Monday, March 30, 2015
D’MEBOYE. Mencetak 1.000 Wirausahawan Muda Berbasis Hindu
MEBOYE. Kata yang familiar di masyarakat Buleleng. Penuh penafsiran dan arti, yang musti diindahkan oleh kalangan akademikus. Makna umumnya berarti “ngeyel alias melecehkan sesuatu). Sisi lain, kata itu merupakan kekayaan orang Buleleng, yang sudah sangat mengakar dalam keseharian orang Buleleng. Nah, oleh karena itu Dies Natalis STIE Satya Dharma ke 19 mencoba mengangkatnya menjadi tema akbar. Pelaksanaan Dies Natalis STIE Satya Dharma ke-19 tanggal 28 dan 29 Maret 2015 di Sasana Budaya Singaraja yang bertepatan dengan ulah tahun kota Singaraja ke-411, dengan mengambil tema D’MEBOYE “mencetak 1.000 wirausahawan muda berbasis hindu”. Meboye adalah kata keseharian orang Buleleng, yang sering diartikan negatif (ngeyel atau cuek atau bisa juga tidak peduli atau acuh tak acuh). Dalam konteks inilah STIE memberanikan diri mengambil tema ini sebagai tema akbar yang dipoles dengan Visi Misi STIE Satya Dharma.
baca di sini
Friday, March 6, 2015
DULU DAN KINI; ORANG BALI
Buku
ini berasal dari penelitian yang dimulai sejak 1989, kemudian diterbitkan
sebagai buku berjudul The Balinese People: A Reinvestigation of Character
(1992). Penelitian ini ingin memberi informasi seakurat mungkin mengenai orang
Bali setelah berbagai buku tentang Bali terbit ratusan kali. Selain karena
perubahan-perubahan sosial budaya sejak masuknya wisatawan yang semakin
meningkat dari tahun ke tahun menyebabkan perubahan signifikan pada pola hidup
orang Bali. Buku ini secara sederhana dapat dilacak terdiri dari beberapa
pembahasan utama. Pertama adalah latar belakang orang Bali, yang mengangkat pelbagai
kegiatan religi seperti upacara agama, dan sistem social yang mengikat. Tak
lupa pula termaktub perihal “saudara kandung” dan persoalan keseimbangan hidup
yang cukup memberi pengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, buku ini juga
berangkat dari penelitian Margaret Mead dan Bateson yang dibuat pada 1950-an.
Mereka bahkan menurut penulis buku ini membuat dan menyajikan gambaran yang
agak negatif tentang Bali. Diantara kesan negatif tersebut diantaranya tentang
ibu dan istri sebagai perempuan jahat, mereka pada umumnya memiliki kepribadian
gangguan penyesuaian diri. Ketiga mengungkap persoalan emosi, klimaks dalam
peristiwa dan seni. Mead menganggap bahwa Bali sebagai budaya tanpa klimak.
Meskipun ia tak mengungkap dengan jelas arti klimaks mereka berdua
menggamabrkan bahwa suatu seri rangkaian yang terputus-putus yang tidak
mencapai klimaks. Namun Geerzt pada 1966 mempelajari secara mendalam perilaku
orang Bali dan menyetujui kesimpulan mengenai tiadanya klimaks. Ia menyatakan
bahwa kegiatan social tidak membentuk atau tidak diizinkan untuk membentuk
klimaks, bahkan ketika Mc Pee sewaktu meneliti tari Bali menulis bahwa tari
Bali tanpa klimaks.
Subscribe to:
Posts (Atom)