lebian tutur,” kata mereka), kecuali di desa-desa yang jauh di kaki bukit sana.
Nama : SUSANTI NUGRAHANI
ReplyDeleteNIM : 12.01.1.1.969
SMTR: VI (ENAM) MANAJEMEN EKONOMI (REG. SORE)
LANJUTAN
3. Perubahan Nama
Mungkin bisa diperdebatkan. Tetapi ini fakta bahwa perubahan penggunaan nama di kalangan masyarakat Bali, dewasa ini, tergolong drastis.
Generasi yang lahir sebelum tahun 70an masih banyak yang menggunakan nama yang menurut masyarakat di luar Bali, unik. Disebut unik karena benar-benar hanya ada di Bali. Misalnya: I Wayan Konten, I Made Simpen, I Gede Dokar, Ni Luh Pujut, Anak Agung Gede Raka, I Putu Danu, AA Putu Keramas, Ni Nyoman Ceraki.
Di Era 70-80, penamaan anak sudah mulai bergeser ke nasional, meniru nama artis ibu kota atau tokoh publik: I Gede Doni (aktor Doni Damara), I Kadek Toni (artis Toni Koeswoyo), Anak Agung Jhoni (aktor Jhoni Indo), Ida Ayu Mariana (artis Dina Mariana), I Putu Deni, I Kadek Edi, Putu Gede Budianto, dan lain sebagainya.
Sekarang, perubahan penamaan anak sangat drastis. Ada 2 trend yang paling menonjol menurut Pop Bali, yaitu:
• nama yang mengarah ke ‘kebarat-baratan’ (mereka menyebutnya “international name”); atau
• nama yang ‘ke-india-indiaan‘ (konon “kembali ke Hindu murni yang berpusat di India”)
Yang mungkin menjadi aneh bagi masyarakat di luar Bali—terutama yang pernah tinggal lama di Bali—adalah adanya kecenderungan untuk tidak menggunakan “I” atau “Ni” di depan nama, sehingga namanya menjadi: Made Joddie Sijatmika, Luh Cyntia Nugraha, Ayu Michelle Arianta, Putu Ambrose Kusuma, atau Nyoman Sri Siva Kemala Devi, Ida Bagus Krishna Aditama, Anak Agung Istri Vedayanti Uttari.
Yang tak kalah menariknya, dahulu banyak orang tua yang dipanggil dengan menggunakan nama si kecil (anaknya), misalnya: I Gede Batur yang punya anak perempuan Ni Ronji dipanggil “Pan Ronji”, dan istrinya dipanggil “Men Ronji”.
Sekarang kebalikannya; nama Ayah atau keluarga besar (biasanya yang paling terkenal) yang dijadikan nama belakang oleh si anak, atau nama suami yang dijadikan nama belakang oleh si Istri—layaknya ‘family name’ dalam budaya barat. Misalnya: Ayu Michelle Arianta di atas adalah puterinya yang terhormat bapak anggota dewan I Putu Arianta, SSos, MM. Dahulu Bali tidak mengenal istilah “nama keluarga (besar)”, sekarang kenal.
Ciri khas nama orang Bali, kini, nyaris tak berbekas kecuali Putu, Wayan, Made, Nyoman, Nengah, dan Ketut yang masih digunakan, itupun tanpa “I” atau “Ni” di depannya. Konon, menurut pendapat sebagian orang, “supaya kelak si anak siap menyongsong era globalisasi.” Semoga.
4. Perubahan Bahasa
Sepuluh tahun lalu kita masih sering mendengar percakapan, di warung-warung atau terminal, yang menggunakan bahasa Bali murni tanpa dicampur dengan bahas lain. Saat ini, sulit ditemukan. Satu-satunya wilayah dimana bahasa Bali cukup sering digunakan hanya di desa-desa, itupun sudah bercampur-campur, sejak siaran sinetron TV nasional mulai merambah hingga ke pelosok-pelosok. Sebagian besar masyarakat Bali sudah lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia.
Beruntung karena sampai saat ini sekolah masih mengajarkan bahasa Bali, meskipun dalam porsi waktu yang sangat minimal.
Disamping masalah efektifitas (berbahasa Bali konon “ribet”), banyak juga yang beralasan bahwa menggunakan bahasa Indonesia bisa meminimalkan kesalahan dalam menggunakan bahasa ‘sor-madia-singgih’.
Nama : SUSANTI NUGRAHANI
ReplyDeleteNIM : 12.01.1.1.969
SMTR: VI (ENAM) MANAJEMEN EKONOMI (REG. SORE)
LANJUTAN
5. Perubahan Busana
Dahulu, yang namanya ‘kamen’ (kain) adalah pakaian sehari-hari. Saat ini kamen hanya digunakan dalam acar-acara tertentu seperti: persembahyangan atau upacara dan upakara adat. Selebihnya, pria dan wanita Bali sudah seperti layaknya pria dan wanita modern—memakai celana panjang atau pendek.
Dahulu, pakaian adat Bali menggunakan pakem tertentu, setiap detail pakaian mengandung makna simbolis. Sekarang, pakaian pengantin pria Bali misalnya, sudah sulit dibedakan dengan pakaian adat Sumtera yang menggunakan ‘Baju Bodo’ atau boleronya Aziz Gagap di acara OVJ. Sudah jauh dari pakem aslinya.
Perubahan ini, tentu tak lepas dari proses industrilisasi secara umum—dimana makin cepat perubahan, makin pendek siklus, makin tinggi permintaan, makin banyak yang bisa diproduksi, makin banyak uang mengalir ke dalam rekening.
6. Perubahan Makanan dan Minuman
Selera makan orang Bali juga sudah banyak mengalami perubahan. Makanan khas Bali biasanya pedas, banyak merica dan rempah. Sekarang sudah tidak ada bedanya dengan masakan jawa atau padang, cenderung manis atau sedang. Itupun belum cukup bagi masyarakat Bali saat ini; dagang bakso dan soto selalu lebih ramai dibandingkan dagang nasi lawar atau siobak Buleleng. Ini jelas representasi dari pergeseran selera makanan.
Yang namanya ‘berem’, sudah langka. Selera minum orang Bali saat ini adalah beer atau wine. Dahulu orang Bali tak kenal yang namanya ‘kebab turki’ atau ‘sashimi’. Sekarang, gerai makanan cepat saji seperti ini telah menjamur dan selalu dipadati oleh masyarakat Bali.
7. Perubahan Gaya Hidup dan Pergaulan
Mata pencaharian dan profesi yang berubah juga berakibat pada perubahan gaya hidup. Aktivitas dan kehidupan masyarakat Bali di jaman dahulu yang lebih banyak berada di sekitar desa dan balai banjar kini sudah jauh bergeser.
Atu Aji, Gung Aji dan Pak De yang dahulu selalu punya waktu untuk mekekawin di balai Banjar, kini sudah lebih sering nongkrong di “Kudeta” atau “Blue Eyes”—untuk entertain relasi bisnis. Pak Wayan, Pak Made dan Pak Ketut yang dahulu sering main Arja sekarang sudah sibuk seminar ini-itu dan sosialiasi ini-itu, untuk menggalang simpati, suara dan dukungan pileg dan pilkada.
Atu Biyang dan Bik I Luh yang dahulu sering terlihat ‘nyait tamas’, kini lebih sering pergi ke pusat-pusat perbelanjaan, butiq atau SPA. Gus Tu, Gung De dan Yan Ajus yang dahulu rajin megambel sekarang sudah lebih sering track-trackan di lapangan Renon atau balapa mobil gelap di Bypass Ngurah Rai ala film “Fast and Furious”.
Nama : SUSANTI NUGRAHANI
ReplyDeleteNIM : 12.01.1.1.969
SMTR: VI (ENAM) MANAJEMEN EKONOMI (REG. SORE)
LANJUTAN
8. Perubahan Orientasi dan Pola Pikir
Ledakan pertumbuhan penduduk ditambah transmigran dari luar pulau, membuat kompetisi hidup di Bali menjadi semakin ketat. Diantara masalah-masalah hidup lainnya, survivalitas kini telah menjadi perioritas utama. Masyarakat Balipun tidak terkecuali.
Orang Bali dahulu, yang dikagumi oleh orang barat, menempatkan norma di atas segalanya, apa-apa menggunakan ukuran normatif, mereka memegang prinsip “lek” (malu, nggak enak), bahkan untuk mengambil sesuatu yang menjadi haknya sekalipun. Itu sebabnya orang asing senang dan percaya sepenuhnya dengan orang Bali. Bukan karena orang asingnya pelit atau memanfaatkan sifat pemalunya orang Bali jaman dahulu, melainkan karena sangat menghargai pola pikir dan orientasi orang Bali yang jauh dari ketamakan.
Orang Bali yang sekarang, cenderung pragmatis; kalau sudah urusan uang/harta tak ada istilah “lek”. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana para pedagang acung, di daerah wisata, yang kerap setengah memaksa turis untuk membeli barang dagangannya. Ada juga kasus dimana orang Bali yang dipercaya mengelola perusahaan oleh orang asing, mengambil-alih perusahaan tersebut karena namanya dipakai di dalam akte perusahaan. Contoh lainnya adalah penjualan barang-barang pusaka warisan leluhur, pencurian ‘pretima’, dan lain sebagainya.
Ada pergeseran pola pikir dan orientasi yang sangat drastis di Bali. Yang namanya ‘saling asah-asih-dan-asuh’, saat ini, hanya bisa di temukan di lontar-lontar atau acara ‘dharma wacana’ (kotbah), sulit kita temukan dalam pelaksanaan sehari-hari.
Ajakan “Lan dum pada mebedik” (=meskipun sedikit ayo kita bagi bersama) sudah kian jarang terdengar. Individualitis mendominasi kebersamaan. Keuntungan diri sendiri dan kelompok adalah segalanya. ‘Pang kuala untung’ (=yang penting untung), ‘pang kuala maan pis’ (yang penting dapat uang), ‘pang kuala menang’ (=yang penting menang), akhirnya ‘pang kuala misi kenehe’ (=yang penting segala ambisi keturutan).
Apa-apa yang penting untung. Apa-apa yang penting uang. Ketidaksanggupan ‘ngayah’ (gotong royong) misalnya, sekarang sudah bisa diganti dengan ‘dosa’ dalam bentuk uang, yang penting ‘nu maan susuk’ (=masih dapat selisih antara penghasilan dengan bayar denda). Kesibukan berupacara dan berupakara, saat ini, tidak harus mengundang banjar, sudah bisa digantikan oleh event organizer dan catering—yang penting punya uang.
Entah disadari atau tidak, kekaguman dan kepercayaan orang asing terhadap kesederhanaan pola pikir dan orientasi orang Bali saat ini, sudah jauh merosot dibandingkan dahulu. Dahulu, banyak orang asing yang mengadopsi orang Bali untuk dijadikan anak atau saudara, bahka sampai mewariskan harta bendanya. Sekarang? Jarang atau mungkin memang sudah tidak pernah ada lagi.
9. Perubahan Etika
Seiring dengan gaya hidup, orientasi, dan pola pikir, etikapun mengalami perubahan yang cukup drastis—baik dari ucapan maupun perilaku.
Figur seorang ‘guru’ (rupaka, pengajian dan wisesa) dahulu adalah sosok yang sangat dihormati di Bali, di dengarkan wejangan dan arahannya, dimanapun berada. Saat ini, sudah nyaris tanpa batas.
Guru Rupaka (ayah dan ibu) hanya terhormat bila mampu membelikan berbagai fasilitas yang diinginkan oleh anak. Guru Pengajian (guru sekolah) hanya disegani di lingkungan sekolah, di luar sekolah sudah tidak dianggap siapa-siapa. Guru Wisesa (pemerintah) hanya dihormati saat masih pegang stempel institusi—menjabat. Begitu tidak berkuasa, sudah tidak dihormati lagi.
Nama : SUSANTI NUGRAHANI
ReplyDeleteNIM : 12.01.1.1.969
SMTR: VI (ENAM) MANAJEMEN EKONOMI (REG. SORE)
LANJUTAN
10. Perubahan Agama
Bukan hanya bagian luar, perubahan drastis juga terjadi hingga ke bagian dalam, yaitu: agama.
Di kalangan orang Bali sendiri banyak yang mengkhawatirkan kemungkinan perubahan status Bali sebagai “pulau seribu Pura” sebentar lagi tinggal kenangan.
Ada 2 perubahan, dalam hal agama yang dianut oleh orang Bali, yang menonjol belakangan ini, yaitu:
• Pertama, munculnya perbedaan sekte-sekte diantara penganut Hindu sendiri, yang kian tajam belakangan ini. Dahulu nyaris tak ada perbedaan sekte-sekte, yang ada hanya “Hindu Bali”. Kesadaran masyarakat Bali untuk konon “kembali ke Hindu murni” yang berpusat di India, justru menimbulkan sekte-sekte. Bahkan konon ada yang sampai tidak ‘mesebelan’ (berdukacita) ketika ada anggota keluarga beda sekte meninggal.
• Kedua, adanya konversi orang Bali yang semula penganut Hindu ke non-Hindu yang juga massif terjadi di Bali. Konversi yang paling menonjol adalah dari Hindu ke Katolik dan Kristen. Konversi dari Hindu ke Islam pun belakangan ini juga kian meningkat—terutama melalui proses pernikahan.
Dahulu, bagi mereka yang ada di luar Bali, setiap orang yang menggunakan nama I Putu, I Gusti, Anak Agung, atau Ida Bagus, Ni Luh, Gusti Ayu, Agung Ayu, sudah pasti penganut Hindu. Saat ini? Belum tentu. Bali yang sekarang sudah sangat kompleks. Untuk melihat apa agama yang dianut oleh orang Bali masa kini, tidak cukup hanya mengetahui namanya, masih perlu melihat hal-hal lain, misalnya: apakah lengannya mengenakan benang ‘Tri Datu’ (gelang benang berwarna ‘merah-hitam-putih’)? Apakah pernah menggunakan ‘bija’ (bijih beras) di dahinya?
Itulah sepuluh perubahan paling drastis, dalam masyarakat Bali per 2013 ini, yang berhasil dirangkum dan dicatat oleh Pop Bali. Apakah itu perubahan positive atau negative? Apakah perlu dikoreksi atau tidak? Pop Bali hanya bisa membeberkan, anda pembaca (khususnya masyarakat Bali sendiri)-lah yang berhak menilai.
Nama : GUSTI AYU PUTU SHERLY P.S
ReplyDeleteNIM : 12.01.1.1.982
SMTR: VI (ENAM) MANAJEMEN EKONOMI (REG. SORE)
Kasta Dulu dan Kini di Bali
Kasta merupakan sesuatu yang tampak sebagai bagian yang identik dengan tradisi atau kultur budaya masyarakat Bali, dan bahkan tampak dekat dengan ajaran Hindu. Sehingga begitu identiknya sering disebut Hindu mengenal sistem kasta sebagai bagian dari ajarannya.
Saat berkunjung ke tempat adik sepupu saya, kami menggunakan hal-hal seperti ini sebagai lelucon. Dalam garis silsilah, adik sepupu saya memiliki garis silsilah dari Sri Aji Kresna Kepakisan, yang merupakan raja Bali yang memerintah di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit (1293 – 1527).
Sedangkan silsilah saya berada dalam garis Karang Buncing, sebuah kepatihan yang mengabdi pada Raja Bedahulu (Kerajaan Bedulu) dari Dinasti Warmadewa, raja Bali sebelum penaklukan Majapahit atas tanah Bali. Yang konon, hingga Mahapatih Gajah Mada saja tidak mampu menaklukan kepatihan ini tanpa bersiasat. Jika membaca Babad Sukahet atau Kekawin Gajah Mada, kisah ini ada di dalamnya.
Sepupu saya bilang, saya raja kamu patihnya, jadi saya lebih berkuasa. Saya akan bilang, walau patih tapi kan rajanya ndak kamu. Sebenarnya mungkin maksudnya hanya minta porsi pizza yang lebih banyak dan dapat transfer pulsa gratis. Yah, kami pun berbincang sambil tertawa cekakak cekikik.
Mendengar kisah kerajaan dan golongan-golongan di dalamnya, seperti mendengar dongeng nusantara lama. Dalam tatanan kerajaan Hindu di nusantara lama, selalu ada golongan para bangsawan atau ningrat, rakyat jelata, kaum pedagang, dan kaum pendeta atau brahmana. Sepertinya masyarakat terkotak-kotak dalam kelompok tertentu.
Sehingga ada kesan bahwa sebuah wilayah yang bernapaskan Hindu selalu menghadirkan kasta. Termasuk kini di Bali yang cukup kental terkesan adanya kelompok masyarakat dalam kasta. Namun apakah kasta itu sesungguhnya ada? Tentu saja kasta dalam pengertian bahwa kelompok masyarakat didasarkan pada garis keturunan.
Saya bukan ahli sejarah, namun saya melihat dalam beberapa tulisan ada kebebasan orang untuk pindah dari golongan brahmana ke golongan ksatria, atau pun sebaliknya sejak zaman kerajaan dulu. Sri Aji Kresna Kepakisan sendiri jika tidak salah berasal dari keluarga brahmana yang kemudian menjadi ksatria.
Dan setahu saya dalam sistem Hindu pun tidak ada istilah kasta, tidak ada sistem kasta. Ya, jika ada kelompok seperti brahmana, ksatria, waisya dan sudra, itu hanyalah pembagian profesi dalam tingkatan yang setara. Di setiap masyarakat pun akan ada yang menjadi penasihat,
Nama : GUSTI AYU PUTU SHERLY P.S
ReplyDeleteNIM : 12.01.1.1.982
SMTR: VI (ENAM) MANAJEMEN EKONOMI (REG. SORE)
LANJUTAN
pemerintah, penggerak masyarakat dan masyarakat luas itu sendiri. Apa kemudian yang menjadi bupati lebih mulia dibandingkan yang menjadi tukang sapu di jalanan? Ya, kalau ada yang berpikir seperti itu, mungkin dia sendiri yang mengkastakan orang-orang di sekitarnya.
Dosen saya pernah berkata, walau suatu kamu jadi dokter, berjas putih tampak rapi dan bersih, tapi yang berperanan paling penting dalam rumah sakit tetap adalah orang yang sehari-hari terlihat kumal dan mengepel lantai setiap ruangan dengan sabar dan telaten. Bagi saya itu benar, karena tanpa ruangan yang bersih dan rapi, maka apa yang dilakukan petugas kesehatan untuk para pasiennya bisa jadi sia-sia. Penyapu dan pengepel lantai itu tidak bekerja untuk dilihat kehebatnya, jika seorang dokter ingin belajar menjadi lebih baik, maka ia mesti belajar juga dari yang membersihkan ruangannya setiap hari.
Di antara manusia, tidak ada perbedaan mendasar yang membuatnya menjadi lebih mulia dibandingkan manusia lainnya.
Kasta bisa berasal dari bahasa Latin, castus yang bermakna sesuatu yang murni atau tidak tercermar. Bagi penggemar novel & film Harry Potter tentu mengenal istilah pure blood, yang membedakan para penyihir yang ada dalam garis keturunan murni dalam keluarga para penyihir sejak zaman dulu. Ya, kurang lebih makna kasta seperti itu.
Konon, kasta mulai kental di Bali pada zaman penjajahan Belanda, karena dengan membuat sistem kasta kental, maka penjajah dapat membuat jarak pemisah antara raja dan rakyatnya, sehingga mudah diadu domba dalam politik devide et impera pihak kolonial. Dan sepertinya itu berhasil pada beberapa bagian.
Saya rasa masyarakat Bali setidaknya mesti bercermin pada sejarah. Ini seperti tefleksi kembali. Walau kasta tidak ada dalam sistem Hindu, namun apa yang ditinggalkan setidaknya membawa pengaruh dalam tradisi. Dan walau tidak sekental dulu, mungkin masih ada beberapa wilayah atau kelompok yang memang mempertahankan kasta di Bali. Jika tidak masyarakat Bali akan sangat mudah dipecah belah lagi – jika ada yang berniat demikian. Dan saya rasa masyarakat manapun yang masih mengotak-ngotakkan manusia dalam galur kemurnian seperti sistem kasta, pasti akan sangat labil akan perpecahan.
NAMA : MADE BAMBANG SUKADANA
ReplyDeleteNIM : 12.01.1.1.995
SMTR : VI ( ENAM )
Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui adanya perbedaaan ( rwa bhineda ), yang sering ditentukan oleh faktor ruang ( desa ), waktu ( kala ) dan kondisi riil di lapangan ( patra ). Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh kebudayaan luar. Orang Bali zaman silam yang dikenal sebagai yang berbudi pekerti luhur karena keyakinan atau kepercayaannya serta melaksanakan ajaran-ajaran Agama Hindu-Bali dengan baik, yang berjiwa halus terlihat dari budaya kesenian bermutu tinggi, yang ramah tamah, toleran, satya wacana, jujur, rendah hati, suka bergotong royong, dan nilai-nilai mulia lainnya, kini telah porak poranda karena orang Bali tidak mampu mempertahankannya karena sudah banyak yang menyimpang dari norma susila yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Bali pada zaman dahulu. Kebudayaan Bali sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi mengenai hubungan manusia dengan Tuhan ( parhyangan ), hubungan sesama manusia ( pawongan ), dan hubungan manusia dengan lingkungan ( palemahan ), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan). Apabila manusia mampu menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis dengan ketiga aspek tersebut maka kesejahteraan akan terwujud. Selain nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi, dalam kebudayaan Bali juga dikenal adanya konsep tri semaya yakni persepsi orang Bali terhadap waktu. Menurut orang Bali masa lalu ( athita ), masa kini ( anaghata ) dan masa yang akan datang ( warthamana ) merupakan suatu rangkaian waktu yang tidak dapt dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan manusia pada saat ini ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini juga menentukan kehidupan di masa yang akan datang. Dalam ajaran hukum karma phala disebutkan tentang sebab-akibat dari suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil yang baik. Demikian pula seBaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya juga buruk atau tidak baik bagi yang bersangkutan.
NAMA : MADE BAMNG SUKADANA
ReplyDeleteNIM : 12.01.1.1.995
SMTR : VI ( ENAM )
Lnjutan
Bukan hanya keindahan alamnya saja yang menarik dari Bali, namun keagungan tradisi masyarakatnya juga banyak menarik bahkan banyak dikaji oleh orang-orang diluar Bali. Sebagaimana diketahui Bali memang kaya akan berbagai kesenian tradisional, pakaian adat, bahasa, dan tradisi keagamaan yang mewarnai realitas kehidupan masyarakat Bali. Ialah Tari Barong dan Tari Kecak yang menjadi salah satu tarian tradisional khas Bali yang sudah terkenal kemana-mana.
Apa menariknya dari kedua tarian ini? Kedua tarian ini bisa dikata sebagai ikon kesenian tradisional Bali yang diangkat ke level nasional bahkan internasional. Seringkali kedua tarian ini dijadikan sebagai media promosi efektif paket-paket wisata di Bali oleh berbagai agen dan biro perjalanan wisata. Bahkan hampir seluruh agen maupun biro perjalanan wisata ke Bali selalu mengajak tamunya untuk menyaksikan Tari Barong dan Tari Kecak ini.
Religi
Agama yang di anut oleh sebagian orang Bali adalah agama Hindu sekitar 95%, dari jumlah penduduk Bali, sedangkan sisanya 5% adalah penganut agama Islam, Kristen, Katholik, Budha, dan Kong Hu Cu. Tujuan hidup ajaran Hindu adalah untuk mencapai keseimbangan dan kedamaian hidup lahir dan batin.orang Hindu percaya adanya 1 Tuhan dalam bentuk konsep Trimurti, yaitu wujud Brahmana (sang pencipta), wujud Wisnu (sang pelindung dan pemelihara), serta wujud Siwa (sang perusak). Tempat beribadah dibali disebut pura. Tempat-tempat pemujaan leluhur disebut sangga. Kitab suci agama Hindu adalah weda yang berasal dari India.
NAMA : MADE MONA SPATHIKA
ReplyDeleteNIM : 12.01.1.1.977
SMTR : VI ( ENAM )
Kebudayaan Bali dilandasi dengan nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu, yang mengakui adanya perbedaan namun tetap menghargai satu sama lain meskipun memiliki perbedaan yang sering disebut dengan Desa Kala Patra, adat yang dilakukan sesuai dengan tradisi yang ada didaerahnya yang tidak melupakan jati diri masing-masing, hal tersebutla yang menyebabkan kebudayaan bali bersifat fleksibel karena menerima keudayaan yang berbeda dari luar.
Permainan Tradisional Bali sekarang jarang bisa kita temukan apalagi di daerah perkotaan, perkembangan tekhnologi yang pesat hampir menenggelamkan mereka. Ada puluhan bahkan ratusa permainan tradisional yang ada, orang tua juga seolah-olah tidak memperhatikan dan cenderung tidak mampu mengarahkan anak-anak mereka dalam melakukan permainan yang memang ternyata cukup susah, karena permainan tradisional lebih menonjolkan permainan berkelompok yang membutuhkan kekompakan dan kebersamaan dan secara tidak langsung mendidik anak itu lebih bisa mengenal lingkungannya yang majemuk, bergaul dengan tidak memandang status sosial dan kebersamaanya, kesetiakawanan dengan suasana ceria di lingkungan mereka.
Keunikan Budaya Bali dan Pesatnya Pariwisata Bali kita tidak bisa terlepas dari sebuah dunia yang disebut Pertanian Bali. Pertanian di bali memiliki pertalian yang erat antara Budaya, Agama, Alam Bali dan Pariwisata di Bali. “metekap” adalah istilah orang Bali dalam membajak sawah mereka, peralatan tradisional yang mereka pakai terdiri dari “UGA” ditaruh pada leher kedua ekor sapi yang kemudian di ikat pada “TENGALA” dan “LAMPIT” yang berfungsi untuk membajak sawah.
Seiring perkembangan jaman dan teknologi kegiatan “matekap” sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat Bali, karena dengan kemajuan teknologi yang menghasilkan alat pembajak sawah yang disebut dengan “Traktor” telah menggantikan alat-alat tradisional Bali. Dengan “traktor” pekerjaan membajak sawah menjadi lebih mudah dan cepat. Dengan adanya alat moderen inilah masyarakat menjadi lebih dimannjakan, dan mulai meninggalkan budaya “matekap
Tradisi omed-omedan merupakan warisan nenek moyang sejak dulu dan dilakukan secara turun temurun. Dahulu, omed-omedan hanya dilakukan hanya dengan tarik-tarikan, perkembangan jaman yang pesat lalu berubah ada ciuman. Pada saat sedang berciuman, air diguyur agar peserta tidak kepanasan dan ciumannya tidak menjadi lebih lama. Tradisi omed-omedan ini, dilakukan oleh dua kelompok yakni muda dan mudi. Pemuda berdiri membentuk barisan ke belakang dan saling berpelukan pada pinggang orang yang di depan. Demikian pula dengan kelompok pemudi. Jumlahnya tidak dibatasi.
Ogoh-ogoh merupakan karya seni patung dalam kebudayaan Bali. Ogoh-ogoh ini kebudayaan yang menggambarkan kepribadian “Bhuta Kala” dan sudah menjadi ikon ritual yang secara tradisi sangat penting dalam penyambutan Hari Raya Nyepi atau Tahun Baru Saka. Seluruh umat Hindu Dharma akan bersukaria menyambut kehadiran tahun baru itu dengan mengarak-arakan “ogoh-ogoh” yang dibarengi dengan perenungan tentang yang telah terjadi dan sudah dilakukan selama ini pada saat “Pangerupukan”atau sehari setelah menjelang Hari Raya Nyepi, peristiwa dan prosesinya setiap tahunnya sama yaitu pada setiap banjar membuat ogoh-ogoh.
Nama: Ni Luh Ardi
ReplyDeleteNim : 11 01 1 1 945
Semester VI / Reguler sore
Menurut pendapat saya" Kebudayaan orang Bali memang beragam,bahakan bisa dikatakan bahwa anata agama dan budaya orang Bali itu tersamarkan artinya yang mana budaya dan yang mana agama dicampurkan,kadang kita sendiri sebagai orang Bali bingung memaknainya.Tetapi itulah Bali,dengan segala macam budaya upacara dan pernak-pernik budaya yang dibungkus denga n agama dan sebaliknya. Sekali lagi saya katakan bahwa karena ha-hal tersebut lah Bali dan Orang Bali jadi terkenal,kalaupun budaya-cara-tatacara-agama itu mengalami perubahan adalah hal yang sangat wajar karena semua itu mengalami transformasi kearah yang lebih maju.Dan hal-hal yang mengalami perubahan itu adalah merupakan perubahan jaman dimana budaya Bali mengalami akselerasi dari penerimaan budaya luar yang saya rasa justru memperkaya budaya Bali itu sendiri,,Suksema,,,semoga bermanfaat
NAMA : Dewi Adnyani
ReplyDeleteNIS : 12.01.1.1.987
SMESTER VI REGULER SORE
menurut saya dulu dan kini orang bali sangat lah berbeda, dari cara mereka berpikir samapi dengan cara mereka menilai sesuatau yang akan mereka lakukan baik dalam unsur seni dan budaya, oranga bali selalu memikirkan unsur - unsur yang meliputi tri hita karana, parahayangan, pawongan dan palemahan, disana di artikan bahwa dulu orang bali dan sampai sekarang masih memakai landasan tersebut untuk mencapai kehikmahan dalam melaksanakan berbagai kegiatan baiak untuk kegiatan upacara maupun kegiatan dalam melaksanakan acara - acara yang besar sperti hiburan dan lain sebagainya, maka dari itu orang bali dulu dan kini hanya mengalami [erubahan secara budaya karena perubahan dari berbagai pihak asing, seperti perubahan berbicara, pakaian dan juga cara berpikir, semoga kedepannya orang bali di zaman yang modren ini semakain memikirkan upaya - updaya dalam melestarikan berbagai unsur - unsur budaya baik non fisik maupun fisik.
Nama : Putu Eka Pratama Mandala Putra
ReplyDeleteNIM : 13.01.1.1.170
Jurusan : Manajemen (Reg. Sore)
Semester : Ampulen
Banyak faktor yang menonjol dalam perubahan Bali jaman dulu dan sekarang : 1. Cara Berpakaian
dulu orang Bali berpakaian hanya memakai kain penutup pada bagian perut ke bawah saja baik pria maupun wanita itu sama namun jaman dulu tidak pernah ada kejahatan, pelecehan pada kaum perempuan meskipun gaya berpakaian yang sangat minim begitu juga tidak ada tindakan yang tidak senonoh yang dilakukan meskipun berpakaian minim tapi masih berpanutan pada norma-norma.
Namun jaman sekarang banyak terjadi pelecehan pada kaum perempuan meskipun pakaian jaman sekarang serba tertutup itu mungkin dikarenakan manusia sekarang jauh dari norma-norma dan adat istiadat.
2. Tradisi
Jaman dulu masyarakat Bali sangat menjunjung tinggi kebersamaan bahkan setiap kegiatan sudah ada wadah sebagai sarana berkumpul seperti di desa adat dikenal dengan adanya bale banjar, dalam tradisi menari ada istilahnya sekaa gong dimana merupakan wadah para penabuh gong untuk mengiringi tarian berkumpul dalam hal pertanian juga ada wadah sebagai tempat berkumpul yang disebut subak dan lain sebagainya.
Namun sekarang seiring berkembangnya jaman masing-masing sudah memiliki kesibukan masing-masing sehingga tidak sempat lagi berkumpul dan juga sudah dipengaruhi oleh pihak lain seiring banyaknya orang-orang bukan asli Bali yang tinggal di Bali
NAMA : KETUT MULIAWATI
ReplyDeleteNIS : 12.01.1.1.970
SMESTER VI REGULER SORE
Bali tempo dulu memiliki perjalanan sejarah yang unik serta menarik, baik itu dari sisi kehidupan sosial, budaya beragama serta pemerintahannya. Bali kini tentu berbeda, namun memiliki kaitan sejarah yang tak bisa dipisahkan, perbedaan tersebut sangat terasa sekali dari segi tingkat ekonomi, kepadatan penduduk, pendidikan, insfatuktur, media komunikasi hampir di setiap lini, namun demikian tatanan budaya adat serta tradisi, banyak yang masih dilestarikan sampai sekarang, menjadikannya sesuatu yang unik, dan membuat orang penasaran sehingga ingin mengetahuinya lebih dekat. Dalam perkembangan masa kini saat dunia wisata di Bali berkembang dengan baik, terutama wisatawan asing memiliki antusias tinggi untuk mengetahui hal-hal unik peninggalan masa lalu tersebut. Saya rasa masyarakat Bali setidaknya mesti bercermin pada sejarah. Ini seperti refleksi kembali. Walau kasta tidak ada dalam sistem Hindu, namun apa yang ditinggalkan setidaknya membawa pengaruh dalam tradisi. Dan walau tidak sekental dulu, mungkin masih ada beberapa wilayah atau kelompok yang memang mempertahankan kasta di Bali. Jika tidak masyarakat Bali akan sangat mudah dipecah belah lagi jika ada yang berniat demikian. Dan saya rasa masyarakat manapun yang masih mengotak-ngotakkan manusia dalam alur kemurnian seperti sistem kasta, pasti akan sangat labil akan perpecahan.
Akan tetapi perubahan, baik disadari maupun tidak pasti dialami oleh setiap individu dan masyarakat termasuk orang Bali. Kepastian perubahan ini, sebagaimana ditegaskan Triguna (1999:1) bahwa secara universal tidak ada satupun masyarakat dan kebudayaan di dunia yang hidup statis tanpa mengalami proses perubahan. Perubahan dapat berlangsung secara alamiah ataupun direncanakan, karena itu Atmadja (2005:5) menyatakan bahwa setiap masyarakat tidak dapat melepaskan diri dari perubahan sosial budaya, baik yang disebabkan oleh inovasi, difusi kebudayaan, maupun pembangunan. Fakta bahwa ketiga faktor ini mendorong terjadinya banyak perubahan dalam waktu singkat sehingga masyarakat mengalami ketegangan sosio-kultural. Dalam perspektif difusi kebudayaan misalnya, ketegangan ini merupakan akibat dari semakin terbukanya pergaulan antaretnis dan antarbangsa. Pada satu sisi melalui wacana Ajeg Bali mereka dihadapkan pada upaya pelestarian kebudayaan lokal karena menurut Atmadja (2005:3) Ajeg Bali merupakan gerakan mempertahankan identitas kultural sebagai respons orang Bali terhadap globalisasi, yakni upaya mengatasi pengaruh kebudayaan modern yang berlatar Barat. Pada sisi lain mereka dihadapkan pada konflik internal, yakni benturan antarsubkultur.
Nama : Komang Ayu Fitriani
ReplyDeleteNim : 12.01.1.1.1045
Jurusan : Manajemen Eksekutif
Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui adanya perbedaaan ( rwa bhineda ), yang sering ditentukan oleh faktor ruang ( desa ), waktu ( kala ) dan kondisi riil di lapangan ( patra ). Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh kebudayaan luar. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa komunikasi dan interaksi antara kebudayaan Bali dan budaya luar seperti India (Hindu), Cina, dan Barat khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan kreatifitas baru dalam seni rupa maupun seni pertunjukkan. Tema-tema dalam seni lukis, seni rupa dan seni pertunjukkan banyak dipengaruhi oleh budaya India. Demikian pula budaya Cina dan Barat/Eropa memberi nuansa batu pada produk seni di Bali. Proses akulturasi tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan adaptif khususnya dalam kesenian sehingga tetap mampu bertahan dan tidak kehilangan jati diri (Mantra 1996).
Kebudayaan Bali sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi mengenai hubungan manusia dengan Tuhan ( parhyangan ), hubungan sesama manusia ( pawongan ), dan hubungan manusia dengan lingkungan ( palemahan ), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan). Apabila manusia mampu menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis dengan ketiga aspek tersebut maka kesejahteraan akan terwujud.
Selain nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi, dalam kebudayaan Bali juga dikenal adanya konsep tri semaya yakni persepsi orang Bali terhadap waktu. Menurut orang Bali masa lalu ( athita ), masa kini ( anaghata ) dan masa yang akan datang ( warthamana ) merupakan suatu rangkaian waktu yang tidak dapt dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan manusia pada saat ini ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini juga menentukan kehidupan di masa yang akan datang. Dalam ajaran hukum karma phala disebutkan tentang sebab-akibat dari suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil yang baik. Demikian pula seBaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya juga buruk atau tidak baik bagi yang bersangkutan.
Kebudayaan Bali juga memiliki identitas yang jelas yaitu budaya ekspresif yang termanifestasi secara konfiguratif yang emncakup nilai-nilai dasar yang dominan sepert: nilai religius, nilai estetika, nilai solidaritas, nilai harmoni, dan nilai keseimbangan (Geriya 2000: 129). Kelima nilai dasar tersebut ditengarai mampu bertahan dan berlanjut menghadapi berbagai tantangan.
Ketahanan budaya Bali juga ditentukan oleh sistem sosial yang terwujud dalam berbagai bentuk lembaga tradisional seperti banjar, desa adat, subak (organisasi pengairan), sekaa (perkumpulan), dan dadia (klen). Keterikatan orang Bali terhadap lembaga-lembaga tradisional tersebut baik secara sukarela maupun wajib, telah mampu berfungsi secara struktural bagi ketahanan budaya Bali. Menurut Geertz (1959) orang Bali sangat terikat oleh beberapa lembaga sosial seperti tersebut di atas. Lembaga tradisional seperti desa adat dianggap benteng terakhir dari kebertahanan budaya Bali.
NAMA: LUH NELY ARSINI
ReplyDeleteNIM : 12.01.1.1.1000
SEMESTER VI REGULER SORE
Menurut pendapat saya,Kalau dilihat dari struktur baik dalam maupun luar tampak beberapa ciri yang melekat dalam kebudayaan Bali,dia lebih cendrung menunjukkan diri sebagai kebudayaan yang ekspresif, karena ada ruang yang luas dan sangat memberikan kemungkinan untuk berkembang secara variatif. Hal ini disebabkan karena struktur dalam menjadi esensi perpaduan yang utuh antara tradisi dan agama Hindu yang berintikan nilai relegi estetika, dan solidaritas. Nilai-nilai inilah merupakan suatu gambaran kalau kebudayaan Bali lebih merefleksikan diri sebagai kebudayaan ekpresif. Sedangkan dalam struktur luar kebudayaan Bali tentunya dibentuk dan dijiwai oleh struktur dalam. Dalam perjalanan kebudayaan Bali senantiasa diwarnai oleh proses adaptasi serta respon dinamis dari masyarakat Bali terhadap perkembangan yang terjadi di lingkungannya. Sehingga struktur luar kebudayaan Bali memperlihatkan keragaman bentuk dan variasi sesuai dengan adegium desa, kala, patra (tempat, waktu, keadaan) Ada beberapa konsep yang membangun dan melandasi struktur perkembangan kebudayaan Bali yang sampai sekarang ini masih tetap menjadi acuan bagi masyarakat Bali. Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui adanya perbedaaan ( rwa bhineda ), yang sering ditentukan oleh faktor ruang ( desa ), waktu ( kala ) dan kondisi riil di lapangan (patra ). Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh kebudayaan luar. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa komunikasi dan interaksi antara kebudayaan Bali dan budaya luar seperti India (Hindu), Cina, dan Barat khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan kreatifitas baru dalam seni rupa maupun seni pertunjukkan. Tema-tema dalam seni lukis, seni rupa dan seni pertunjukkan banyak dipengaruhi oleh budaya India. Menurut orang Bali masa lalu (athita ), masa kini ( anaghata ) dan masa yang akan datang ( warthamana ) merupakan suatu rangkaian waktu yang tidak dapt dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan manusia pada saat ini ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini juga menentukan kehidupan di masa yang akan datang. Dalam ajaran hukum karma phala disebutkan tentang sebab-akibat dari suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil yang baik. Demikian pula sebaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya juga buruk atau tidak baik bagi yang bersangkutan.Menurut saya melihat perkembangan orang bali Dulu dan kini Jaman dahulu, masyarakat Bali memiliki Budaya berbusana, hampir semua masyarakat bali hanya memakai busana pada bagian bawah saja, yaitu dari perut sampai ke kaki. Busana tersebut berbahan kain yang di pakai dan diikat dengan sebuah selendang sehingga berbentuk kamben. Sedangkan bagian atas, bisanya masyarakat Bali jarang menggunakan pakaian sehingga tubuh bagian atas tetap telanjang. Seiring kemajuan jaman dan teknologi, budaya berbusana ini ditinggalkan oleh masyarakat Bali. Saat ini masyarakat Bali sudah memakai busana tertutup, artinya masyarakat sudah memakai busana lengkap, baik bagian atas maupun bawah
Nama : Putu Eddy Putra Nusantara
ReplyDeleteNIM :12.01.1.1.1018
Jurusan : Manajemen Eksekutif
Orang Bali zaman silam yang dikenal sebagai yang berbudi pekerti luhur karena keyakinan atau kepercayaannya serta melaksanakan ajaran-ajaran Agama Hindu-Bali dengan baik, yang berjiwa halus terlihat dari budaya kesenian bermutu tinggi, yang ramah tamah, toleran, satya wacana, jujur, rendah hati, suka bergotong royong, dan nilai-nilai mulia lainnya, kini telah porak poranda karena orang Bali tidak mampu mempertahankannya karena sudah banyak yang menyimpang dari norma susila yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Bali pada zaman dahulu.
Salah satu norma susila yang diajarkan dan menjadi budaya orang Bali adalah Trihitakarana. Tri artinya ‘tiga’; hita artinya ‘kebaikan/ kebahagiaan’; dan karana artinya ‘yang menyebabkan’. Maksudnya: ada tiga hal yang akan menyebabkan kehidupan manusia baik atau bahagia. Tiga hal itu adalah: (1) Parhyangan: hubungan yang harmonis dan seimbang antara manusia dengan Tuhan, atau lebih jelas lagi, ketaatan manusia berbhakti dan melaksanakan ajaran-ajaran Agama. (2) Pawongan: hubungan yang harmonis dan seimbang antara sesama manusia, artinya membina kerukunan, persahabatan, toleransi, saling menghargai dan menghormati, saling membantu, bergotong royong, dan saling mengingatkan. Dalam slogan bahasa Bali sering disebut: Sagilik saguluk salunglung sabayantaka, paras paros sarpanaya, saling asah, saling asih, saling asuh. Terjemahannya: bersatu padu dalam suka-duka dan menghadapi bahaya, berembug dan bermusyawarah (menghargai pendapat orang lain), saling mengingatkan, saling menyayangi, dan saling menolong. (3) Palemahan: hubungan yang harmonis dan seimbang antara manusia dengan alam. Artinya manusia hendaknya memelihara dan menjaga kelestarian alam semesta, karena hidup manusia tergantung dari alam. Bila manusia merusak alam maka pada gilirannya alam-pun akan membinasakan manusia.
Pada masa sekarang, ‘orang Bali’ telah banyak melanggar Trihitakarana, Parhyangan, umat Hindu kini khususnya para remaja jika sembahyang ke pura selalu mengajak pasangan, sehingga terkadang sembahyang hanya menjadi kedok untuk bisa keluar bersama pasangannya. Nomor dua: pawongan. Akibatnya bisa dirasakan sendiri: kemelaratan, kesengsaraan, permusuhan, ke-tidak percayaan, dan sikap-sikap negatif lainnya. Orang Bali telah tergerus oleh pengaruh dari luar Bali, sehingga mereka lupa pada ajaran Agama Hindu-Bali, melalaikan Trihitakarana, karena pikiran sudah diracuni oleh apa yang dinamakan sadripu. Sadripu artinya enam musuh yang ada dalam diri setiap manusia, yaitu: kama (nafsu yang tak terkendali), lobha (serakah), kroda (marah), mada (mabuk), moha (sombong), dan matsarya (irihati/ dengki). Sadripu di setiap manusia akan bangkit menjadi asuri sampad (sifat-sifat keraksasaan). Ke tiga palemahan, untuk zaman sekarang masyarakat banyak yang membuang sampah sembarangan dan tidak menyayangi lingkungannya lagi. Menebang pohon sembarangan, semua semata hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadinya tanpa memikirkan dampaknya di kemudian hari.
Nama: I Gede Dedik Sudarma
ReplyDeleteNim. : 12.01.1.1.962
Smt . : VI reg sore
Kebudayaan yang beragam tersebutlah yang harus kita lestarikan dan jaga agar tidak punah tergerus oleh budaya modernisasi yang berkiblat pada negara Barat. Karena Budaya asli itulah yang menjadi alasan kenapa Bali bisa seterkenal seperti saat ini.
Bali yang kini menjelma menjadi Bali yang modern pasti berawal dari Bali masa Kuno,Bali yang lampau yang sebenarnya masih bisa kita nikmati kini kalau kita bisa menghormati dan melestarikan akar budaya tersebut. Bali tidak tiba-tiba menjadi sebuah pulau gemerlap nan modern seperti masa kini, tetapi Bali bermula dari suatu sejarah kebudayaan lampau yang setidaknya harus kita hormati karena bagian dari kekayaan budaya negara kita Indonesia
nama : komang yuliani
ReplyDeletenim ; 13.01.1.1.006
kelas : reg/sore
Kebudayaan Bali zaman dahulu sangat terkenal dengan budaya yang unik dan masyarakatnya yang memiliki budi pekerti luhur, maka tidak heran kalau Bali disebut sebgai surganya dunia. Selain itu masyarakat Bali zaman dulu terkenal dengan keramahannya. Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui adanya perbedaaan ( rwa bhineda ), yang sering ditentukan oleh faktor ruang ( desa ), waktu ( kala ) dan kondisi riil di lapangan (patra ). Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh kebudayaan luar. Kebudayaan Bali sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi mengenai hubungan manusia dengan Tuhan ( parhyangan ), hubungan sesama manusia (pawongan ), dan hubungan manusia dengan lingkungan ( palemahan ), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan). Apabila manusia mampu menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis dengan ketiga aspek tersebut maka kesejahteraan akan terwujud. Pulau Bali yang notabene masyarakatnya beragama Hindhu sangat percaya dengan adanya Panca Sradha yang berarti lima keyakinan agama Hindhu yaitu percaya dengan adanya Ida Sang Hyang Widhi Wasa, percaya dengan adanya Atman, percaya dengan adanya Karma Phala, percaya dengan adanya Punarbhawa, dan percaya dengan adanya moksa. Hal inilah yang mendasari masyarakat Bali dalam melakukan suatu tindakan, karena agama Hindhu sangat percaya dengan adanya hokum karma. Ketaatan masyarakat Bali yang membuat Pulau Bali zaman dulu sangat indah di mata dunia, namun Budaya Bali kekinian sangatlah berbeda dengan Bali zaman dulu yang selalu patuh dan memegang teguh prinsip agama Hindu. Kemajuan Globalisasi dan masuknya budaya luar ke Bali membuat Kebudayaan masyarakat Bali semakin melenceng dari apa yang sudah ada sebelumnya. Hal ini menjadi dilemma tersendiri untuk Pulau Bali, di salah satu sisi Pulau Bali saat ini mata pencaharianyya berasal dari sector pariwisata, di sisi lain masuknya budaya luar memberikan pengaruh negative terhadap Bali, baik dari segi kebudayaan maupun dari segi kebersihan Bali itu sendiri. Di sinilah diperlukan suatu keteguhan hati dalam menjaga Bali ini agar tetap menjadi Bali yang dikenal dulu oleh masyarakat luar, hal ini perlu dilakukan karena begitu banyaknya sebutan yang disematkan kepada Pulau Bali ini, jadi sudah menjadi tanggung jawab kita bersama sebagai warga masyarakat Bali dalam menjaga dan melestarikan apa yang sudah diwariskan oleh leluhur kita.
Nama : Made Widya Lini
ReplyDeleteNIM : 12.01.1.1.1008
Semester VI Reguler Sore.
Salah satu budayawan Indonesia Gunawan Mohamad atau yang lebih dikenal dengan nama pena GM memberikan pandangan subjektifnya mengenai orang Bali. Beliau mengungkapkan dalam bukunya yang berjudul Orang Bali Mahkota Indonesia bahwa orang Bali pada umumnya adalah representatif kemajemukan seni dan budaya yang dimiliki oleh Indnesia. Orang Bali dengan segala macam adat dan kekayaan alam yang dimiliki mampu menarik perhatian wisatwan mancanegara dan menyumbang banyak devisa negara. Oleh karena itu, salah jika ada orang yang mencela dan memarginalkan orang Bali. Dalam perspektif yang berbeda, Perempuan Bali adalah pengejawantahan kekuatan Pulau Seribu Pura tersebut dalam menyusui generasi bangsa yang moderat. Berangkat dari lingkup pandangan GM, Sudjiwo Tedjo juga pernah mengungkapkan bawah Bali adalah bagian mahkota Indonesia yang menjadi daya tari wisata. Orang Bali adalah orang Indonesa dengan kepribadian dan kebudayaan unik. Meskipun separasi kasta yang tercipta dalam sistem sosial masyarakat Bali, itu tidak lantas membuat mereka terpecah belah. Hal tersebut malah membuat orang Bali mengerti lebih dalam mengenai tatanan, bagian, dan kodrat mereka.
Berbicara masyarakat Bali masa kini, ada sedikit pergeseran gaya hidup dan tatanan sosial yang dulu melekat erat pada sendi-sendi kehidupan masyarakat Bali. Yakni kurangnya tradisi menyamabraya (atau asas kebersamaan dalam segala hal) dan gaya hidup yang mulai menampakkan westernisasi. Namun demikian, masih banyak warga Bali asli yang memegang teguh tradisi dan sistem sosial yang ada. Oleh karena itu, kita tidak boleh mengklasikalkan pengertian orang Bali hanya dengan sudut pandang sebelah mata.
Kebudayaan Bali acapkali diidentikkan dengan agama Hindu. Terdapat beberapa alasan yang memperkuat pernyataan tersebut, yaitu : Pertama, mayoritas penduduknya menganut Hindu Dharma yang tercermin dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, mulai mereka bangun pagi, melaksanakan kegiatan keseharian, sampai pada ketika mereka melakukan aktivitas kesenian, seluruhnya mencerminkan nilai-nilai Hindu. Kedua, tata kemasyarakatan diatur dengan tertib berdasarkan prinsip harmoni Tri Hita Karana, yaitu keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhan, keselarasan hubungan manusia dengan manusia, dan keselarasan hubungan manusia dengan lingkungannya. Ketiga, masyarakat Bali memiliki aneka ragam kesenian persembahan dan tontonana yang sarat dengan nilai filsafat kehidupan, terutama berhubungan dengan konsepsi dualisme yang dibuat hitam-putih, bahwa perilaku yang dilandasi oleh kecurangan, kejahatan, ketidakjujuran, keserakahan pada akhirnya akan mengalami kekalahan dan kehancuran.
Ketiga fenomena itu lahir dari tatanan nilai Hindu Dharma, terutama pada dorongan konsepsi bakti marga dan karma marga. Anggota masyarakat Bali disosialisasikan dan dibesarkan oleh tuntutan hati nurani untuk mempersembahkan yang terbaik dari yang mereka miliki, mereka terbiasa bekerja tanpa motivasi akan hasil yang berlebihan. Dengan landasan moral Hindu Dharma, mereka berusaha bekerja sebaik-baiknay sebagai landasan bentuk persembahan. Karena itu, bagi sebagian besar masyarakat Bali kerja adalah yadnya. Disamping itu, penyerahan diri (bhakti) dan kerja sebagai pengabdian (yadnya) telah menempatkan pentingnya kedudukan konsepsi catur purusa artha. Bahwa tujuan akhir dari kehidupan ini adalah menyatukan parama atman dengan atman, karena itu setiap usaha pencapaian artha dan kama senantiasa dilandasi dharma dan smeua itu pada akhirnya diarahkan untuk pencapaian kelepasan.
Nama : i komang suara yasa
ReplyDeleteNIM : 12.01.1.1.955
Semester VI Reguler Sore.
Budaya Bali adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh masyarakat Bali dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan karya seni.
Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Budaya memiliki sifat yang tidak kekal, seiring perkembangan jaman suatu dapat berubah-ubah sesuai dengan pengaruh atau atau kemajuan ilmu dan teknologi. itulah sebabnya bali yang dulu mengalami banyak perubahan di masa kini (era modernisasi), banyak kebudayaan bali yang telah hilang namun ada juga yang masih tersisa sampai saat ini.
Nama: Desak Komang Antarini
ReplyDeleteNim: 12.01.1.1.990
Semester VI Reguler Sore
Menurut pendapat saya, ada beberapa faktor yang menonjol dalam perubahan Bali jaman dulu dan sekarang yaitu:
Desain bangunan: Desain rumah masyarakat Bali bahwa bentuk rumah yang sangat sederhana. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan rumah juga sangat sederhana. Bahan-bahan yang digunakan anatara lain tanah yang ditumpuk-tumpuk sehingga berwujud tembok dan atap rumahnya menggunakan rumput lalang atau daun kelapa. Tradisi rumah ini mulai ditinggalkan saat ada pengaruh dari luar dan pengaruh jaman dan teknologi seperti sekarang ini. Saat ini masyarakat khususnya di Bali menganggap bangunan seperti itu sudah "ketinggalan jaman". Masyarakat seolah-olah berlomba membuat bangunan rumah senyaman mungkin. Mengenai tata ruang bangunanpun saat ini sudah tidak diperhatikan lagi. Masyarakan sekreatif mungkin membuat bangunan yang menarik tanpa memperhatikan tata ruang yang biasa dibuat oleh masyarakat jaman dulu.
Busana/Pakaian Masyarakat Bali: Jaman dahulu, masyarakat Bali memiliki Budaya berbusana Hampir semua masyarakat bali hanya memakai busana pada bagian bawah saja, yaitu dari perut sampai ke kaki. Busana tersebut berbahan kain yang di pakai dan diikat dengan sebuah selendang sehingga berbentuk kamben. Sedangkan bagian atas, bisanya masyarakat Bali jarang menggunakan pakaian sehingga tubuh bagian atas tetap telanjang. Seiring kemajuan jaman dan teknologi, budaya berbusana ini ditinggalkan oleh masyarakat Bali. Saat ini masyarakat Bali sudah memakai busana tertutup, artinya masyarakat sudah memakai busana lengkap, baik bagian atas maupun bawah.
Transportasi Gedebeg:
Alat transportasi gedebeg merupakan sarana transportasi yang dimiliki oleh masyarakat Bali pada jaman dulu. Alat transportasi ini berbentuk gerobak, yang terbuat dari kayu yang dipergunakan untuk mengangkut barang, terbuat dari kayu yang berbentuk rumah kecil dan tenaga yang digunakan sebagai penarik transportasi ini adalah seekor kerbau. alat transportasi ini biasanya digunakan untuk mengankut hasil pertanian atau barang dagangan yang akan dibawa ke pasar. Seiring perkembanggan jaman dan teknologi alat transportasi ini sudah ditinggalkan karena kurang evisiensi waktu.
Permainan Tradisional Bali : Permainan Tradisional Bali sekarang jarang bisa kita temukan apalagi di daerah perkotaan, perkembangan tekhnologi yang pesat hampir menenggelamkan mereka. Ada puluhan bahkan ratusa permainan tradisional yang ada, orang tua juga seolah-olah tidak memperhatikan dan cenderung tidak mampu mengarahkan anak-anak mereka dalam melakukan permainan yang memang ternyata cukup susah, karena permainan tradisional lebih menonjolkan permainan berkelompok yang membutuhkan kekompakan dan kebersamaan dan secara tidak langsung mendidik anak itu lebih bisa mengenal lingkungannya yang majemuk, bergaul dengan tidak memandang status sosial dan kebersamaanya, kesetiakawanan dengan suasana ceria di lingkungan mereka.
Banyak permainan tradisional yang ada di Bali seperti; meong-meongan, megoak-goakana, metajog, nyen durine nyongkok, engkeb–engkeban, main gangsing, main tajog. Dengan perkembangan iptek yang pesat, anak-anak cenderung menggunakan tekhnologi yang ada seperti video games yang bisa dimainkan dari handphone, play station dan melalui internet. Mereka sepertinya lebih asik bermain alat tersebut, tidak lagi berinteraksi dengan lingkungan dengan teman sesamanya. Mereka hanya terfokus untuk menang mengumpat kalau kalah. Anak-anak sampai kecanduan dan tidak fokus belajar, apalagi permainan yang menggunakan handphone yang katanya ada ‘radiasi‘ yang bisa mempengaruhi sel-sel tubuh dan perkembangan otak, ini tentunya akan sangat berbahaya bagi perkembangan anak. Peran aktif orang tua sangat dibutuhkan dalam mengarahkan dan membimbing mereka.
Nama : Kadek Sri Wahyuni
ReplyDeleteNIM : 12.01.1.1.1006
Smstr : 6/ Reguler Sore
Kehidupan masyarakat bali pada jaman dulu dan sekarang tentunya berbeda. Hal itu dapat dilihat dari Desain rumah masyarakat Bali pada jaman dulu rumah yang sangat sederhana. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembutan rumah juga sangat sederhana. Bahan-bahan yang digunakan anatara lain tanah yang ditumpuk-tumpuk sehingga berwujud tembok dan atap rumahnya menggunakan rumput lalang atau daun kelapa. Tradisi rumah ini mulai ditinggalkan saat ada pengaruh dari luar dan pengaruh jaman dan teknologi seperti sekarang ini. Saat ini masyarakat khususnya di Bali menganggap bangunan seperti itu sudah "ketinggalan jaman". Masyarakat seolah-olah berlomba membuat bangunan rumah senyaman mungkin. Mengenai tata ruang bangunanpun saat ini sudah tidak diperhatikan lagi. Masyarakan sekreatif mungkin membuat bangunan yang menarik tanpa memperhatikan tata ruang yang biasa dibuat oleh masyarakat jaman dulu.
Jaman dahulu, masyarakat Bali memiliki Budaya berbusana. Hampir semua masyarakat bali hanya memakai busana pada bagian bawah saja, yaitu dari perut sampai ke kaki. Busana tersebut berbahan kain yang di pakai dan diikat dengan sebuah selendang sehingga berbentuk kamben. Sedangkan bagian atas, bisanya masyarakat Bali jarang menggunakan pakaian sehingga tubuh bagian atas tetap telanjang. Seiring kemajuan jaman dan teknologi, budaya berbusana ini ditinggalkan oleh masyarakat Bali. Saat ini masyarakat Bali sudah memakai busana tertutup, artinya masyarakat sudah memakai busana lengkap, baik bagian atas maupun bawah.
Permainan Tradisional Bali sekarang jarang bisa kita temukan apalagi di daerah perkotaan, perkembangan tekhnologi yang pesat hampir menenggelamkan mereka. Ada puluhan bahkan ratusa permainan tradisional yang ada, orang tua juga seolah-olah tidak memperhatikan dan cenderung tidak mampu mengarahkan anak-anak mereka dalam melakukan permainan yang memang ternyata cukup susah, karena permainan tradisional lebih menonjolkan permainan berkelompok yang membutuhkan kekompakan dan kebersamaan dan secara tidak langsung mendidik anak itu lebih bisa mengenal lingkungannya yang majemuk, bergaul dengan tidak memandang status sosial dan kebersamaanya, kesetiakawanan dengan suasana ceria di lingkungan mereka.
Lanjutan.....
ReplyDeleteNama : Kadek Sri Wahyuni
NIM : 12.01.1.1.1006
Smstr : 6 / Reguler Sore
Banyak permainan tradisional yang ada di Bali seperti; meong-meongan, megoak-goakana, metajog, nyen durine nyongkok, engkeb–engkeban, main gangsing, main tajog. Dengan perkembangan iptek yang pesat, anak-anak cenderung menggunakan tekhnologi yang ada seperti video games yang bisa dimainkan dari handphone, play station dan melalui internet. Mereka sepertinya lebih asik bermain alat tersebut, tidak lagi berinteraksi dengan lingkungan dengan teman sesamanya. Mereka hanya terfokus untuk menang mengumpat kalau kalah. Anak-anak sampai kecanduan dan tidak fokus belajar, apalagi permainan yang menggunakan handphone yang katanya ada ‘radiasi‘ yang bisa mempengaruhi sel-sel tubuh dan perkembangan otak, ini tentunya akan sangat berbahaya bagi perkembangan anak. Peran aktif orang tua sangat dibutuhkan dalam mengarahkan dan membimbing mereka. Namun di tengah tengah perrubahan ada budaya masyarakat hindu di bali yang masih tetap terjaga yaitu Upacara Ngaben, Ogoh-ogoh dan tradisi omed-omedan(daerah tertentu).
NAMA : I GUSTI NYOMAN ADI WIGUNA
ReplyDeleteNIM : 12.01.1.1.954
SEMESTER/ KELAS : 6/ REGULER SORE
Budaya ya bisa disebut dengan kebiasaan yang di lakukan secara terus-menerus, kebiasaan ya tindakan yang benar-benar dijalankan. Orang Bali adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan YME dan Ida Sang Hyang Widhi Tuhannya orang hindu yang paling sempurna di antara ciptaannya yang lain yang tinggal, menetap, dan menjadi darah keturunan di Bali. Jadi Budaya Orang Bali merupakan kebiasaan-kebiasaan yang sudah mendarah daging yang dilakukan oleh orang-orang Bali.
Ngomong-ngomong soal Bali, eh, Bali sekarang udah berubah ya? Ya iyalah begitu kata orang yang dimakan, dirasuki, dan di gempur oleh zaman. Begitu dengan Bali yang berubah dari segi budaya dan segala halnya, kenapa kita berubah? Apakah kearah positif atau negative?
Pertanyaan kenapa Bali berubah ya karena Bali sudah membuka diri dan welcome untuk semua orang yang ingin ke Bali dan menerima semua budaya dibawa dan yang di anggap bisa di terapkan di Bali, kalau tidak mau membuka diri ya Bali tidak berubah.
Apakah positif atau negative ya tergantung bagaimana kita menerimanya kalau ingin bali menjadi rusak ya terima-terima saja jangan di pilah-pilah dulu, kalau Bali ingin tetap Bersih Aman Lestari Indah ya kita pilihlah yang sesuai dengan budaya lokal kita.
Simple sekali sebenarnya permasalahan ini, semakin berani Bali membuka diri ke dunia luar maka godaan gempuran dan hal-hal yang berbau meng’enyahkan Bali , budaya Bali beserta jajarannya akan sangat mudah sekali masuk. Disinilah tantangannya bagaimana orang Bali menyikapinya.
Jaga dan lestarikanlah kearifan lokal, namun jangan tolak undangan yang datang. Bergabunglah dengan memakai namamu sendiri dan berlarilah hingga keujung dunia hingga kau sampai pada porosmu lagi, mungkin begitu kata “joged yang di akulturasikan dengan music EDM” sehingga menjadi go internasional dan dikenal dunia luar sehingga bisa mensejahterakan rakyatmu dengan puing-puing dolar, namun ingat jangan sampai kau memberikan tanah legendamu dan kau tukar hanya dengan secawan bakso, mungkin begitu juga kata Ibu pertiwi di Bali.
Nama : Putu Eka Febriana
ReplyDeleteNim : 13.01.1.1.191
Kelas :Eksekutif
Kebudayaan Bali dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui adanya perbedaaan ( rwa bhineda ), yang sering ditentukan oleh faktor ruang ( desa ), waktu ( kala ) dan kondisi riil di lapangan ( patra ). Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh kebudayaan luar. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa komunikasi dan interaksi antara kebudayaan Bali dan budaya luar seperti India (Hindu), Cina, dan Barat khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan kreatifitas baru dalam seni rupa maupun seni pertunjukkan. Tema-tema dalam seni lukis, seni rupa dan seni pertunjukkan banyak dipengaruhi oleh budaya India. Demikian pula budaya Cina dan Barat/Eropa memberi nuansa batu pada produk seni di Bali. Proses akulturasi tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan adaptif khususnya dalam kesenian sehingga tetap mampu bertahan dan tidak kehilangan jati diri (Mantra 1996).
Kebudayaan Bali sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi mengenai hubungan manusia dengan Tuhan ( parhyangan ), hubungan sesama manusia (pawongan), dan hubungan manusia dengan lingkungan ( palemahan ), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan). Apabila manusia mampu menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis dengan ketiga aspek tersebut maka kesejahteraan akan terwujud.
Selain nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi, dalam kebudayaan Bali juga dikenal adanya konsep tri semaya yakni persepsi orang Bali terhadap waktu. Menurut orang Bali masa lalu ( athita ), masa kini ( anaghata ) dan masa yang akan datang ( warthamana ) merupakan suatu rangkaian waktu yang tidak dapt dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan manusia pada saat ini ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini juga menentukan kehidupan di masa yang akan datang. Dalam ajaran hukum karma phala disebutkan tentang sebab-akibat dari suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil yang baik. Demikian pula seBaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya juga buruk atau tidak baik bagi yang bersangkutan.
Kebudayaan Bali juga memiliki identitas yang jelas yaitu budaya ekspresif yang termanifestasi secara konfiguratif yang emncakup nilai-nilai dasar yang dominan sepert: nilai religius, nilai estetika, nilai solidaritas, nilai harmoni, dan nilai keseimbangan (Geriya 2000: 129). Kelima nilai dasar tersebut ditengarai mampu bertahan dan berlanjut menghadapi berbagai tantangan.
Beberapa Perubahan Paling Drastis Dalam Masyarakat Bali Dulu dan Kini.
Dahulu, Bali tergolong pulau agraris dimana sebagian besar masyarakatnya bertani dan berkebun. Lalu berubah menjadi pariwisata. Beberapa tahun belakangan ini, tidak lagi sekedar pariwisata, sudah bergeser menjadi multi-profesi dan multi-aktivitas.
Sebagai bagian dari Indonesia, Bali juga mendapat pengaruh dari perubahan-perubahan yang terjadi di tingkat nasional—teknologi, komunikasi, ekonomi, politik hingga budaya. Perubahan dari era pemerintahan Soeharto (orde baru) ke era pemerintahan pasca-Soeharto (reformasi) misalnya, membawa pengaruh kuat bagi kehidupan sosial dan politik di Bali, yang pada akhirnya mendorong terjadinya perubahan dalam berbagai aspek.
Begitu banyak perubahan dalam masyarakat Bali belakangan ini. Ada perubahan yang menurut sebagian orang bisa jadi positive, ada juga yang negative. Ada perubahan yang menurut sebagian orang bisa jadi baik, ada juga yang tidak baik.
lanjutan..
ReplyDelete“Beberapa Perubahan Paling Drastis Dalam Masyarakat Bali”
1. Perubahan Aktivitas dan Etos Kerja
Dalam era dimana sebagian besar masyarakat berstatus petani, etos kerja masyarakat Bali mungkin terlihat lamban dan cenderung santai. Tentu saja, karena aktivitas bertani memang tidak bisa diburu-buru, semua memakai hitungan masa (misalnya: padi baru bisa dipanen setelah berusia 3 bulan, tidak bisa dipercepat).
Banyaknya waktu luang inilah yang membuat masyarakat Bali, di era itu, selalu punya waktu untuk aktivitas-aktivitas berkesenian dan melestarikan budaya (misalnya: mekekawin, megeguritan, megenjekan, megambel, menari, main arja, ngerindik, meniup seruling, membaca lontar, dlsb). Sehingga bagi orang di luar Bali, etos kerja masayarakt Bali pada saat itu dianggap santai.
Etos kerja masyarakat Bali saat ini sudah berubah drastis, menjadi super sibuk, “time-is-money” kata mereka. Perubahan ini tentu terjadi akibat perubahan mata pencaharian yang begitu drastis dan ledakan angkatan kerja yang mengakibatkan kempetisi menjadi begitu ketat. Libur sehari untuk menengok upacara keluarga misalnya, jatah antrean nyupir di halaman hotel sudah diambil-alih orang lain. Tutup kantor sekali, pelanggan sudah marah-marah.
Sehingga, hampir sudah tidak ada waktu lagi untuk ‘menyama-braya’. Melihat orang bertegur sapa di jalanan, saat ini, adalah kejadian langka, ajaib, atau malah dipandang aneh (“terlalu basa-basi, lebian tutur,” kata mereka), kecuali di desa-desa yang jauh di kaki bukit sana.
2. Perubahan Nama
Mungkin bisa diperdebatkan. Tetapi ini fakta bahwa perubahan penggunaan nama di kalangan masyarakat Bali, dewasa ini, tergolong drastis.
Generasi yang lahir sebelum tahun 70an masih banyak yang menggunakan nama yang menurut masyarakat di luar Bali, unik. Disebut unik karena benar-benar hanya ada di Bali. Misalnya: I Wayan Konten, I Made Simpen, I Gede Dokar, Ni Luh Pujut, Anak Agung Gede Raka, I Putu Danu, AA Putu Keramas, Ni Nyoman Ceraki.
Di Era 70-80, penamaan anak sudah mulai bergeser ke nasional, meniru nama artis ibu kota atau tokoh publik: I Gede Doni (aktor Doni Damara), I Kadek Toni (artis Toni Koeswoyo), Anak Agung Jhoni (aktor Jhoni Indo), Ida Ayu Mariana (artis Dina Mariana), I Putu Deni, I Kadek Edi, Putu Gede Budianto, dan lain sebagainya.
Sekarang, perubahan penamaan anak sangat drastis. Yang mungkin menjadi aneh bagi masyarakat di luar Bali terutama yang pernah tinggal lama di Bali adalah adanya kecenderungan untuk tidak menggunakan “I” atau “Ni” di depan nama, sehingga namanya menjadi: Made Joddie Sijatmika, Luh Cyntia Nugraha, Ayu Michelle Arianta, Putu Ambrose Kusuma, atau Nyoman Sri Siva Kemala Devi, Ida Bagus Krishna Aditama, Anak Agung Istri Vedayanti Uttari.
3. Perubahan Bahasa
Sepuluh tahun lalu kita masih sering mendengar percakapan, di warung-warung atau terminal, yang menggunakan bahasa Bali murni tanpa dicampur dengan bahas lain. Saat ini, sulit ditemukan. Satu-satunya wilayah dimana bahasa Bali cukup sering digunakan hanya di desa-desa, itupun sudah bercampur-campur, sejak siaran sinetron TV nasional mulai merambah hingga ke pelosok-pelosok. Sebagian besar masyarakat Bali sudah lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia.
Beruntung karena sampai saat ini sekolah masih mengajarkan bahasa Bali, meskipun dalam porsi waktu yang sangat minimal.
Disamping masalah efektifitas (berbahasa Bali konon “ribet”), banyak juga yang beralasan bahwa menggunakan bahasa Indonesia bisa meminimalkan kesalahan dalam menggunakan bahasa ‘sor-madia-singgih’.
lnjutan..
ReplyDelete4. Perubahan Busana
Dahulu, yang namanya ‘kamen’ (kain) adalah pakaian sehari-hari. Saat ini kamen hanya digunakan dalam acar-acara tertentu seperti: persembahyangan atau upacara dan upakara adat. Selebihnya, pria dan wanita Bali sudah seperti layaknya pria dan wanita modern—memakai celana panjang atau pendek.
Dahulu, pakaian adat Bali menggunakan pakem tertentu, setiap detail pakaian mengandung makna simbolis. Sekarang, pakaian pengantin pria Bali misalnya, sudah sulit dibedakan dengan pakaian adat Sumtera yang menggunakan ‘Baju Bodo’ atau boleronya Aziz Gagap di acara OVJ. Sudah jauh dari pakem aslinya.
Perubahan ini, tentu tak lepas dari proses industrilisasi secara umum—dimana makin cepat perubahan, makin pendek siklus, makin tinggi permintaan, makin banyak yang bisa diproduksi, makin banyak uang mengalir ke dalam rekening.
5. Perubahan Makanan dan Minuman
Selera makan orang Bali juga sudah banyak mengalami perubahan. Makanan khas Bali biasanya pedas, banyak merica dan rempah. Sekarang sudah tidak ada bedanya dengan masakan jawa atau padang, cenderung manis atau sedang. Itupun belum cukup bagi masyarakat Bali saat ini; dagang bakso dan soto selalu lebih ramai dibandingkan dagang nasi lawar atau siobak Buleleng. Ini jelas representasi dari pergeseran selera makanan.
Yang namanya ‘berem’, sudah langka. Selera minum orang Bali saat ini adalah beer atau wine. Dahulu orang Bali tak kenal yang namanya ‘kebab turki’ atau ‘sashimi’. Sekarang, gerai makanan cepat saji seperti ini telah menjamur dan selalu dipadati oleh masyarakat Bali.
6. Perubahan Gaya Hidup dan Pergaulan
Mata pencaharian dan profesi yang berubah juga berakibat pada perubahan gaya hidup. Aktivitas dan kehidupan masyarakat Bali di jaman dahulu yang lebih banyak berada di sekitar desa dan balai banjar kini sudah jauh bergeser.
Atu Aji, Gung Aji dan Pak De yang dahulu selalu punya waktu untuk mekekawin di balai Banjar, kini sudah lebih sering nongkrong di “Kudeta” atau “Blue Eyes”—untuk entertain relasi bisnis. Pak Wayan, Pak Made dan Pak Ketut yang dahulu sering main Arja sekarang sudah sibuk seminar ini-itu dan sosialiasi ini-itu, untuk menggalang simpati, suara dan dukungan pileg dan pilkada.
Atu Biyang dan Bik I Luh yang dahulu sering terlihat ‘nyait tamas’, kini lebih sering pergi ke pusat-pusat perbelanjaan, butiq atau SPA. Gus Tu, Gung De dan Yan Ajus yang dahulu rajin megambel sekarang sudah lebih sering track-trackan di lapangan Renon atau balapa mobil gelap di Bypass Ngurah Rai ala film “Fast and Furious”.
7. Perubahan Orientasi dan Pola Pikir
Orang Bali dahulu, yang dikagumi oleh orang barat, menempatkan norma di atas segalanya, apa-apa menggunakan ukuran normatif, mereka memegang prinsip “lek” (malu, nggak enak), bahkan untuk mengambil sesuatu yang menjadi haknya sekalipun. Itu sebabnya orang asing senang dan percaya sepenuhnya dengan orang Bali. Bukan karena orang asingnya pelit atau memanfaatkan sifat pemalunya orang Bali jaman dahulu, melainkan karena sangat menghargai pola pikir dan orientasi orang Bali yang jauh dari ketamakan.
Orang Bali yang sekarang, cenderung pragmatis; kalau sudah urusan uang/harta tak ada istilah “lek”. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana para pedagang acung, di daerah wisata, yang kerap setengah memaksa turis untuk membeli barang dagangannya.
8. Perubahan Etika
Seiring dengan gaya hidup, orientasi, dan pola pikir, etikapun mengalami perubahan yang cukup drastis baik dari ucapan maupun perilaku.
Figur seorang ‘guru’ (rupaka, pengajian dan wisesa) dahulu adalah sosok yang sangat dihormati di Bali, di dengarkan wejangan dan arahannya, dimanapun berada. Saat ini, sudah nyaris tanpa batas.
.
9. Perubahan Agama
Bukan hanya bagian luar, perubahan drastis juga terjadi hingga ke bagian dalam, yaitu: agama.
Di kalangan orang Bali sendiri banyak yang mengkhawatirkan kemungkinan perubahan status Bali sebagai “pulau seribu Pura” sebentar lagi tinggal kenangan.
Nama : Ketut Artha Dana
ReplyDeleteNIM : 12.01.1.1.975
Smstr : 6 / Reguler Sore
Arsitektur rumah adat di desa-desa di Bali merupakan salah satu unsur budaya yang unik yang memiliki ciri khas tersendiri. Berbeda dengan tipe rumah hunian modern masa kini, rumah Bali menggunakan aturan-aturan masa lampau daerah setempat. Beberapa bangunan tersebar di petak tanah yang luas yang dibagi menjadi bangunan di masing-masing sisi mata angin. Sehingga di rumah terdapat Bale Daje (petak bangunan yang berada di Utara), Bale Dauh, Bale Delod, Bale dangin, Paon (Dapur), Sanggah (Tempat ibadah) dan Tebe (kebun luas di belakang rumah). Beberapa kawasan lain di Bali memiliki tipe rumah yang berbeda dengan tipe rumah di pada umumnya. Perbedaan tersebut disebabkan oleh wilayah dan akar budaya yang berkembang di wilayah tersebut yang bersumber pada budaya desa tradisional Bali. Terdapat banyak desa tradisional di Bali yang tersebar di seluruh wilayah Bali. Desa tradisional tersebut hingga kini masih ada dan masih menggunaan sistem-sistem tradisional walau beberapa diantaranya sudah agak tergerus zaman. Bali memiliki arsitektur bangunan yang sangat unik, bahkan beberapa pengusaha bangunan adat bali mengekspor ke luar negeri . Namun Arsitektur bali yang unik tersebut mulai pudar keberadaannya dan tergeser oleh bangunan minimalis yang menjadi trendsenter beberapa bangunan seperti rumah tinggal di Bali.
terimakasihi banyak, sangat menarik sekali ya,,,
ReplyDeletehttp://acemaxsshop.com/
Nama : Gd Arista Dharma Suputra
ReplyDeleteNIM : 13.01.1.1.058
Jurusan : Manajemen Reguler Sore
Bali merupakan daerah atau pulau yang memiliki beraneka macam ragam budaya adat istiadat. mulai dari alam sampai dengan budaya masyarakat itu sendiri. mungkin yang menarik untuk dibahas adalah sistem kasta orang bali. di bali dikenal dengan adanya kasta. kasta adalah kelas, ras, keturunan, atau golongan. di bali sendiri terdapat empat tingkatan kasta. yaitu brahmana, ksatriya, wesya, dan sudra.
Dalam sistem kasta di Bali dikenal dengan adanya pengelompokan masyarakat ke dalam 4 (empat) kasta yakni : Brahmana, Ksatriya, Weisya, dan Sudra. Dalam hubungan keempat kasta ini masyarakat yang berasal dari kasta triwangsa, yakni yang berasal dari kasta brahmana, ksatriya, dan weisya sangat memegang peranan
dalam kehidupan masyarakat Bali, bahkan dalam era otonomi daerah dengan pelaksanaan Pilkada peranan kasta triwangsa juga sangat berperan penting dalam masyarakat untuk memilih Bupati/Wakil Bupati.
Dalam pergaulan sehari-hari pun masyarakat yang berkasta sudra berkedudukan sangat rendah. Seperti misalnya seorang yang berasal dari kasta sudra harus menggunakan Sor Singgih Basa, untuk menghormati kasta-kasta yang lebih tinggi.
kasta menurut saya hal yang sangat penting. misalkan bisa diambil contoh adalah dalam hal pernikahan. untuk msayarakat bali yang menjunjung tinggi kasta, dalam hal jodoh kasta adalah hal yang paling penting. misalkan, ketika sang pria yang memiliki kasta brahmana, ksatriya, maupun weisya, sang pria bisa menikahi wanita di bawah kasta ataupun sudra. tetapi ketika kasta wanita lebih tinggi dibandingkan dengan kasta pria, hal ini adalah sesuatu yang diperdebatkan samapi dengan titik darah penghabisan. dari sisi wanita, istilah "nyerod" akan tercetak di dahi sang wanita yang akhirnya memiliki kasta di bawah kasta asli wanita tersebut. tetapi belakangan ini, di era modern ini, tidak sedikit, wanita yang "nyerod" alias turun kasta. kejadian ini adalah fenomena nyata yang terjadi di Bali. atas dasar suka sama suka, hal ini bisa saja terjadi. tetapi tidak sedikit juga masih banyak yang benar-benar kokoh pada pendiriannya mengenai kasta. bahwa kaum sudra masih di anggap kaum paling bawah. Bahkan menurut saya Ida Sang Hyang Widhi pun tidak pernah membeda-bedakan makhluk ciptaanya, bahkan dengan kasta sekalipun. Jadi menurut pandangan saya mengenai kasta, kasta dulu dan sekarang masih sangat kental di kalangan masyarakat hindu Bali.
PUTU DINA HANDAYANI
ReplyDelete013.01.1.1.033
REGULER SORE
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Budaya Bali adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh masyarakat Bali dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Budaya memiliki sifat yang tidak kekal, seiring perkembangan jaman suatu dapat berubah-ubah sesuai dengan pengaruh atau atau kemajuan ilmu dan teknologi. Arus perubahan tidak bisa dihindari. Seperti masyarakat di daerah lain, Bali juga mengalami perubahan, dan itu terjadi sudah sejak dahulu. Hanya saja, perubahan masyarakat Bali beberapa tahun belakangan ini tergolong drastis. Dahulu, Bali tergolong pulau agraris dimana sebagian besar masyarakatnya bertani dan berkebun. Lalu berubah menjadi pariwisata. Beberapa tahun belakangan ini, tidak lagi sekedar pariwisata, sudah bergeser menjadi multi-profesi dan multi-aktivitas.
Nama : Kadek Dedi Kerta Sujaya
ReplyDeleteNIM : 12.01.1.1.1061
Semester : VI (enam)
Kelas : Reguler Sore
Menurut saya dahulu Bali tergolong pulau agraris dimana sebagian besar masyarakatnya bertani dan berkebun. Lalu berubah menjadi pariwisata. Beberapa tahun belakangan ini, tidak lagi sekedar pariwisata, sudah bergeser menjadi multi-profesi dan multi-aktivitas.
Ada 2 faktor utama yang mendorong terjadinya perubahan drastis di Bali, belakangan ini, yaitu, pengaruh global dan pengaruh nasional.
Di kancah dunia, Bali tergolong salah satu tujuan wisata favorit, sejak dahulu. Disamping keindahan panorama dan kelestarian budayanya, Bali juga terkenal dengan masyarakatnya yang rata-rata kreatif dan memiliki talenta seni—mulai dari seni tari, seni tabuh, lukis, pahat (ukir dan patung) hingga seni tattoo tubuh.
Hubungan masyarakat Bali dengan masyarakat global saat ini tidak lagi sekedar ‘guide-dan-turis’ atau ‘seniman-dan-penikmat seni’, melainkan sudah berubah menjadi hubungan antara ‘bawahan-dan-atasan’ atau ‘pedagang-dan-pelanggan’ atau ‘pebisnis-dan-partner bisnis’. Tak sedikit juga yang berupa hubungan ‘pasien-dan-dokter’ atau ‘fotografer-dan-model’ atau ‘murid-dan-guru’, bahkan ‘tetangga-dan-tetangga ekspatriat’. Perubahan frekwensi dan intensitas hubungan antara masyarakat Bali dan masyarakat global yang kian meningkat, tidak sekedar melahirkan orang bule yang ‘ke-Bali-Balian’—dalam jumlah relative sedikit, melainkan juga melahirkan orang Bali ‘ke-bule-bule-an’ yang justru lebih banyak. Sebagai bagian dari Indonesia, Bali juga mendapat pengaruh dari perubahan-perubahan yang terjadi di tingkat nasional—teknologi, komunikasi, ekonomi, politik hingga budaya. Perubahan dari era pemerintahan Soeharto (orde baru) ke era pemerintahan pasca-Soeharto (reformasi) misalnya, membawa pengaruh kuat bagi kehidupan sosial dan politik di Bali, yang pada akhirnya mendorong terjadinya perubahan dalam berbagai aspek. Begitu banyak perubahan dalam masyarakat Bali belakangan ini. Ada perubahan yang menurut sebagian orang bisa jadi positive, ada juga yang negative. Ada perubahan yang menurut sebagian orang bisa jadi baik, ada juga yang tidak baik. Demikianlah tanggapan saya mengenai artikel Dulu Dan Kini Orang Bali.
Nama : Made Yoko Darmastara Yasa
ReplyDeleteNim : 13.01.1.1.173
Semester : Ampulen
Komentar :
Orang asli Bali memang unik dan penuh dengan tradisi, contoh nyata bagaimana ekspresi (kata-kata) orang Bali saat mendapat musibah, pasti terselip kata “aget” (untung) di awal kalimatnya, “aget sing lung limane ulung…” aget….. nah itulah salah satu keunikan orang Bali, bagaimana menyikapi, sebuah musibah dengan menyisakan rasa syukur di balik kata “aget” itu. Ekspresi memang sangat penting, tapi dengan suatu batasan manusia bisa lebih mengendalikan diri. Ajaran “Karma Phala” (buah dari perbuatan) memang sangat ampuh menjadi benteng yang mampu membuat orang bali yaitu umat Hindu untuk lebih mawas dalam bertingkah laku maupun bertutur kata. Namun di era kekinian ajaran-ajaran murni mulai tergerus seiring dengan perkembangan jaman, karena banyak generasi muda kita yang mengenal ajaran agama sebatas teori tanpa praktek yang berarti. Maka sangat diperlukan sebuah resolusi bagaimana menjadikan ajaran agama menjadi suatu yang benar- benar mendarah daging dan menyusup di benak manusia yang mulai terpesona oleh kesenangan duniawi. Ini bukan perkara mudah dan bukan tanggung jawab segelintir pihak saja, ini dalah tanggung jawab kita bersama.
Nama ; Luh sri Budiani
ReplyDeleteNim ; 12.01.1.1.1057
Semester : VI B
Reguler sore
Komentar
Kebudayaan yang berasal dari bahsa sansekerta memiliki berbagai aspek rincian atau pengertian yang berbeda-beda tergantung dari segi tolak ukur atau sudut pandang dari mana kita mengaji pengertian tersebu, mengingat kebudayaan sangat luas pengertiannya baik dilihat dari segi prilaku dan kegiatan adat istiadat kebiasaan orang tersebut yang tercipta seni tari,atau seni gerak seni lukis,seni berpakain.seni berbicara atau megending,Sedangkan seni kebudayaan di bali tempo dulu adah kesenian yang dianggap unik sakral dan penuh misteri,hal tersebut dianggap bahwa kebudayaan pada masa masyrakat dibali masih bersikap tertutup yang tidak bisa menerima struktur adat masyrakat dari luar daerah sehingga masyrakat bali dulu masih memiliki ciri kas yang berbeda beda meskipun satu kepulauan bali tapi tiap daerah memiliki adat istiadat yang berbeda terlihat dari tatanan upacara baik itu berupa alur upacara atau runtutan upacara dan bentuk pelengkap banten,tata bicara bahasa yang digunakan logat bicara dan bentuk rumah masyrakat bali yang berbeda-beda.sistem keegoisan atau sistem kasta yang benar-benar diperhitungkan,sedangkan bali tempo kini mengalami perubhan yang sangat pesat tidak ada lagi sistim kasta yang diperhitungkan dan bentuk rumah yang mulai meninggalkan jaman bali dl dan berbagai hal yang lainnya akan tetapi alangkah baiknya jika kita sendiri mempertahankan kebudayan bali dengan baik karen bali merupakan surganya para dewa-dewi yang mampu memberikan infestor tinggi dibidang pariwisata untuk indonsesia.
Nama ; Luh sri Budiani
ReplyDeleteNim ; 12.01.1.1.1057
Semester : VI B
Reguler sore
Komentar
Kebudayaan yang berasal dari bahsa sansekerta memiliki berbagai aspek rincian atau pengertian yang berbeda-beda tergantung dari segi tolak ukur atau sudut pandang dari mana kita mengaji pengertian tersebu, mengingat kebudayaan sangat luas pengertiannya baik dilihat dari segi prilaku dan kegiatan adat istiadat kebiasaan orang tersebut yang tercipta seni tari,atau seni gerak seni lukis,seni berpakain.seni berbicara atau megending,Sedangkan seni kebudayaan di bali tempo dulu adah kesenian yang dianggap unik sakral dan penuh misteri,hal tersebut dianggap bahwa kebudayaan pada masa masyrakat dibali masih bersikap tertutup yang tidak bisa menerima struktur adat masyrakat dari luar daerah sehingga masyrakat bali dulu masih memiliki ciri kas yang berbeda beda meskipun satu kepulauan bali tapi tiap daerah memiliki adat istiadat yang berbeda terlihat dari tatanan upacara baik itu berupa alur upacara atau runtutan upacara dan bentuk pelengkap banten,tata bicara bahasa yang digunakan logat bicara dan bentuk rumah masyrakat bali yang berbeda-beda.sistem keegoisan atau sistem kasta yang benar-benar diperhitungkan,sedangkan bali tempo kini mengalami perubhan yang sangat pesat tidak ada lagi sistim kasta yang diperhitungkan dan bentuk rumah yang mulai meninggalkan jaman bali dl dan berbagai hal yang lainnya akan tetapi alangkah baiknya jika kita sendiri mempertahankan kebudayan bali dengan baik karen bali merupakan surganya para dewa-dewi yang mampu memberikan infestor tinggi dibidang pariwisata untuk indonsesia.
Nama : Hilkia Hardi Djandang
ReplyDeleteNim : 15.01.1.1.157
Semester : Ampulen
Menurut pendapat saya, ada beberapa faktor yang menonjol dalam perubahan Bali jaman dulu dan sekarang yaitu:
Desain bangunan: Desain rumah masyarakat Bali bahwa bentuk rumah yang sangat sederhana. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan rumah juga sangat sederhana. Bahan-bahan yang digunakan anatara lain tanah yang ditumpuk-tumpuk sehingga berwujud tembok dan atap rumahnya menggunakan rumput lalang atau daun kelapa. Tradisi rumah ini mulai ditinggalkan saat ada pengaruh dari luar dan pengaruh jaman dan teknologi seperti sekarang ini. Saat ini masyarakat khususnya di Bali menganggap bangunan seperti itu sudah "ketinggalan jaman". Masyarakat seolah-olah berlomba membuat bangunan rumah senyaman mungkin. Mengenai tata ruang bangunanpun saat ini sudah tidak diperhatikan lagi. Masyarakan sekreatif mungkin membuat bangunan yang menarik tanpa memperhatikan tata ruang yang biasa dibuat oleh masyarakat jaman dulu.
Busana/Pakaian Masyarakat Bali: Jaman dahulu, masyarakat Bali memiliki Budaya berbusana Hampir semua masyarakat bali hanya memakai busana pada bagian bawah saja, yaitu dari perut sampai ke kaki. Busana tersebut berbahan kain yang di pakai dan diikat dengan sebuah selendang sehingga berbentuk kamben. Sedangkan bagian atas, bisanya masyarakat Bali jarang menggunakan pakaian sehingga tubuh bagian atas tetap telanjang. Seiring kemajuan jaman dan teknologi, budaya berbusana ini ditinggalkan oleh masyarakat Bali. Saat ini masyarakat Bali sudah memakai busana tertutup, artinya masyarakat sudah memakai busana lengkap, baik bagian atas maupun bawah.
Transportasi Gedebeg:
Alat transportasi gedebeg merupakan sarana transportasi yang dimiliki oleh masyarakat Bali pada jaman dulu. Alat transportasi ini berbentuk gerobak, yang terbuat dari kayu yang dipergunakan untuk mengangkut barang, terbuat dari kayu yang berbentuk rumah kecil dan tenaga yang digunakan sebagai penarik transportasi ini adalah seekor kerbau. alat transportasi ini biasanya digunakan untuk mengankut hasil pertanian atau barang dagangan yang akan dibawa ke pasar. Seiring perkembanggan jaman dan teknologi alat transportasi ini sudah ditinggalkan karena kurang evisiensi waktu.
Permainan Tradisional Bali : Permainan Tradisional Bali sekarang jarang bisa kita temukan apalagi di daerah perkotaan, perkembangan tekhnologi yang pesat hampir menenggelamkan mereka. Ada puluhan bahkan ratusa permainan tradisional yang ada, orang tua juga seolah-olah tidak memperhatikan dan cenderung tidak mampu mengarahkan anak-anak mereka dalam melakukan permainan yang memang ternyata cukup susah, karena permainan tradisional lebih menonjolkan permainan berkelompok yang membutuhkan kekompakan dan kebersamaan dan secara tidak langsung mendidik anak itu lebih bisa mengenal lingkungannya yang majemuk, bergaul dengan tidak memandang status sosial dan kebersamaanya, kesetiakawanan dengan suasana ceria di lingkungan mereka.
Banyak permainan tradisional yang ada di Bali seperti; meong-meongan, megoak-goakana, metajog, nyen durine nyongkok, engkeb–engkeban, main gangsing, main tajog. Dengan perkembangan iptek yang pesat, anak-anak cenderung menggunakan tekhnologi yang ada seperti video games yang bisa dimainkan dari handphone, play station dan melalui internet. Mereka sepertinya lebih asik bermain alat tersebut, tidak lagi berinteraksi dengan lingkungan dengan teman sesamanya. Mereka hanya terfokus untuk menang mengumpat kalau kalah. Anak-anak sampai kecanduan dan tidak fokus belajar, apalagi permainan yang menggunakan handphone yang katanya ada ‘radiasi‘ yang bisa mempengaruhi sel-sel tubuh dan perkembangan otak, ini tentunya akan sangat berbahaya bagi perkembangan anak. Peran aktif orang tua sangat dibutuhkan dalam mengarahkan dan membimbing mereka.