Sunday, February 22, 2015

Jika POLRI BENAR, BERARTI KPK SALAH



Logika kebenaran politisasi dan diplomatis kadang berbeda dengan fakta yang ada. Jika POLRI itu benar, berarti KPK itu salah. Begitu juga berlaku sebaliknya. Jika KPK benar, berarti POLRI salah. Tontonan logika ini kadang magis, naif dan kadang kritis. Terserah anda menilainya.

3 comments:

  1. Korupsi bukanlah sebuah fenomena baru di Indonesia, karena korupsi sudah sejak lama menjadi bagian dari aktivitas penyimpangan yang dilakukan oleh banyak pejabat publik untuk memenuhi keuntungan-keuntungan pribadi. Upaya pemberantasan korupsi pun juga bukan langkah baru yang dilakukan di Indonesia. Akan tetapi memasuki era reformasi dimana pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap persoalan pemberantasan korupsi, akan tetapi fenomena korupsi bahkan semakin massif seperti cendawan di musim hujan. Maraknya tindakan korupsi terutama oleh pejabat public di Indonesia bahkan kemudian memunculkan asumsi-asumsi dan penilaian bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya. Asumsi dan penilaian ini nampaknya tidak tanpa dasar, dikarenakan korupsi yang benar-benar massif terjadi diberbagai institusi Negara juga korporasi, serta adanya kecenderungan sikap permisif masyarakat terhadap pelaku korupsi. Perilaku korupsi yang banyak dilakukan oleh pejabat negara ini tidak dapat dipisahkan dari kondisi masa pemerintahan Orde Baru dimana rejim Suharto menciptakan pemerintahan yang sukar dokontrol oleh masyarakat, termasuk pengawasan terhadap pejabat Negara yang melakukan korup. Pemerintahan yang sangat sentralistik dengan pendekatan Top Down melahirkan pemerintahan yang sangat kuat, tidak dipungkiri membuat korupsi menjadi realitas yang tidak mudah disentuh oleh masyarakat.

    ReplyDelete
  2. Sesungguhnya upaya pemerintah Indonesia untuk memerangi korupsi sudah ada sejak lama. Hal ini dibuktikan dengan lahirnya berbagai peraturan perundangan sebagai alat pencegahan dan jugan penindakan atas perilaku korupsi. Pada masa pemerintahan Orde Lama juga telah lahir peraturan untuk menanggulangi korupsi yaitu Prt.Peperpu.C13/1958 yang merupakan Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat. Peraturan ini sesungguhnya cukup istimewa karena mengatur system pendaftaran harta benda pejabat public oleh Badan Penilik Harta benda, juga terdapat atuan tentang pengajuan gugatan perdata berdasarkan perbuatan melanggar hokum bagi orang yang mempunyai harta benda tak seimbang dengan pendapatanya ( kepemilikan harta tidak wajar). Peraturan ini dinilai lebih lengkap dibandingkan dengan peraturan sejenis yang lahir pada periode berikutnya, karena memuat upaya pemberantasan korupsi melalui jalur tuntutan pidan maupun gugatan perdata, disertai sistem preventif berupa pendaftaran harta benda pejabat. Sayangnya peraturan ini kemuadian dikoreksi melaui UU No 24 tahun 1960 yang justru menghilangkan jalur preventif gugatan perdata sehingga praktis pada masa Orde Baru upaya pemberantasan korupsi menjadi kurasng efektif, karena tidak mudah untuk menyeret pelaku korupi ke meja hijau. Kenyataan ini memunculkan sikap pesimistik terhadap upaya pemberantasan korupsi. Keski pesimistik, tuntutan untuk memberikan perhatian terhadap persoalan korupsi tidak pernah surut.
    Pada masa pemerintahan Orde baru tuntutan untuk dilakukan tindakan tegas terhadap pelaku korupsi tetap ada, meskipun dalam kondisi yang pasang surut. Masyarakat tentu sangat jengah atas perilaku korupsi oleh rejim Suharto dan kroninya yang sangat jelas dan kasat mata. Akan tetapi pendekatan represif yang dilakukan oleh rejim Suharto menyebabkan masyarakat terkadang kehilangan semangat untuk melakukan perlawanan terhadap perilaku korpsi. Namun elemen yang barangkali cukup intens untuk menyuarakan pentingnya pengawasan dan sikap tegas dalam penindakan pelaku korupsi adalah LSM. LSM sebagai lembaga morlaba secara lantang dan intens mengajak segenap elemen masyarakat untuk menyadari pentingnya melawan korupsi, terutama karena dampaknya terhadap kemanusiaan. Nampaknya pemerintah Orde Baru juga berusaha merespon tuntutan masyarakat dengan mengesyahkan undang-undang Mo 3 tahun 1971, yang didalamnya memuat ancaman cukup berat bagi pelaku korupsi. Sayangnya undang-undang ini hanya sebuah upaya pemenuhan tuntutan publik tanpa disertai komitmen yang kuat dari penguasa untuk melaksanakannya secara konsisten. Akibatnya undang-undang tersebut hanya garang di atas kertas, sehingga upaya pemberantasa korupsi pun pada masa Orde baru dalam kondisi “mati suri” karena undang-undang anti korupsi tidak pernah dipergunakan untuk menyeret pelaku ke meja hijau.

    ReplyDelete
  3. Hukum di indonesia sering di jadikan permainan bagi mereka-mereka yang memiliki kekuasaan. Terkadang hukum di indonesia runcing kebawah tapi tumpul le atas. Kpk dan polri seharusnya bergandengan untuk memberantas korupsi dan menegakka hukum di indonesia bukan malah saling serang menyerang dengan menjatuhkan sama lain. Kedek ngakak ane demen korupsi, hal ini justru membuka ruang gerak para tikus-tikus berdasi untuk menjarah yang bukan milik mereka. Untuk kedepannya semoga polri dan kpk bisa berjabat tangan dan memberantas korupsi. "Pang sing pocol" negara memberi gaji dan undang-undang "pang sing munyine gen tenget dinguang" Tapi pelaksananya saling tunjuk kesalahan yang lain.

    ReplyDelete